Australia Adjusts To Its New Energy Role

(The Manager’s Lounge – Sales & Marketing) – Chief Executive dari Woodside Petroleum, Peter Coleman, adalah jantung dari pergeseran pasar energi global. Australia – yang dalam beberapa tahun merupakan pencilan dalam hal perdagangan minyak dan gas yang terpusat di Timur Tengah – dapat mengejar dengan sangat cepat. Lebih dari $175 milyar dihabiskan  pada proyek baru yang sedang dalam tahap konstruksi, yang mana hal ini dapat membuat Australia segera menggantikan Qatar sebagai eksportir LNG terbesar sebelum akhir dekade ini. Woodside memiliki terminal Pluto yang bernilai $14,9 milyar, mengirimkan kargo LNG pertamanya ke Jepang bulan ini, dan akan segera diikuti oleh eksportir yang lebih besar seperti Chevron, Exxon Mobil, dan Royal Dutch Shell.

Namun ledakan investasi ini tidak berarti tanpa risiko. Tindakan Australia yang memasok kebutuhan energi yang vital di Asia seperti China dan India telah menaikkan nilai tukar mata uangnya. Mr. Coleman, 52 tahun, yang bergabung dengan Woodside – perusahaan yang bernilai $25,2 milyar – tahun lalu sebelumnya bekerja di Exxon. Dia membuat laporan industri dan mematok gaji di sektor minyak dan gas Australia menjadi dua kali lipat rata-rata global.

Masih saja banyak investor yang mengantri. Bulan ini, Woodside menjual kepemilikan minoritasnya dalam proyek ekspor gas yang dikenal sebagai Browse kepada konsorsium Jepang yakni Mitsubishi dan Mitsui seharga $2 milyar.

Mr. Coleman bertemu dengan David Winning di Adelaide, Australia untuk berdiskusi mengenai tantangan dalam mengembangkan Pluto, bagaimana shale gas dapat mengubah industri LNG, dan tentang minat Jepang dalam mengintensifkan gas alamnya di tengah kerugian yang dialami akibat energi nuklir. Wawancara berikut telah disunting.

WSJ : Seberapa menantangkah dalam membangun proyek Pluto hanya tujuh tahun setelah gas pertama kali ditemukan ?
Mr. Coleman : Ini merupakan tantangan yang sangat besar dalam banyak aspek. Pada waktu itu, Woodsize hanya sebesar setengah dari ukurannya sekarang, sehingga keputusan untuk menggeser Pluto ke depan adalah sangat, sangat besar bagi kami. Demikian pula bahwa itu merupakan proyek LNG pertama  di pesisir barat Australia untuk jangka waktu yang lama, sehingga kami harus melalui fase-fase pembelajaran itu lagi. Tekanan biaya sangat signifikan. Kami meilihat hal itu pada awalnya di proyek Pluto, bahkan pada tahap berkembang. Pada saat itu kontrak-kontrak yang dibuat dengan kesepakatan kontraktor yang tidak akan membayar secara lump-sum yang artinya kami harus menanggung risiko tersebut.

WSJ : Bagaimana proyek LNG Pluto berkontribusi terhadap Woodside tahun ini?

Mr. Coleman : Pluto akan meningkatkan produksi kami dengan cukup signifikan – kenyataannya, kami akan melalui sebuah momen dimana 40% dari produksi kami  adalah dalam bentuk ekuitas. Ini akan membantu kami dalam pengumpulan dana segar. Kami telah menghadapi kenyataan kas yang negatif selama beberapa tahun, namun ini merupakan ciri-ciri perusahaan yang sedang berekpansi secara besar-besaran. Jadi, kam saat ini sedang melihat ke depan dan menikmati penghargaan atas disipilin dalam diri kami.

