Punya Segudang Potensi – Jangan Ragu Merekrut Generasi Stroberi

(Business Lounge Journal – Human Resources)

Istilah yang mulai menjadi terkenal saat masa pandemi yang lalu ini pasti sudah tidak asing lagi di telinga kita “generasi Strawberry”. Sebenarnya istilah ini berasal dari Bahasa Tionghoa (Hanzi: 草莓族; Pinyin: Cǎoméi zú; atau 草莓世代; cǎoméi shìdài) yang berarti Suku Stroberi atau Generasi Stroberi. Istilah ini dipakai untuk orang Taiwan yang lahir setelah tahun 1990 ke atas. Berarti ini termasuk angkatan terakhir generasi Y, Z, hingga Alpha.

Seperti apa sih gambaran anak muda generasi Strawberry? Cuitan seorang mahasiswa semester 2 (dua) di bawah ini sempat viral di media sosial:

“Gua anak umur 21, gak nyangka ternyata kuliah itu seburuk itu untuk mental health, semester 1 kemarin gua udah dihujanin materi sama tugas yang bener2 banyak, akibatnya waktu gua untuk healing sama self reward jadi kurang banget. Yang tadinya gua masih bisa nonton netflix sama chat-chat-an dengan bestie sekarang jadi susah banget. Gua kayaknya belum siap kuliah deh. Gua udah ngomong ke ortu kalau gua mau cuti dulu semester ini. Gua mau fokus healing selama 6 bulan dulu. Tapi ortu gua malah ga setuju, bahkan gua dibilang manja. Gua bingung mau gimana takutnya kalau paksain ipk ku malah tambah anjlok. Gua juga susah komunikasikan ini ke ortu karena mereka ga aware sama mental health kaya gua. Gua mesti gimana….??? (dan diakhiri dengan emot menangis)”.

Prof. Rhenald Kasali dalam bukunya dan salah satu livestreaming kuliah online beliau menjelaskan, generasi Strawberry merujuk pada generasi muda saat ini yang punya banyak gagasan kreatif, pintar, namun tidak terbiasa berjuang. Mereka tidak siap menghadapi tekanan sosial atau tuntutan kerja, juga mudah menyerah. Istilah ini kedengarannya negatif dan merendahkan, namun mari kita mencoba untuk memahami akar permasalahan yang mendasari perilaku generasi ini.

Menurut Prof. Rhenald Kasali, karakter ini setidaknya disebabkan oleh 4 (empat) hal, yaitu :

1. Self diagnosis terlalu dini

Generasi ini tumbuh dalam era ketika segala sesuatu bisa didapatkan dengan cepat dan mudah melalui internet. Banyaknya informasi yang beredar di media sosial dan perkembangan teknologi yang memberikan kemudahan akses yang instan. Informasi yang terkadang belum tentu tepat ini diserap begitu saja seperti spons oleh generasi muda. Contohnya saat mereka mengalami sedikit tekanan, mereka mencari informasi sendiri di internet dan mencocokkan dengan kondisi dirinya, istilah ini disebut self diagnosis. Mereka men-self diagnosis bahwa mereka memerlukan apa yang namanya “healing”. Padahal yang mereka maksudkan disini adalah refreshing, jalan-jalan, menghibur diri. Sedangkan pengertian healing yang sesungguhnya merupakan proses kompleks untuk penyembuhan karena kejadian di masa lalu yang menyebabkan luka batin.

Self diagnosis juga berdampak menimbulkan overthinking dan overdiagnosis. Generasi ini sering kali terpapar gambaran kehidupan yang sempurna, akibatnya mereka merasakan tekanan sosial dan ekspektasi yang tinggi dari lingkungan sekitar untuk mengejar standar yang tidak realistis tersebut. Contohnya saat mereka menemukan postingan di media sosial, seseorang di usia 25 tahun sudah menikah, sukses, punya rumah dan mobil, maka timbul kecemasan dan stress karena membandingkan mereka belum memilikinya. Mereka kurang terlatih untuk menghadapi proses yang memerlukan kesabaran dan ketekunan.

