Langkah berani diambil pemerintah Belanda pekan ini: mereka resmi mengambil kendali atas perusahaan semikonduktor Nexperia, yang dimiliki oleh grup Tiongkok, Wingtech Technology.
Keputusan langka ini dilakukan karena kekhawatiran bahwa teknologi sensitif dan strategis dari perusahaan Belanda itu bisa berpindah tangan ke luar negeri dan mengancam keamanan nasional maupun Eropa.
Pemerintah Belanda menggunakan Goods Availability Act — undang-undang yang jarang dipakai — untuk menggantikan dewan direksi Nexperia dengan figur independen non-Tiongkok. Langkah ini menandai titik balik dalam cara negara Eropa memandang kepemilikan asing di sektor teknologi tinggi. Saham Wingtech di bursa Shanghai pun langsung anjlok hampir 10% setelah kabar ini diumumkan.
Pemerintah Tiongkok tak tinggal diam. Melalui Kementerian Luar Negeri, Beijing mengecam tindakan Belanda sebagai bentuk “intervensi politik yang merusak kepercayaan bisnis internasional.” Wingtech sendiri menegaskan akan menempuh jalur hukum, menilai keputusan itu tidak berdasar fakta, melainkan ketegangan geopolitik yang makin memanas antara Barat dan Tiongkok.
Kasus Nexperia ini tidak berdiri sendiri. Ia mencerminkan perebutan pengaruh global dalam rantai pasok semikonduktor — komponen penting di hampir semua perangkat modern, dari mobil listrik hingga kecerdasan buatan. Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa kini berlomba memastikan agar chip canggih tidak jatuh ke tangan pihak yang dianggap berisiko secara strategis.
Peluang dan Risiko bagi Indonesia
Bagi Indonesia, badai geopolitik teknologi ini justru membuka peluang baru. Ketika negara-negara Barat mulai menjauh dari Tiongkok, kawasan Asia Tenggara menjadi alternatif untuk diversifikasi rantai pasok industri chip.
Dengan posisi strategis dan tenaga kerja kompetitif, Indonesia bisa menarik investasi baru di sektor elektronik dan semikonduktor — asalkan mampu menyiapkan regulasi yang jelas dan ekosistem inovasi yang kuat.
Namun tanpa strategi nasional yang matang, Indonesia bisa terjebak hanya menjadi “pabrik dunia”, dimana yang akan terjadi adalah:
1. Investasi Masuk, tapi Nilai Tambah Rendah
Banyak perusahaan mungkin memindahkan produksi ke Indonesia hanya untuk alasan biaya murah, tanpa transfer teknologi atau riset.
Negara hanya mendapat keuntungan dari pajak dan tenaga kerja, sementara nilai intelektual dan paten tetap dimiliki asing.
2. Ketergantungan Teknologi Asing
Tanpa inovasi lokal, Indonesia akan terus bergantung pada impor mesin, perangkat lunak, dan bahan baku industri.
Akibatnya, Indonesia bisa “terkunci” dalam rantai pasok global yang dikendalikan oleh kekuatan besar seperti AS, Eropa, atau Tiongkok.
3. Tekanan Politik dan Geopolitik
Kasus seperti Nexperia menunjukkan bahwa kepemilikan asing dalam teknologi tinggi mudah menjadi isu politik.
Jika Indonesia tidak hati-hati mengatur kepemilikan dan perlindungan data strategis, bisa muncul tekanan dari berbagai blok kekuatan dunia yang ingin memengaruhi arah kebijakan nasional.
Kasus Nexperia menunjukkan bahwa teknologi kini bukan sekadar soal ekonomi, tapi juga kedaulatan dan kekuasaan.
Indonesia perlu mempersiapkan diri menghadapi era di mana chip, data, dan kecerdasan buatan menjadi senjata baru dalam geopolitik global.
Jika mampu memanfaatkan momentum ini, Indonesia tidak hanya akan menjadi bagian dari rantai pasok dunia — tapi juga pemain penting dalam peta teknologi masa depan.