Siasati Teknologi Pemantauan Karyawan untuk Meningkatkan Produktifitas

(Business Lounge Journal – Human Resources)

Kemajuan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI), machine learning, dan robotik kini memungkinkan manajemen perusahaan untuk memantau aktivitas karyawan dengan cara yang semakin canggih — bahkan tanpa sepengetahuan mereka. Namun, di balik kemudahan tersebut, muncul persoalan besar yang mengancam hubungan antara perusahaan dan karyawan: krisis kepercayaan. Penggunaan berlebihan alat pemantauan karyawan bukan hanya menimbulkan kekhawatiran soal privasi, tetapi juga berpotensi menurunkan moral tim, menciptakan lingkungan kerja yang penuh tekanan, hingga mendorong karyawan pergi.

Data mendukung kekhawatiran ini:

  • 78% perusahaan di Amerika Serikat menggunakan alat pemantauan berbasis algoritma.
  • 42% pekerja mengaku diawasi selama bekerja.
  • 61% karyawan yang “diawasi secara ketat” menolak praktik tersebut.
  • 35–40% pekerja jarak jauh justru lebih produktif saat tidak diawasi.

Bagaimana Teknologi Pemantauan Bekerja

Perangkat lunak pemantauan karyawan bekerja layaknya “penyedot data” yang mengumpulkan informasi dari berbagai aktivitas kerja.

“Perangkat ini dapat melacak aktivitas di perangkat perusahaan—mulai dari ketukan keyboard, aplikasi yang digunakan, aktivitas jaringan, hingga situs web yang dikunjungi,” jelas Peter Miscovich, Global Future of Work Leader di JLL. Data tersebut kemudian disusun dalam laporan dan dasbor yang memberi pandangan bagi manajer tentang produktivitas, keamanan data, dan potensi peningkatan kinerja.

Dengan software berbasis AI, aktivitas karyawan bisa dipantau sejak mereka menyalakan laptop di pagi hari. Sistem dapat membedakan waktu yang dihabiskan untuk pekerjaan produktif atau non-produktif, bahkan menganalisis potensi burnout serta ancaman keamanan siber. Jika digunakan dengan bijak, data agregat ini dapat membantu departemen HR mengambil keputusan yang lebih tepat terkait performa dan efisiensi kerja jangka panjang.

Risiko Besar di Balik Pemantauan Karyawan

Meskipun niat awalnya untuk meningkatkan efisiensi, pemantauan berlebihan justru dapat menciptakan budaya kerja yang disfungsional.

“Beberapa manajer masih percaya bahwa seseorang hanya bisa bekerja baik jika terus diawasi,” ujar Jan Hendrik von Ahlen, Managing Director di JobLeads. “Padahal, pendekatan seperti itu menandakan kurangnya kepercayaan dan bisa merusak budaya perusahaan.” Dampaknya serius: hilangnya kepercayaan, menurunnya produktivitas dan moral, gangguan keseimbangan kerja-hidup, hingga meningkatnya turnover karyawan.

Solusinya bukan meniadakan pemantauan sama sekali, tetapi menentukan batas sehat antara kontrol dan kepercayaan.

Kunci Utama: Transparansi dan Keterlibatan

Menurut para ahli, perusahaan sebaiknya menggunakan alat pemantauan dengan pendekatan yang agregatif dan anonim, bukan bersifat individual dan invasif.

“Gunakan data untuk mendukung, bukan mengintimidasi,” kata David Shim, CEO Read AI. “Jika tidak ada kepercayaan, dampaknya justru kontraproduktif. Transparansi harus menjadi fondasi.”

Jared Brown, CEO Hubstaff, menambahkan bahwa komunikasi terbuka adalah hal paling penting.
“Ketika setiap orang memahami apa yang dilacak, mengapa hal itu dilakukan, dan bagaimana manfaatnya bagi mereka, maka data dapat menjadi alat pemberdayaan, bukan pengawasan,” ujarnya.

Bagaimana Manajer Bisa Melakukannya Lebih Baik

  1. Mulai dengan kejujuran. Jelaskan alasan penggunaan alat pemantauan dan bagaimana data tersebut akan dimanfaatkan.
  2. Libatkan karyawan sejak awal. Mintalah masukan mereka dalam proses penerapan dan evaluasi sistem.
  3. Gunakan data untuk pemberdayaan. Dorong karyawan melihat datanya sendiri agar mereka dapat mengatur waktu dan prioritas kerja.
  4. Fokus pada hasil, bukan kontrol. Tujuan utama bukan memata-matai, tetapi menciptakan peningkatan produktivitas dan kesejahteraan.
  5. Tegaskan perlindungan data pribadi. Pastikan kebijakan pemantauan mematuhi prinsip etika dan keamanan informasi.

Pada akhirnya, keberhasilan teknologi pemantauan karyawan tidak terletak pada seberapa banyak data yang dikumpulkan, melainkan pada bagaimana manajer menggunakan data tersebut untuk membangun kepercayaan dan kolaborasi. Karena dalam dunia kerja modern, kepercayaan adalah mata uang yang paling berharga.