(Business Lounge – Human Resources) Setiap orang menyimpan kenangan peristiwa yang entah bagaimana menempel di pikiran, bukan karena penting, melainkan karena menimbulkan getaran. Otak manusia dibentuk untuk mengingat apa yang relevan secara emosional, terutama yang berhubungan dengan hubungan sosial. Kita lebih takut dipermalukan daripada gagal ujian, lebih lama mengingat penolakan daripada kesalahan hitungan. Penolakan sosial bahkan mengaktifkan jalur saraf yang sama dengan rasa sakit fisik. Tubuh dan pikiran memandang penghinaan sebagai ancaman terhadap kelangsungan hidup. Itulah sebabnya rasa malu, kebanggaan, atau cinta lebih membentuk diri seseorang dibanding ratusan jam pelajaran di sekolah.
Namun pendidikan modern mengabaikan kenyataan ini. Sekolah dibangun atas keyakinan bahwa belajar adalah proses mentransfer informasi dari guru ke murid, seperti menyalin berkas dari satu komputer ke komputer lain. Anak-anak diajarkan untuk duduk diam, mendengarkan, mencatat, dan menghafal. Padahal manusia tidak belajar dengan cara itu. Manusia belajar seperti semua makhluk hidup belajar, melalui pengalaman yang menimbulkan reaksi emosional. Seekor anak kucing tahu bahaya ketinggian setelah jatuh sekali, manusia pun memahami sesuatu ketika pengalaman menyentuh perasaannya.
Manusia bukan makhluk penghafal, melainkan pencerita. Hidup dijalani dengan mengubah pengalaman menjadi narasi. Kita menafsirkan masa lalu, menjelaskan masa kini, dan membayangkan masa depan melalui cerita. Media sosial, film, musik, bahkan percakapan sehari-hari berakar dari kebutuhan untuk membagi cerita yang menggugah perasaan. Jika sesuatu tidak menjadi cerita, ia mudah lenyap dari ingatan. Dunia pendidikan seolah melupakan hal ini dan memilih berpegang pada pendekatan dingin yang lahir dari laboratorium abad ke-19.
Pada tahun 1885, seorang peneliti di Jerman melakukan eksperimen untuk memahami cara kerja ingatan. Ia menciptakan suku kata acak seperti RUP, NKL, atau SFH, lalu meminta peserta menghafalnya. Tujuannya adalah menyingkirkan makna dan emosi, agar yang tersisa hanyalah “daya ingat murni.” Dari percobaan itu lahirlah konsep yang terkenal – kurva pelupaan. Ia menunjukkan bahwa manusia cepat melupakan apa yang baru dipelajari.
Hasilnya tampak ilmiah, tetapi sesungguhnya menyesatkan. Dengan sengaja menghapus makna dan emosi, eksperimen itu justru membuktikan hal yang sudah jelas, manusia hanya mengingat hal yang bermakna. Informasi tanpa relevansi pribadi memang seharusnya dilupakan. Otak didesain bukan untuk menimbun, tetapi untuk menyaring. Dalam kehidupan sehari-hari, ingatan berfungsi seperti filter, hanya yang penting bagi kita yang bertahan.
Namun kesimpulan itu diputarbalikkan. Dunia pendidikan menganggap lupa sebagai cacat yang harus diperbaiki. Lalu muncullah gagasan baru bahwa pengulangan dapat memperkuat ingatan. Dari situ lahir metode hafalan mekanis yang hingga kini mendominasi sekolah di seluruh dunia. Anak-anak dipaksa mengulang informasi yang tidak berarti sampai cukup lama menempel untuk lulus ujian, lalu menguap begitu nilai sudah keluar.
Kesalahan ini diwarisi turun-temurun. Bayangkan seseorang menggunakan ponsel untuk memukul paku. Setelah lama mencoba, ia menulis panduan lengkap tentang cara menancapkan paku paling efisien dengan ponsel, dan dunia pun menganggapnya penemuan besar. Begitulah pendidikan memperlakukan belajar, sibuk menyempurnakan cara menghafal, padahal manusia belajar bukan dengan menghafal. Otak bukan mesin penyimpan data, melainkan sistem emosi yang bereaksi terhadap makna.
Jika kita jujur menengok kehidupan nyata, pelajaran yang paling berharga tidak datang dari hafalan. Seseorang tidak perlu memegang api berkali-kali untuk tahu bahwa api membakar. Seorang anak kecil belajar tentang kepercayaan bukan karena diceramahi, tetapi karena pernah dikhianati. Kita mengubah perilaku bukan karena diingatkan, tetapi karena merasa. Semua pembelajaran sejati berawal dari emosi. Repetisi hanya diperlukan untuk hal-hal yang tidak berarti.
Eksperimen sederhana bisa membuktikan hal ini. Cobalah membuat dua daftar kata, satu berisi kata bermakna seperti “matahari”, “laut”, atau “ibu”, dan satu lagi berisi suku kata acak seperti “GTR” atau “NKF”. Hafalkan keduanya selama satu menit, lalu uji beberapa jam kemudian. Kata bermakna selalu lebih mudah diingat. Bahkan kata mana yang diingat pun berbeda bagi tiap orang, tergantung pada pengalaman dan emosi pribadinya. Ingatan bukan proses netral; ia dipandu oleh perasaan.