Quarter life crisis merupakan istilah jenis overthinking yang dialami oleh anak muda berusia sekitar 25 tahun. Hal ini tidak dijumpai pada generasi sebelumnya, orang tua mereka yang sejak kecil hidup susah, di usia tersebut mereka sedang bekerja keras pantang menyerah sampai mereka sukses.

Kondisi ekonomi yang tidak stabil juga dapat memengaruhi mental generasi muda saat ini. Kesulitan dalam mencari pekerjaan yang layak dan harga hidup yang semakin tinggi menyebabkan generasi ini merasa kehilangan motivasi untuk berjuang.

2. Penerapan parenting yang salah dalam mendidik anak

Tidak dapat dipungkiri kehidupan generasi sekarang pada umumnya lebih sejahtera daripada beberapa dekade yang lalu. Orang tua dari keluarga yang sejahtera terbiasa memberikan apa yang diminta anaknya sebagai kompensasi kurangnya waktu mereka untuk anak-anaknya. Ditambah kecenderungan orang tua zaman sekarang sudah tidak terbiasa menghukum atau memberikan konsekuensi atas kesalahan-kesalahan anaknya. Dibandingkan pada generasi sebelumnya yang mengajarkan sejak kecil untuk disiplin dan mematuhi nilai-nilai yang sederhana. Misalnya anak diajarkan menabung untuk membeli sesuatu dan melatih anak melakukan tugas tanggung jawabnya di dalam keluarga.

Kekeliruan parenting lainnya adalah setting unrealistic expectation. Orangtua sering menyamakan anaknya sebagai princess atau prince dan sebagainya. Lingkungan rumah menjadi zona nyaman, di mana ada orang-orang yang lebih hebat dan pandai dari mereka. Sementara anak-anak ini akan menghadapi situasi nyata yang lebih besar dan lebih sulit. Mereka tidak terbiasa menghadapi perbedaan kondisi lingkungan di dalam dan di luar rumah. Akibatnya mereka lebih mudah kecewa dan tersinggung.

3. Narasi-narasi orangtua yang tidak tepat

Contoh saat kecil orangtuanya me-labeli anaknya dengan sebutan moody (mudah berubah-ubah mood) akibatnya label itu melekat dan setelah anak-anak menjadi dewasa mereka akan mudah menyebut dirinya sendiri moody. Dan masih banyak lagi narasi yang berpengaruh negatif pada anak.

4. Timbullah generasi masa kini yang mau serba instant, lebih mudah lari dari kesulitan.

Di atas sudah dituliskan contoh kasus mahasiswa semester 2 (dua) yang kurang dapat menghadapi kesulitan-kesulitan dalam kehidupan perkualiahan. Padahal seseorang mendapatkan kemenangan jika ia bisa me-manage semua kesulitan tersebut.

Kalau pembaca dilahirkan dalam generasi Strawberry, jangan biarkan stigma ini terus menempel pada generasi muda kita. Menurut Prof. Renald Kasali ada beberapa cara mengatasinya, yaitu:

