(Business Lounge – Entrepreneuship) Dalam kondisi normal, menjadi anggota dewan direksi perusahaan besar adalah pekerjaan yang menggoda. Bayarannya menggiurkan—sering kali lebih dari 300.000 dolar AS atau sekitar Rp 5 Milyar per tahun. Jadwalnya ringan, rapat per kuartal dan beberapa panggilan komite. Jika semua berjalan lancar, tugasnya hanyalah mengamati, bukan campur tangan. Seperti kata pakar tata kelola John Carver, “Noses in, fingers out.”
Namun, siapa di antara kita yang hidup di masa normal?
Dalam lima tahun terakhir, dunia bisnis dihantam oleh sederet kejadian luar biasa yang mengubah tatanan manajemen korporasi secara mendasar. Pandemi global melumpuhkan kantor dan mengubah norma kerja. Tragedi sosial memicu pemberontakan karyawan. Perang menyebabkan divestasi miliaran dolar secara mendadak. Rantai pasokan terganggu parah. Bencana iklim yang “seharusnya sekali dalam seribu tahun” kini datang setiap tahun. Perubahan kebijakan oleh presiden Amerika Serikat yang tidak konsisten mengguncang pasar. Dan disrupsi teknologi terus menghantam semua sektor tanpa ampun.
Krisis bukan lagi pengecualian, melainkan aturan. Dan saat krisis datang, tanggung jawab tertinggi jatuh ke pundak dewan direksi. Inilah mengapa The Wall Street Journal menerbitkan daftar 250 Direktur Dewan Terbaik untuk pertama kalinya. Karena dalam masa yang tidak pasti ini, mereka menjadi semakin penting.
Peran Tiga Lapis Dewan Direksi
Dalam buku berpengaruh Boards that Lead, Ram Charan, Dennis Carey, dan Michael Useem membagi tugas utama dewan direksi menjadi tiga peran: memimpin, mendukung, dan mengawasi. Ketiga peran ini, yang mungkin dulu cukup teoritis, kini menjadi medan nyata yang penuh tantangan.
Memimpin – Memilih CEO di Tengah Badai
Tugas utama dewan adalah memilih CEO baru. Kedengarannya sederhana, tetapi dalam praktiknya, ini adalah keputusan yang sangat berisiko.
Bayangkan situasi ketika CEO yang sedang menjabat enggan mundur atau bahkan menolak menerima umpan balik. Ini bukan lagi sekadar keputusan bisnis, tetapi diplomasi tingkat tinggi. Contohnya, Ketua Tesla Robyn Denholm berada dalam posisi sulit ketika CEO ikonik perusahaan itu menghilang dari panggung publik saat kinerja perusahaan memburuk.
Dalam kasus lain, dewan dihadapkan pada pilihan sulit seperti kandidat internal yang mengenal perusahaan dari dalam versus kandidat eksternal yang membawa perspektif baru. Membandingkan dua hal yang berbeda ibarat membandingkan apel dan jeruk, padahal nilai perusahaan yang dipertaruhkan bisa mencapai miliaran dolar.
Dan tentu saja, keputusan yang salah bisa menghancurkan. Dewan direksi Kohl’s, misalnya, telah mencari CEO baru untuk ketiga kalinya dalam tiga tahun, dan sepanjang proses itu, nilai perusahaan mereka anjlok hingga kehilangan tiga perempat dari kapitalisasi pasarnya.
Mendukung – Menjadi Pembimbing, Bukan Sekadar Pengawas
Dewan terbaik bukan hanya mengatur, tetapi juga membimbing. Itulah sebabnya mantan CEO menjadi kandidat favorit untuk posisi dewan. Mereka telah mengalami berbagai tantangan dan dapat berbagi kebijaksanaan dari pengalaman pribadi mereka.
Namun, cakupan dukungan kini semakin luas. Dewan tidak hanya bertanggung jawab kepada pemegang saham, tetapi juga harus mempertimbangkan kepentingan karyawan, pelanggan, masyarakat, serta tekanan dari aktivis sosial dan lingkungan. Pemilu presiden yang mengangkat tokoh dengan agenda anti-ESG (Environmental, Social, Governance) dan anti-DEI (Diversity, Equity, Inclusion) pun menambah tekanan. Donald Trump, misalnya, dengan retorika keras terhadap ESG, malah menjadi pemangku kepentingan baru yang tak bisa diabaikan, sebagaimana terlihat dari antrean CEO dan direktur yang datang ke Gedung Putih untuk menjelaskan posisi perusahaan mereka.
Peran dewan pun makin menyerupai “penjaga moral” dan juru runding sosial. Mereka dituntut mampu mengelola nilai perusahaan di tengah lanskap opini publik yang berubah cepat.
