(Business Lounge – Global News) Ambisi Airbus untuk memimpin revolusi hijau di industri penerbangan kini menemui turbulensi serius. Produsen pesawat terbesar di Eropa ini mulai menarik rem pada proyek pesawat berbahan bakar hidrogen yang sebelumnya digadang-gadang sebagai masa depan penerbangan ramah lingkungan. Menurut laporan dari The Wall Street Journal dan Financial Times, perusahaan telah mengucurkan lebih dari $1,7 miliar dalam proyek ini, namun kini menghadapi kenyataan pahit bahwa teknologi, biaya, dan dinamika pasar belum sejalan dengan visi jangka panjang mereka.
Langkah ini mencerminkan pergeseran yang lebih luas di kalangan korporasi global terhadap janji-janji dekarbonisasi yang dulu terdengar ambisius namun kini mulai diragukan kelayakannya dalam jangka pendek. Airbus, yang selama ini menjanjikan akan menerbangkan pesawat komersial hidrogen pada 2035, kini menunda sebagian besar aspek teknis dan komersial proyek tersebut, menyusul serangkaian evaluasi internal dan tekanan dari investor untuk fokus pada profitabilitas nyata.
Dalam wawancara yang dikutip oleh Bloomberg, eksekutif senior Airbus menyatakan bahwa meskipun hidrogen tetap menjadi bagian dari visi jangka panjang perusahaan, prioritas saat ini bergeser pada pengembangan teknologi efisiensi bahan bakar konvensional dan penggunaan bahan bakar aviasi berkelanjutan (SAF). Ini adalah sinyal bahwa perusahaan mulai lebih realistis dalam menghadapi tantangan teknologi dan logistik yang diperlukan untuk membangun jaringan distribusi dan infrastruktur hidrogen secara global.
Proyek bernama “ZEROe”, yang menjadi simbol komitmen hijau Airbus, kini direduksi menjadi sekadar program penelitian dengan ruang lingkup yang jauh lebih terbatas. Padahal, sebelumnya Airbus telah memamerkan sejumlah konsep pesawat futuristik berbahan bakar hidrogen yang menarik perhatian publik dan regulator Eropa.
Sebagaimana dicatat oleh Reuters, industri penerbangan secara umum memang tengah dilanda dilema besar. Di satu sisi, tekanan publik dan regulasi iklim semakin tinggi, menuntut industri ini untuk menekan emisi karbon secara drastis. Namun di sisi lain, teknologi rendah karbon seperti hidrogen dan listrik belum siap digunakan secara massal, terutama untuk penerbangan jarak jauh yang menyumbang emisi paling signifikan.
Airbus bukan satu-satunya yang mulai mengendurkan ambisi hijaunya. Sejumlah perusahaan besar di sektor otomotif, energi, dan manufaktur juga mulai merombak target iklim mereka di tengah ketidakpastian ekonomi global dan kenaikan suku bunga. The Wall Street Journal mencatat bahwa apa yang dulu menjadi strategi branding hijau kini berubah menjadi beban biaya yang sulit dipertahankan tanpa dukungan pemerintah yang kuat.
Sementara itu, pesaing utama Airbus, Boeing, memilih pendekatan yang lebih konservatif sejak awal. Perusahaan asal AS itu berfokus pada efisiensi desain dan penggunaan SAF dibanding hidrogen atau teknologi futuristik lainnya. Keputusan Airbus untuk mengikuti langkah ini bisa dilihat sebagai penyesuaian strategi yang lebih pragmatis menghadapi realitas pasar penerbangan pascapandemi.
Di Eropa, di mana tekanan regulasi lingkungan lebih ketat, keputusan Airbus mungkin akan memicu perdebatan politik dan kebijakan baru. Uni Eropa telah mendukung berbagai inisiatif teknologi hijau, dan Airbus sebelumnya menjadi simbol keseriusan kawasan ini dalam memimpin transisi energi bersih.
Namun dengan mundurnya Airbus dari proyek hidrogen dalam jangka pendek, pertanyaan pun mengemuka: apakah industri penerbangan bisa benar-benar net zero sebelum 2050? Dan siapa yang akan memimpin langkah tersebut jika pemain sekelas Airbus mulai ragu?
Untuk saat ini, Airbus menegaskan kembali komitmennya pada dekarbonisasi, namun dengan strategi yang lebih bertahap. Perusahaan akan meningkatkan investasi pada pesawat generasi terbaru seperti A320neo dan A350 yang lebih efisien, serta bermitra dengan penyedia bahan bakar SAF untuk mengurangi emisi tanpa bergantung pada teknologi eksperimental.
Dengan kata lain, Airbus belum sepenuhnya membatalkan visinya akan pesawat hijau. Namun bagi banyak pengamat industri, langkah ini menandai realisasi bahwa masa depan hijau tidak akan datang secepat yang dijanjikan. Dan sementara pesawat hidrogen mungkin masih terbang suatu hari nanti, untuk saat ini, mimpi tersebut harus menunggu landasan yang lebih stabil.