(The Manager’s Lounge – Service) – Apakah dalam bisnis service, jika Anda mencapai growth, maka bisnis Anda otomatis juga menguntungkan? Belum tentu. Growth bukanlah jaminan bahwa bisnis Anda akan menghasilkan keuntungan.
Bukanlah suatu kebetulan jika organisasi yang menekankan kepada layanan seperti Starbucks, Dell Computer, IBM dan Southwest Airlines berhasil menggabungkan baik pertumbuhan maupun profitabilitas sementara perusahaan lain tidak. Perusahaan service yang sukses dapat mendesain dan mengimplementasikan strategi yang tepat untuk menjaga supaya biaya tetap rendah, memperkuat kesetiaan pelanggan dan memperoleh keunggulan kompetitif.
Perusahaan service, seperti halnya bagian service pada seluruh perusahaan, menghadapi tantangan yang sulit dalam mentransformasikan growth ke profitabilitas. Salah satu hambatan mereka adalah karena terlalu etrpaku pada paham sektor manufaktur dimana profitabilitas adalah fungsi dari skala produksi, dan skala produksi dapat dicapai melalui growth. Karena bisnis service lebih banyak menggunakan SDM (labor intensive), maka growth bisa saja hanya menambah pada biaya, namun tidak ada benefit of scale.
Seorang manajer haruslah memahami cara terbaik dalam mengembangkan bisnis service. Dalam industri manufaktur, growth telah lama dipandang sebagai kunci sukses karena terdapat suatu manfaat ekonomis ketika produksi diperluas. Ketika Anda melakukan ekspansi produksi, maka terdapat suatu economies of scale. Lebih banyak yang Anda produksi, maka biaya per unit Anda juga makin rendah. Jika Anda dapat melakukannya, maka Anda akan memperoleh keuntungan strategis yang kuat dibandingkan dengan pesaing. Hal ini adalah yang menjadi focus dari mantan CEO General Electric Jack Welch, yaitu menjadi nomor satu atau dua dalam setiap bisnis yang dikeluti GE. Data yang mendukungnya adalah: pemimpin pasar biasanya adalah pemimpin dalam hal profitabilitas.
Bisnis service berbeda dengan perusahaan yang menjual produk berwujud. Salah satu perbedaan utamanya adalah, kesulitan untuk menstandardisasi layanan bagi masing-masing pelanggan. Service tidak seperti manufaktur, dimana bisa menghasilkan produk yang identik dengan spesifikasi yang sudah standar. Karena fungsi service dilaksanakan oleh individual, maka standardisasi tidak mudah untuk dicapai. Oleh karena itu, maka branding menjadi lebih sulit dibandingkan dengan bisnis berbasis produk.
Perusahaan service juga tidak bisa memiliki gudang untuk menyimpan pelayanan. Oleh karena itu, perusahaan service haruslah pandai dalam mengantisipasi demand; kelebihan kapasitas yang mereka miliki akan sia-sia saja, tidak menambah bottom line.
(Bersambung)
(Rinella Putri/DH/TML)