WSJ : Pluto akan mengirimkan LNG kepada pelanggan di Jepang. Apakah Anda melihat ada perubahan dalam minat Jepang setelah gempa bumi tahun lalu?
Mr. Coleman : Kami melihat ada transisi di Jepang. Pada mulanya, tentu saja, ada ketdakpastian yang dirasakan oleh pelanggan mengenai outlook permintaan LNG dalam jangka panjang di Jepang. Khususnya, apa yang akan terjadi dengan mix nuclear. Apa yang kita lihat akhir-akhir ini adalah penyatuan dari pendangan-pandangan tersebut dimana Jepang menjadi lebih agresif di pasar.
WSJ : Berbicara tentang kesepakatan Anda dengan Mitsubishi dan Mitsui bulan ini, apakah Woodside sedang berencana menjual lebih banyak kepemilikannya di Browse ?
Mr. Coleman : Kami cukup senang dengan tingkat kepemilikan kami pada saat ini. Transaksi dengan pihak Jepang itu merupakan transaksi yang penting bagi kami. Pertama, apa yang dilakukannya membantu kami untuk memberikan nilai pada Browse. Adilnya, hal itu membawa kami pada sebuah strategic partner – salah satu strategi yang kami lakukan untuk lebihmengeri LNG Australia dengan sangat, sangat baik. Kami melalui sebuah proses dimana kami mengidentifikasi sejumlah strategic partner yang potensial dan kemudian melakukan pendekatan secara individual untuk melihat ketertarikan mereka pada Browse.  Saya harus mengatakan bahwa saya sangat senang dengan proses tersebut dan mengahasilkan sesuatu dalam konsisi yang sangat kompetitif. Pemintaan akan kepemilikan tersebut lebih besar dari pada kepemilikan yang akan kami jual.
WSJ : Apakah Anda terkejut bahwa Jepang adalah bidder yang tertinggi, dengan kondisi dimana China dan India sedang mengincar proyek-proyek LNG?
Mr. Coleman : Tidak, saya tidak terkejut sama sekali. Kami memberikan proposal kami kepada semua strategic partner untuk tujuan yang sederhana yakni kepemilikan ekuitas dan kas untuk ekuitas. Kami kemudian akan menjalin hubungan yang lebih jangka panjang dan melakukan partnering. Kami sedang mencari akses kepada pasar LNG, kami juga mencari peluang tambahan dan pendanaan. Kesepakatan yang telah kami buat dengan Mitsubishi dan Mitsui sudah mencakup semua hal tersebut.
WSJ : Pemerintah Australia mengatakan bahwa shale gas dapat melipatgandakan sumber daya gas negara. Apakah potensi ini membuat Anda senang?
Mr. Coleman : Kewaspadaan saya hanya bahwa tidak semua shales adalah sama. Shales yang kita lihat di Australia adalah berbeda dengan yang kita lihat di Amerika Serikat. Amerika Serikat terbukti lebih sukses dalam merancang model bisnis karena keuntungan fasilitas dan pendukungnya. Kita tidak memiliki infrastruktur yang sama di Australia – apakah di sektor jasa ataupun dengan distribusi kami hingga mampu masuk ke pasar. Ini adalah permainan jangka panjang dan saya tidak berharap ada perubahan langkah dalam proses produksi sebagaimana yang kita lihat di Amerika Serikat dalam jangka pendek di Australia.  Namun, kualitas dari sumber daya itu adalah sesuatu yang harus kita lihat dan cermati lebih dalam lagi
WSJ : Shell menjual 10% dari kepemilikannya kepada Woodside pada akhir tahun 2010, namun tetap masih memiliki hampir seperempat dari ekuitas total. Apakah ini menjadi hambatan dengan memiliki pemegang saham yang penuh dengan keenganan?
Mr. Coleman : Ini sama sekali bukan hambatan bagi saya, lebih merupakan hambatan bagi yang lain. Kami bekerja dengan keras dalam membangun hubuungan dengan Shell dalam memastikan bahwa Kami terlihat sebagai rekan kerja yang baik. Shell bukan hanya pemegang saham mayoritas bagi Woodside, mereka juga adalah rekan bisnis utama kami dalam membetuk joint ventures di Australia. Jadi kami memiliki kepentingan yang saling menguntungkan untuk mengembangkan partnership yang paling baik sebisa kami.
WSJ : Bagaimana pemikiran Anda bahwa Shell akan tetap menjaga dalam menjual kepemilikannya?
Mr. Coleman : Tidak jelas bagi kami bagaimana mereka akan melakukannya. Apa yang kami minta pada Shell adalah membiarkan kami membantu mereka dalam melakukan penjualan bila mereka memilih untuk melakukan itu. Tentu saja Shell merupakan investor yang sudah sangat mapan dan mereka punya tujuan tersendiri dalam melakukan itu. Mereka telah mendengarkan pendapat kita, namun tentu saja mereka akan melakukan pilihan mereka sendiri.
Editor’s Notes :

Hal yang cukup menarik dari kisah Mr. Coleman dalam menjalankan perusahaan energi asal Australia, Woodside Petroleum adalah strateginya dalam menjalankan strategic partnership, dimana Woodside berusaha mencari investor-investor yang prospektif dalam berinvestasi agar mampu menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak atau win-win solution. Hal ini didasari bahwa perusahaan ini masi muda dan masih harus banyak belajar, dan dengan menggandeng perusahaan yang sudah berpengalaman, hal ini tentu akan menguntungkan bagi perusahaan itu sendiri.

(Darwin Huang/AA/TML)

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x