Kesalahan mendasar dunia pendidikan berakar dari pandangan lama bahwa emosi adalah gangguan terhadap akal. Sejak zaman Yunani Kuno hingga filsafat modern, logika dipuja sebagai sesuatu yang luhur, sementara perasaan dianggap liar dan tidak dapat dipercaya. Pandangan ini meresap ke seluruh kebudayaan Barat, menular ke ilmu pengetahuan dan akhirnya ke sekolah-sekolah. Akibatnya, pelatihan dan pendidikan di mana-mana berusaha menghapus unsur emosional agar tampak “ilmiah.” Kita lupa bahwa tidak ada pemikiran tanpa perasaan. Setiap gagasan lahir dari rasa ingin tahu, kegelisahan, atau semangat—semuanya bentuk emosi.
Dengan berpijak pada pandangan keliru itu, manusia menciptakan sistem belajar yang bertentangan dengan sifat dasarnya. Sekolah berusaha menahan pelupa dengan pengulangan, padahal otak diciptakan untuk melupakan yang tak berarti. Pengajaran berusaha membuat orang paham dengan memberi informasi, padahal pemahaman muncul dari pengalaman. Dunia pendidikan berusaha membangun kecerdasan dengan ujian, padahal kecerdasan sejati tumbuh dari rasa ingin tahu dan keterlibatan emosional.
Dalam kehidupan nyata, pengalaman emosionallah yang mengubah seseorang. Rasa malu mengajarkan kehati-hatian, rasa bersalah menumbuhkan empati, rasa bangga menumbuhkan keberanian. Semua perubahan perilaku yang bertahan selalu berakar pada perasaan. Belajar sejati bukanlah pengisian memori, melainkan reaksi yang mengubah diri.
Oleh karena itu, tugas pengajar atau pemimpin bukanlah menuangkan informasi, tetapi menciptakan pengalaman yang bermakna. Ketika seseorang merasa tersentuh, tertantang, atau terinspirasi, otaknya menyala dalam pola yang memperkuat hubungan saraf. Pelajaran menjadi bagian dari dirinya, bukan sekadar catatan di buku. Pengalaman emosional jauh lebih efektif daripada pengulangan mekanis. Karena itu, pembelajaran sejati hanya bisa terjadi dalam konteks yang memicu perasaan.
Sebuah pendidikan yang hidup seharusnya membangun rasa ingin tahu, bukan sekadar kepatuhan. Ia harus menciptakan situasi yang membuat murid terlibat, bukan menunggu. Guru yang baik tidak mentransfer pengetahuan, tetapi menyalakan rasa ingin tahu. Ketika seseorang tergerak oleh pengalaman, ia akan mencari tahu dengan sendirinya. Dan ketika ia menemukan makna, informasi akan melekat tanpa perlu dihafal.
Kita dapat melihat betapa banyak waktu dihabiskan untuk menghafal hal yang tidak berarti. Setelah ujian berlalu, hampir semuanya menguap. Namun pengalaman yang menggetarkan—kata-kata yang membuat malu, kekalahan yang menyakitkan, keberhasilan pertama, atau perasaan bangga—semuanya tetap hidup dalam ingatan puluhan tahun kemudian. Itulah bentuk belajar yang sejati, perubahan yang timbul karena pengalaman emosional.
Selama manusia memandang belajar sebagai proses intelektual, kita akan terus gagal memahami bagaimana seseorang benar-benar berubah. Pengetahuan bukan kumpulan fakta, melainkan konsekuensi dari hubungan kita dengan dunia. Kita tidak mengingat karena dipaksa, melainkan karena peduli. Kita tidak berubah karena diberi tahu, melainkan karena merasakan sesuatu yang mengguncang diri kita.
Belajar sejati tidak membutuhkan kurva pelupaan atau sistem ujian, karena ia bukan tentang melawan lupa. Ia tentang menemukan makna. Begitu sesuatu memiliki makna bagi kita, otak akan menjaganya dengan setia. Semua kemajuan manusia—dari api hingga komputer—lahir dari rasa ingin tahu yang dalam, dari perasaan bahwa dunia menyembunyikan sesuatu yang menunggu untuk ditemukan.
Setiap orang pada dasarnya tahu ini, meskipun tidak selalu menyadarinya. Ketika seseorang berkata, “Aku belajar sesuatu hari ini,” yang sesungguhnya ia maksud adalah, “Aku merasakan sesuatu yang mengubahku.” Belajar adalah reaksi terhadap pengalaman, bukan sekadar proses berpikir. Ia terjadi di saat dunia menyentuh kita dan kita meresponsnya dengan emosi yang kuat.
Maka, selama kita masih berusaha mengajar tanpa menyentuh perasaan, selama kita masih memisahkan logika dari empati, selama pendidikan masih menolak emosi atas nama objektivitas, kita akan terus gagal memahami bagaimana manusia belajar. Manusia tidak dibuat untuk menyimpan data, melainkan untuk merasakan, memaknai, dan berubah. Semua pelajaran besar dalam hidup—dari cinta, kehilangan, hingga penemuan—lahir dari satu hal yang sama, perasaan yang begitu kuat hingga mengubah siapa kita.

