(Business Lounge – Economy) Dalam sebuah forum ekonomi yang dihadiri kalangan pengusaha, analis, dan pejabat publik, Ruchir Sharma, Chairman Rockefeller International dan penulis terkenal tentang pasar negara berkembang, menyampaikan catatan penting mengenai arah pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sharma menyinggung harapan bahwa Indonesia mampu menembus laju pertumbuhan delapan persen, sebuah ambisi yang sering dikaitkan dengan status negara maju. Namun, menurutnya, angka sebesar itu tidak cukup hanya dijadikan retorika atau proyeksi. Untuk benar-benar dipercaya, harus ada bukti nyata yang terlihat dari dinamika konsumsi domestik, investasi, dan daya saing industri.
Sharma mengawali pandangannya dengan menengok kembali perjalanan panjang Indonesia sejak krisis Asia 1997–1998. Kala itu, ekonomi nasional mengalami guncangan besar, nilai rupiah merosot tajam, perbankan kolaps, dan kerusuhan sosial melanda berbagai daerah. Namun, dari titik terendah tersebut, Indonesia bangkit. Reformasi perbankan berhasil memperbaiki sistem keuangan, harga komoditas global yang meningkat di dekade 2000-an memberi angin segar bagi ekspor, dan konsumsi domestik kembali menguat.
Dalam bukunya Breakout Nations yang terbit pada 2012, Sharma bahkan menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang mampu keluar dari jebakan krisis dan menunjukkan disiplin fiskal yang baik. “Saat itu, Indonesia adalah contoh sukses bagaimana negara berkembang bisa bangkit lebih kuat dengan mengandalkan kombinasi stabilitas politik dan pengelolaan ekonomi yang hati-hati,” ujarnya.
Namun, menurut Sharma, momentum tersebut dalam beberapa tahun terakhir tampak melambat. Penjualan mobil, yang biasanya menjadi indikator penting daya beli masyarakat kelas menengah, tidak bertumbuh secepat yang diharapkan. Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia menunjukkan bahwa penjualan mobil domestik pada 2024 turun sekitar 9 persen dibanding tahun sebelumnya, berada di kisaran 870 ribu unit, padahal pada 2022 sempat tembus lebih dari satu juta unit. Konsumsi semen, indikator vital pembangunan perumahan dan infrastruktur, juga menurun tipis dari 62 juta ton pada 2023 menjadi sekitar 61 juta ton pada 2024 menurut data Asosiasi Semen Indonesia. Di pasar saham, kinerja indeks komposit Indonesia relatif tertinggal dibandingkan bursa Thailand dan Filipina, meskipun tetap menunjukkan stabilitas.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan, apakah pertumbuhan lima persen yang konsisten setiap tahun sudah cukup untuk melompat ke delapan persen? Sharma berpendapat bahwa angka itu masih belum mencerminkan energi penuh yang seharusnya dimiliki oleh negara dengan populasi lebih dari 280 juta jiwa, mayoritas di antaranya berusia produktif.
Ia menyinggung pula apa yang ia sebut “China shock”, sebuah istilah yang menggambarkan derasnya arus barang impor dari Tiongkok dengan harga sangat kompetitif. Dari elektronik, tekstil, hingga furnitur, produk Tiongkok masuk ke pasar Indonesia dengan harga yang sulit ditandingi produsen lokal. Bagi konsumen, ini memang menguntungkan karena daya beli meningkat. Tetapi dari sisi industri, terutama manufaktur kecil dan menengah, tekanan besar membuat banyak pelaku usaha kesulitan bertahan. Beberapa industri bahkan terpaksa mengurangi tenaga kerja, sehingga sebagian masyarakat kembali ke sektor pertanian atau pekerjaan informal.
Perbandingan dengan negara tetangga juga muncul dalam analisisnya. Malaysia, dengan jumlah penduduk hanya seperenam dari Indonesia, mampu mencatat penjualan mobil lebih tinggi, yakni sekitar 850 ribu unit pada 2024 menurut laporan Reuters. Filipina, meskipun menghadapi tantangan infrastruktur, berhasil menjaga dinamika konsumsi yang lebih cepat tumbuh, tercermin dari lonjakan penjualan ritel dan ekspansi kredit konsumen. Hal ini menimbulkan kesan bahwa Indonesia masih menahan potensi besar yang dimilikinya.
