(Business Lounge Journal – News and Insight)
Pada akhir 2022, CEO Microsoft, Satya Nadella, mengambil keputusan besar yang bisa menjadi langkah paling menentukan dalam kariernya: menginvestasikan miliaran dolar ke OpenAI dan mengarahkan strategi Microsoft ke kecerdasan buatan (AI). Awalnya, keputusan ini tampak seperti langkah brilian. Sementara Google, Apple, dan Meta masih berusaha mengejar ketertinggalan dalam perlombaan AI, Microsoft tampaknya sudah unggul lebih dulu. Keyakinan pasar terhadap strategi ini terlihat dari kenaikan nilai kapitalisasi pasar Microsoft yang bertambah lebih dari satu triliun dolar.
Namun, pada awal 2025, realitas mulai berbenturan dengan ekspektasi tinggi. Microsoft menghadapi berbagai tantangan dalam perjalanannya membangun bisnis AI: pemangkasan besar-besaran dalam pembangunan pusat data, kinerja saham yang tertinggal dibandingkan pesaing, ketegangan yang meningkat dengan OpenAI, serta pasar yang tampaknya mulai kehilangan antusiasme terhadap AI. Bagi perusahaan yang telah sukses melewati berbagai revolusi teknologi selama lima dekade terakhir, tanda-tanda ini bisa menjadi peringatan bahwa taruhan besarnya kali ini mungkin tidak berjalan sesuai rencana.
Reaksi pasar saham terhadap situasi ini cukup keras. Saham Microsoft hampir mengalami penurunan selama delapan minggu berturut-turut—yang akan menjadi yang pertama sejak krisis keuangan 2008—sebelum akhirnya mengalami sedikit kenaikan pada 21 Maret, menurut CNBC. Sejak mencapai harga tertinggi $467,56 pada Juli 2024, saham Microsoft telah turun sekitar 16%. Lebih mengkhawatirkan lagi, pada tahun 2025, saham Microsoft turun 7%, sementara perusahaan teknologi lain yang berfokus pada AI justru mengalami kenaikan. Ini menjadikan Microsoft satu-satunya perusahaan dalam kelompok “Magnificent 7” yang tidak mencatatkan keuntungan dalam setahun terakhir.
Di balik layar, Microsoft diam-diam mulai mengurangi ambisinya dalam membangun infrastruktur AI. Perusahaan membatalkan rencana pembangunan pusat data yang seharusnya mendukung sistem AI generasi berikutnya. Menurut laporan TD Cowen, Microsoft telah meninggalkan proyek yang seharusnya meningkatkan kapasitas komputasinya hingga 14%—setara dengan kapasitas komputasi seluruh kota teknologi besar seperti Tokyo. Selain itu, Microsoft juga membatalkan opsi investasi senilai $12 miliar untuk memperluas pusat data melalui perusahaan cloud computing, Coreweave, menurut laporan Semafor.
Langkah mundur ini terasa ironis, mengingat Microsoft sebelumnya berulang kali menyatakan bahwa permintaan AI “melebihi pasokan.” Bahkan, Nadella sendiri mengakui dalam sebuah podcast bahwa “akan ada kelebihan pembangunan” dalam pusat data terkait AI.
Selain masalah infrastruktur, hubungan Microsoft dengan OpenAI juga semakin tegang. Menurut The Information, kepala divisi AI Microsoft, Mustafa Suleyman, memiliki tugas ganda: mempertahankan kemitraan dengan OpenAI, sekaligus memastikan Microsoft dapat mandiri dalam pengembangan AI agar tidak terus bergantung pada teknologi OpenAI. Saat ini, Microsoft sedang mengembangkan model AI sendiri (dikenal dengan nama internal MAI) dan juga menguji model dari pesaing seperti Anthropic, xAI, DeepSeek, dan Meta sebagai alternatif OpenAI untuk produk Copilot mereka.
Tantangan terbesar Microsoft mungkin ada pada Copilot, asisten AI mereka, yang masih kesulitan mendapatkan daya tarik di pasar. Survei Gartner menemukan bahwa hanya sedikit perusahaan yang melanjutkan implementasi Copilot setelah tahap uji coba, dengan banyak yang menyatakan bahwa dampak bisnisnya belum jelas dan penerapannya lebih sulit dari yang diperkirakan. Seorang eksekutif IT pemerintahan bahkan menyebut Copilot “terlalu tertinggal hingga membuat frustrasi saat digunakan.”
Namun, Microsoft bukan satu-satunya yang menghadapi tantangan ini. Ada tanda-tanda bahwa adopsi AI secara umum mungkin melambat. Menurut laporan Fall 2024 Slack Workforce Index, pertumbuhan adopsi AI di kalangan pekerja AS hanya naik satu persen dalam tiga bulan terakhir, jauh lebih rendah dibandingkan kenaikan hampir dua digit pada periode yang sama tahun sebelumnya. Gartner juga melaporkan bahwa banyak Chief Information Officer (CIO) mulai ragu untuk mengalokasikan anggaran besar untuk AI. Salah satu analis Gartner bahkan menyebut tahun 2025 sebagai “tahun kemunduran AI.”
Saat Microsoft merayakan ulang tahunnya yang ke-50, perusahaan ini berada di persimpangan jalan. Strategi AI-nya—menaikkan harga sambil memaksa integrasi AI ke dalam produknya, mengembangkan model sendiri sementara masih bermitra dengan OpenAI, dan mengurangi infrastruktur meskipun mengklaim permintaan yang tinggi—menunjukkan bahwa Microsoft sedang mencoba bermain aman, bukan sepenuhnya berkomitmen pada revolusi teknologi berikutnya.
Sebagai perusahaan yang selama ini selalu berhasil beradaptasi dan berkembang di setiap perubahan besar teknologi, langkah Microsoft dalam AI kali ini bisa menjadi sinyal bahwa bahkan raksasa industri pun tidak sepenuhnya yakin apakah revolusi AI benar-benar akan memenuhi ekspektasi besarnya.