Budaya-Budaya Negatif yang Mengontaminasi Organissi Pada Masa Transisi

(The Manager’s Lounge) – Budaya Menyangkal. Terhadap sesuatu yang berubah, manusia tidak dengan serta-merta cepat menerimanya. Mereka mulanya justru menyangkal. “Tidak benar!” “Itu pasti bukan saya!” “Pasti tidak sampai ke sini.” “Fundamental ekonomi kita sangat kuat!” “Ia tidak mad!” Itu adalah kalimat-kalimat yang biasa terdengar ketika sesuatu sedang berubah.

Ketika sesuatu yang biasa ditemui hilang atau berubah, manusia punya kecenderungan menyangkal. Sekali mereka menyangkal, tentu semakin lama semakin banyak yang disangkal, dan semakin Pemimpin dari solusi yang sesungguhnya harus diambil. Manusia akan sulit memperbaiki hidupnya selama is menyangkal realitas baru. Lebih celaka lagi, biasanya manusia harus melewati suatu siklus yang tidak pendek untuk segera menerima dan mengakui Perubahan. Bagan 10.2 berikut menjelaskan siklus tersebut.

Budaya Kepentingan Pribadi (self-interest). Dalam situ yang berubah akan ada banyak pihak yang lebih mengedepank kepentingan-kepentingan pribadinya. Masing-masing orang ak berupaya mengamankan kepentingan-kepentingan yang mele pada dirinya, seperti posisi, karier, konsep, kelompok, anggar fasilitas, dan sebagainya. Ketika hal ini terjadi, ikatan (cohesiveness) organisasi menjadi pertanyaan besar. Banyak pekerjaan rutin yank tidak bisa diselesaikan tepat waktu, dan akibatnya reformasi, reor¬ganisasi, atau langkah-langkah manajemen perubahan tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya.

Nilai-nilai kepentingan pribadi biasanya berkembang cukup lama dan sangat memusing Pemimpin. Sebab, setelah mengurus kepentingan pribadinya, seseorang akan mengutamakan kepentingan kelompoknya. Akibatnya organisasi terbagi-bagi dalam berbagai silo, baik silo resmi mauPun yang tidak resmi. Selain menjadi lamban bergerak, organisasi juga kaya dengan warna-warni office politics (seperti intrik dan upaya – upaya saling menjatuhkan), tidak kreatif, dan boros.

Budaya Mencela. Ketika orang-orang mulai mengedePank3: kepentingan pribadinya maka tidak akan ada lagi respek daripara, pengikut. Orang-orang akan mulai saling mencela dan sins hadap perilaku dan tindakan atasan-atasan dan kolega mereka terlalu mengedepankan urusan-urusannya sendiri. Beberapa yang rnerasa terganggu dengan sinisme ini (namun memperoleh manfaat pribadi dari proses transisi) akan membangun kekuatan dukungan dari bawahannya dengan cara melakukan bagi-bagi manfaat.Tetapi semua itu dilakukan bukan untuk kepentingan organisasi, melainkan untuk mengamankan kepentingannya.

Akibatnya,sinisme tidak pergi-pergi, melainkan berubah menjadi budaya. Orang-orang yang baik dan berhati bersih tak akan luput dari sinisme. Mereka semua memperoleh imbas dari proses transformasi ini. Yang baik menjadi tampak buruk, yang buruk menjadi tampak baik dan seterusnya.
Budaya Tidak Percaya. Kepercayaan atau rasa saling percaya (di luar ikatan keluarga) adalah perekat bagi suatu institusi. Ketika respek sudah tidak ada lagi dan orang-orang saling mengedepankan kepentingan pribadinya, yang ada adalah rasa saling tidak percaya. Tanpa kepercayaan, otoritas tidak lagi memberikan makna. Transaksi antarkelompok menjadi sangat mahal, lambat, dan tidak dapat dipegang kesepakatannya.

Budaya tidak percaya erat hubungannya dengan situasi/ikatan kepercayaan yang berlaku di suatu negara (macroculture). Ketika masyarakat suatu bangsa tidak memercayai pemimpin-pemimpinnya maka biaya transaksi menjadi sangat mahal. Mereka tidak lagi dipercayai rekan-rekan bisnis dari negara lain, dunia perbankan, perdagangan, bahkan mereka juga tidak bisa memercayai sistem peradilan dan mata uangnya sendiri. Untuk mengatasi semua itu para Aaku usaha cenderung memilih lokasi hukum di negeri lain, menfaat semua perjanjian secara detail, membayar pengacara, dan membebankan semua biaya itu pada pelanggan atau mitra bisnisnya. Sebuah institusi yang diwarnai budaya saling tidak percaya sudah Pasti tak punya masa depan.

Budaya Anomi. Transisi biasanya diikuti dengan peristiwa – peristiwa penggabungan (merger) dan pemisahan (spin off) bagian-bagian, unit – unit usaha, perusahaan, departemen, dan sebagainya. Tidak jarang pula pada masa ini institusi menempatkan orang – orang baru pada kursi kepemimpinan yang datang dari luar. Mereka tidak mengikuti jalut karier tradisional melainkan meloIn’ mengejutkan. Kalau pemimpin tak cukup kuat dan pen transisi tidak semputna, semua ini bisa menimbulkan efek yaitu kehilangan identitas kultural atau jati diri. Orang-orang kehilangan jati diri atau identitas kultural dapat dig sebagai orang yang berpakaian tidak pada tempatnya. Seorang yang berpakaian ke pesta untuk belajar di kampus atau sebar akan merasa sangat tidak nyaman dengan dirinya sendi . kurang mengenal lingkungannya. Ia ingin cepat-cepat meninggalkan institusi, tetapi merasa punya kewajiban untuk berada di sana.

Buntut dari kehilangan identitas kultural adalah ketergantungan dan merasa salah terus. Mengikuti rapat, tahu mau ke mana, siapa atasannya, seperti apa mereka, mereka harapkan, apakah pertemuan informal penting da seterusnya. Bekerja dengan atasan baru adakalanya berarti harus mulai lagi dari nol. Orang-orang yang tadinya dianggap tidak cakap atau dianggap lebih junior bisa menjadi atasan. Peta hubungan menjadi agak kacau. Segala sesuatu yang sudah rnenjadi masa lalu tiba-tiba menjadi gelap, tidak jelas lagi. Sem waktu untuk menjadi jelas kembali.

(Rhenald Kasali/ST/TML)

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x