Mengawasi – Risiko Tak Pernah Tidur
Mengawasi risiko adalah pekerjaan paling sunyi dan paling tidak populer—tetapi paling vital. Risiko tidak pernah tidur, dan ia terus berubah bentuk.
Selama pandemi, dewan rumah sakit harus turun tangan untuk mendapatkan alat pelindung bagi tenaga medis. Ketika Rusia menginvasi Ukraina, dewan global harus memutuskan apakah dan bagaimana menjual anak perusahaan di wilayah konflik. Dewan perusahaan media terpaksa menjadi penengah ketika rencana merger strategis terganggu oleh intervensi politik.
Kini, tantangan datang dari kecerdasan buatan (AI). Apakah perusahaan terlalu cepat mengadopsi AI dan membahayakan data serta kekayaan intelektualnya? Atau terlalu lambat dan akhirnya kalah bersaing dari pendatang baru?
Dalam situasi seperti itu, dewan adalah pihak yang harus menjaga keseimbangan. Mereka tidak bisa hanya mengandalkan pengalaman masa lalu. Mereka harus menilai risiko baru secara cepat dan akurat—suatu keahlian yang sulit diajarkan, tetapi sangat dibutuhkan.
Kurangnya Pedoman, Kelebihan Tantangan
Sebagian dewan mencoba menjawab tantangan ini dengan membuat “matriks keterampilan”—daftar kompetensi yang dibutuhkan dari setiap direktur baru. Namun, sering kali daftar ini justru membuat mereka “berperang di perang yang sudah lewat.” Saat pandemi merebak, mereka mencari pakar kesehatan. Saat logistik menjadi masalah, mereka buru-buru mencari ahli rantai pasok. Saat e-commerce naik daun, mereka mencari orang dengan latar belakang SEO. Kini, mereka berlari mengejar ahli AI, padahal bisa jadi krisis berikutnya justru datang dari bidang politik atau lingkungan.
Masalah utamanya adalah ketidakpastian. Siapa pun yang duduk di dewan tidak bisa hanya mengandalkan keahlian teknis tertentu. Mereka harus memiliki sesuatu yang jauh lebih sulit diukur: karakter dan penilaian yang bijak.
Karakteristik Tak Tertulis dari Direktur Hebat
Jadi, seperti apa sebenarnya direktur yang hebat itu?
Ia adalah sosok dengan kombinasi ajaib antara kepercayaan diri dan kerendahan hati. Ia memiliki keterampilan teknis dan kecakapan sosial. Ia haus akan hal baru, tetapi juga menghargai tradisi. Ia berani bertindak sendiri, tetapi juga cukup bijaksana untuk mencari konsensus.
Lebih dari itu, ia mampu membaca suasana dan mengukur risiko. Ia peka terhadap perubahan arah angin sosial, tetapi tidak mudah terombang-ambing. Ia tidak hanya memahami data, tetapi mampu menafsirkannya dalam konteks yang luas dan dinamis.
Karena pada akhirnya, direktur perusahaan bukan sekadar manajer risiko atau pakar strategi. Mereka adalah manusia yang berada di titik paling krusial dalam pengambilan keputusan—manusia dalam lingkaran, the ultimate humans in the loop, seperti disebutkan oleh The Wall Street Journal.
Dan di tengah ledakan adopsi AI, mungkin inilah pekerjaan yang paling sulit digantikan mesin.
Refleksi di Era Ketidakpastian
Jika ada satu pelajaran yang bisa diambil dari lima tahun terakhir, maka itu adalah bahwa dunia tidak akan kembali ke “normal” seperti sebelumnya. Krisis akan datang silih berganti, dan tantangan akan makin kompleks. Di tengah semua itu, kekuatan perusahaan akan sangat tergantung pada kualitas mereka yang duduk di kursi dewan.
Keputusan dewan bukan hanya soal memilih CEO atau menyetujui laporan keuangan. Mereka adalah penentu arah perusahaan, penyeimbang kepentingan, dan penjaga nilai jangka panjang. Jika mereka gagal, maka kerusakan yang ditimbulkan bisa lebih besar dari sekadar penurunan laba—ia bisa merusak reputasi, kepercayaan publik, bahkan kelangsungan perusahaan itu sendiri.
Di tengah zaman yang penuh gejolak ini, satu hal menjadi jelas, direksi bukan lagi simbol status, melainkan penjaga masa depan perusahaan. Mereka tidak boleh sekadar menjadi tokoh dekoratif di laporan tahunan, tetapi pemimpin yang aktif, berani, dan bijaksana. Dan itu adalah pekerjaan yang jauh lebih sulit daripada yang terlihat di permukaan.