(Business Lounge – Global News) Raksasa furnitur asal Swedia, IKEA, melaporkan penurunan laba tahunan sebesar 32% setelah menghadapi kombinasi tantangan dari tarif impor yang meningkat, inflasi biaya bahan baku, dan strategi harga rendah yang kini mencapai batas efektivitasnya. Seperti dilaporkan Bloomberg dan Financial Times, perusahaan menyebut tahun 2025 sebagai titik balik bagi model bisnisnya yang selama puluhan tahun bergantung pada volume penjualan besar dan harga terjangkau.
Ingka Group—pemilik mayoritas toko IKEA secara global—menyatakan bahwa margin laba turun tajam karena kenaikan tarif perdagangan yang diterapkan di berbagai pasar utama, termasuk Amerika Serikat dan Eropa. Tarif baru terhadap komponen kayu, baja, serta tekstil dari Asia telah menaikkan biaya logistik dan produksi hingga dua digit. Dalam pernyataan resminya, CEO Jesper Brodin mengatakan, “Kami telah menahan harga selama bertahun-tahun untuk tetap setia pada misi keterjangkauan, namun kondisi global kini memaksa kami menyesuaikan strategi.”
Menurut laporan The Wall Street Journal, beban tarif yang meningkat menambah tekanan pada rantai pasokan yang belum sepenuhnya pulih pascapandemi. IKEA selama ini memindahkan sebagian produksi dari Tiongkok ke negara-negara Eropa Timur dan Asia Selatan untuk mengurangi ketergantungan, namun efisiensi yang diharapkan belum tercapai sepenuhnya. Kenaikan harga energi di Eropa juga memperburuk struktur biaya.
Analis industri ritel dari Reuters menyebut bahwa model harga rendah IKEA menghadapi ujian serius karena perusahaan mulai kesulitan mempertahankan margin di tengah inflasi tinggi dan permintaan yang stagnan. Konsumen di banyak negara mulai mengalihkan pengeluaran rumah tangga ke sektor jasa dan perjalanan, meninggalkan belanja furnitur sebagai prioritas sekunder.
Meski demikian, IKEA menegaskan tidak akan meninggalkan sepenuhnya misinya sebagai “furnitur untuk semua orang”. Sebagai gantinya, perusahaan akan mulai menyesuaikan harga berdasarkan segmen pasar dan lokasi, dengan fokus pada efisiensi logistik dan digitalisasi. Brodin menjelaskan bahwa strategi baru akan mencakup peningkatan penjualan daring, pengembangan pusat distribusi regional, serta investasi pada material berkelanjutan yang lebih efisien.
“Selama dua dekade, kami dikenal karena kemampuan menurunkan harga. Namun fase berikutnya bukan hanya soal harga murah, melainkan nilai yang berkelanjutan,” ujar Brodin dalam wawancara dengan Bloomberg Television.
Pendapatan tahunan IKEA naik tipis 3% menjadi €47,6 miliar, namun laba bersih turun menjadi €3,2 miliar dari €4,7 miliar tahun sebelumnya. Penurunan terbesar terjadi di pasar Amerika Utara dan Eropa Barat, di mana biaya impor melonjak dan permintaan perabot rumah tangga melemah. Sebaliknya, pasar Asia Tenggara dan Timur Tengah mencatat pertumbuhan positif berkat ekspansi jaringan toko kecil dan layanan digital.
Perusahaan juga berupaya mengembangkan model toko perkotaan berukuran lebih kecil untuk menjangkau konsumen muda di kota besar. Konsep ini, yang pertama kali diuji di Paris dan Tokyo, akan diperluas ke Jakarta, Bangkok, dan Seoul dalam dua tahun ke depan. Menurut Nikkei Asia, strategi ini memungkinkan IKEA mengurangi biaya sewa dan mempercepat waktu pengiriman produk ke pelanggan.
Meskipun menghadapi tekanan jangka pendek, IKEA tetap menjadi pemain dominan dalam industri furnitur global dengan pangsa pasar sekitar 10%, menurut Statista. Namun para analis memperingatkan bahwa tanpa inovasi digital dan efisiensi rantai pasokan yang lebih dalam, perusahaan bisa kehilangan keunggulan kompetitif terhadap pemain baru seperti Wayfair dan Shopee Home yang menawarkan harga fleksibel dan pengiriman lebih cepat.
Saham Ingka Group, yang tidak diperdagangkan secara publik namun dilaporkan keuangan tahunannya, menunjukkan bahwa arus kas operasional masih kuat. Perusahaan berencana meningkatkan investasi sebesar €2 miliar dalam dua tahun mendatang untuk memperluas sistem otomatisasi gudang dan mempercepat layanan click-and-collect.
Dalam jangka menengah, IKEA tampaknya bersiap meninggalkan era harga supermurah yang menjadi ikon globalnya. Brodin menegaskan, “Keterjangkauan tetap menjadi DNA kami, tetapi tidak dengan mengorbankan keberlanjutan dan daya tahan bisnis. Dunia berubah, dan IKEA harus berubah bersamanya.”

