(The Manager’s Lounge – Sales & Marketing) – Persistence adalah salah satu attitude yang perlu untuk dimiliki oleh seorang salesperson handal. Namun, ada kalanya salesperson salah dalam menerapkan persistence, hingga akhirnya usaha tersebut menjadi sia-sia saja. Lalu Bagaimana caranya membedakan sikap persistence yang baik dan yang buruk?
Persistence, padanan katanya dalam Bahasa Indonesia kurang lebih adalah sikap pantang menyerah. Namun, sikap persistence ini jika dilakukan dengan cara yang tidak tepat, maka jatuhnya jadi ‘ngotot’ yang cenderung negatif. Oleh karena itu, penting bagi seorang salesperson harus bisa menerapkan sikap persistence yang tepat kepada prospek.
Sikap persistence adalah sikap yang wajib dimiliki oleh seorang salesperson. Mengapa? Tentu saja supaya salesperson memperoleh prospek dan target penjualan terpenuhi. Bayangkan jika seorang salesperson tidak mempunyai sikap persistence, misalnya baru menelpon prospek berkali-kali namun tidak terhubung dengan prospek saja sudah menyerah, bagaimana mau jadi salesperson handal? Jika seorang salesperson untuk menelepon saja sudah malas, maka bagaimana mau sukses?
Seorang salesperson dengan persistence yang baik, akan berusaha untuk menjangkau prospek, kemudian melakukan follow-up dengan sabar. Salesperson tersebut akan berusaha untuk menjalin hubungan baik dengan prospek, sehingga tercipta kondisi saling memahami antara keduanya. Jika cocok, maka salesperson akan melanjutkan kepada jenjang follow up yang mungkin tidak cukup hanya sekali. Meskipun prospek sudah qualified dan match, belum tentu transaksi terjadi hanya dengan sekali follow up. Jika salesperson melakukan pertemuan follow-up beberapa kali untuk memunculkan keyakinan dan komitmen prospek, itu termasuk sikap persistent yang baik.
Lalu jika itu sikap persistence yang baik, bagaimana dengan sikap persistence yang buruk?
Menurut penulis, sikap persistence yang buruk adalah jika salesperson tetap melakukan follow up +terus-menerus padahal sudah tahu bahwa prospek tidak qualified, karenatidak sesuai dengan target pasar, maupun prospek sudah menyatakan tidak tertarik. Atau mungkin saja salesperson sudah tahu bahwa sebenarnya barang/jasanya bukanlah yang dibutuhkan oleh prospek, namun ia tetap ‘ngotot’ untuk meyakinkan prospek. Itulah persistence yang buruk.
Atau lebih parah lagi, namun seringkali terjadi, yakni salesperson ‘ngotot’ untuk terus melakukan follow up tanpa mencari tahu apa sebenarnya kebutuhan dan keinginan dari prospek. Jadi salesperson sudah keburu ‘ngotot’ sebelum menjalin hubungan yang baik antara salesperson dengan prospek, dan hal tersebut hanya buang-buang waktu saja. Karena tentunya prospek juga bakalan kesal dan pada akhirnya penjualan. malah tidak terjadi.
Jadi, bagaimana sikap persistence pada diri Anda sendiri?
(Rinella Putri/AA/TML)