  1. Selalu memperbaharui literasi. Di era informasi yang sangat cepat beredar saat ini, kita perlu untuk selalu memvalidasi kebenaran dari setiap informasi, misalnya membaca-baca buku yang sesuai, cross check dengan ulasan berita lainnya di media sosial.
  2. Dalam self diagnosis libatkanlah pendapat orang tua, guru, pihak lain yang kompeten. Pergunakan sosial media dengan bijak. Sosial media juga bisa membuat orang senang menjadi pusat perhatian dan melebih-lebihkan  sesuatu. Hadapilah sebuah situasi dengan sekuat tenaga karena ujian merupakan hal yang biasa terjadi.
  3. Peranan orangtua: mendidik agar anaknya menjadi generasi yang lebih baik dari dirinya. Tidak berlebihan dalam memanjakan anak. Berikan konsekuensi jika anak melakukan kesalahan. Berikan pemahaman banyak hal akan nilai-nilai di sekitar selain perkembangan ilmu pengetahuan. Anak-anak yang sukses di masa depan bukan hanya sekedar banyak pengetahuan, tetapi juga perlu kemandirian.
  4. Peranan pendidik: mengembangkan situasi yang menyenangkan dalam pelajaran untuk pengembangan kreatifitas, inovasi dan sikap adaptif anak didik. Inovatif dan kreatif, mampu memanfaatkan keterbatasan menjadi peluang yang menciptakan kebermanfaatan. Adaptif untuk selalu belajar hal–hal baru diluar apa yang sebelumnya sudah dipahami. Disiplin ilmu yang kita pelajari melalui ruang kelas saat ini belum tentu relevan atau dibutuhkan lagi di masa depan. Kemajuan teknologi dan informasi membuat generasi muda lebih punya banyak referensi untuk berkarya. Beragam inovasi dengan memanfaatkan media sosial sudah dilahirkan oleh tangan-tangan pemuda. Namun hal ini perlu di optimalkan dengan kemampuan literasi digital yang baik, agar berbagai informasi yang diposting mampu memberikan manfaat.

Peranan generasi muda dalam menjawab tantangan zaman.

Salah satu perbedaan karakteristik yang signifikan pada generasi Z (generasi di bawah millenial) dan beberapa generasi sebelumnya adalah pada penguasaan teknologi. Mereka tumbuh dengan kemudahan instan yang ditawarkan oleh teknologi. Generasi muda ini dipandang sebagai generasi rebahan, namun dengan kemajuan teknologi mereka dapat berkontribusi dan bahkan memantik perubahan. Teman-teman muda yang hobinya bermain Tiktok dapat menyalurkan gagasan kreatif dan bakatnya dalam hal marketing produk, menggeser promotional trends yang sebelumnya menggunakan poster dan media cetak lainnya. Teman teman yang passion-nya berorganisasi dapat membuat kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan.

Kolaborasi generasi Z (generasi muda) dengan generasi sebelumnya di lingkungan kerja.

Salah satu pemicu terbesar generation gap adalah perbedaan cara komunikasi antara pekerja muda dengan pekerja dari generasi terdahulu. Gaya komunikasi Gen-X dan Baby Boomer cenderung lebih kaku dan formal. Sebaliknya, pekerja Millennial dan Gen-Z terbiasa dengan cara komunikasi yang casual, informal, dan santai.

Bagi pekerja muda, tidak ada salahnya lebih aktif membuka komunikasi yang baik dengan atasan maupun rekan sekerja. Walau atasan dan rekan sekerja kemungkinan besar adalah generasi yang lebih senior dengan karakter berbeda, bukan berarti mereka tidak bisa diajak bicara dengan gaya kekinian. Ini adalah salah satu cara mengatasi generation gap sehingga bisa tercipta kerjasama yang baik di tempat kerja.

Generasi senior yang terkenal lebih tangguh secara mental dapat memberikan konseling dan pendampingan kepada generasi muda, lebih jauh lagi memberi teladan/contoh yang nyata mengenai keterampilan emosional dan kekuatan menghadapi tekanan. Sebaliknya, generasi muda yang lebih luwes dalam masalah perkembangan jaman terutama teknologi dan ide kreatif dapat memberikan sumbangsih kemampuannya untuk kemajuan bersama sebuah perusahaan.

Namun, yang paling penting untuk diingat bahwa tidak semua generasi muda dapat disamaratakan sebagai generasi Strawberry. Banyak dari mereka yang tetap gigih, tangguh, dan siap menghadapi segala tantangan yang ada. Generasi Strawberry mungkin memiliki kelemahan dan tantangan tersendiri, namun dengan dukungan yang tepat, mereka juga memiliki potensi untuk berkembang menjadi generasi yang tangguh, kreatif, dan inovatif. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk memberikan ruang untuk berkembang, menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan generasi muda agar mereka dapat menjadi sosok yang lebih baik di masa depan.

Photo by Austin Distel