Bagi Sharma, kunci keberhasilan bukan sekadar pada konsumsi, tetapi juga pada keseimbangan kebijakan pemerintah. Ia menekankan bahwa memang benar belanja sosial sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun pembangunan infrastruktur tetap harus menjadi prioritas. “Jika kita terlalu cepat memperluas program sosial tanpa membangun fondasi ekonomi yang kokoh, risiko ketergantungan akan meningkat. Infrastruktur, riset, dan pendidikan adalah investasi jangka panjang yang akan menentukan arah pertumbuhan,” jelasnya.
Ia memberikan perbandingan historis, Korea Selatan, Taiwan, dan Tiongkok pada fase awal pembangunan lebih banyak menyalurkan anggaran ke infrastruktur, industri, dan pendidikan tinggi sebelum memperluas jaminan sosial. Hasilnya adalah lonjakan daya saing yang membuat negara-negara tersebut mampu memasuki era industri manufaktur bernilai tambah tinggi. Indonesia, menurut Sharma, bisa belajar dari strategi ini, agar kesejahteraan yang dihasilkan bukan hanya jangka pendek, tetapi berkelanjutan.
Faktor lain yang menjadi sorotan Sharma adalah investasi. Porsi investasi terhadap PDB Indonesia saat ini berada di kisaran 30–32 persen, menurut data Badan Pusat Statistik. Angka ini stabil, tetapi belum cukup untuk mendorong percepatan menuju pertumbuhan delapan persen. Dibutuhkan iklim usaha yang lebih kondusif melalui deregulasi nyata, kepastian hukum, serta kemudahan perizinan. “Pendidikan adalah investasi jangka panjang, tetapi untuk saat ini, prioritas utama tetap penciptaan lapangan kerja melalui investasi baru,” katanya.
Tantangan global justru bisa menjadi peluang. Sharma menekankan bahwa banyak reformasi besar lahir dari tekanan krisis. Indonesia, dengan defisit fiskal yang masih relatif terkendali di bawah tiga persen PDB pada 2024 menurut laporan Bloomberg, memiliki ruang lebih baik dibanding banyak negara lain yang terbebani utang tinggi. Amerika Serikat, Jepang, dan beberapa negara Eropa kini menghadapi defisit fiskal besar, sehingga ruang stimulus mereka terbatas. Ini justru saat yang tepat bagi Indonesia untuk bergerak lebih cepat memperkuat fondasi pertumbuhan.
Meski demikian, Sharma mengingatkan bahwa narasi stabilitas tidak boleh membuat pemerintah terlena. Jika tantangan seperti pelemahan konsumsi, ketergantungan pada komoditas, dan persaingan impor tidak segera ditangani, peluang untuk melompat ke delapan persen akan terhambat. Sebaliknya, jika tantangan itu diakui secara terbuka, maka dorongan untuk melakukan reformasi struktural bisa lebih kuat.
Dari sisi peluang, Indonesia tetap memiliki modal besar. Populasi muda yang produktif adalah aset utama. Bank Dunia dalam laporannya pada awal 2025 menyebut bahwa bonus demografi Indonesia dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi 1–2 poin persentase bila disertai investasi pada keterampilan tenaga kerja dan penciptaan lapangan kerja formal. Selain itu, posisi strategis Indonesia di jalur perdagangan internasional memberi kesempatan besar untuk menarik investasi rantai pasok global, terutama ketika banyak perusahaan multinasional mencari alternatif di luar Tiongkok.
Optimisme juga didukung oleh perkembangan sektor digital. Menurut laporan Google-Temasek-Bain e-Conomy SEA 2024, nilai ekonomi digital Indonesia telah mencapai lebih dari 100 miliar dolar AS, terbesar di Asia Tenggara. E-commerce, layanan keuangan digital, dan logistik modern memberi sinyal bahwa transformasi ekonomi sedang berlangsung, meski sektor tradisional seperti manufaktur dan pertanian masih memerlukan dorongan kuat.
Sharma menutup pandangan dengan keseimbangan antara kritis dan optimis. Ia menyebut pertumbuhan delapan persen bukanlah mimpi mustahil. Namun, untuk sampai ke sana, Indonesia perlu memastikan pertumbuhan itu terasa nyata di lapangan: lebih banyak lapangan kerja, meningkatnya daya beli masyarakat, berkembangnya industri berdaya saing, dan kebijakan yang konsisten mendukung produktivitas. “Pertumbuhan delapan persen adalah cita-cita besar. Dan cita-cita itu bisa dicapai bila fondasi yang kita bangun benar-benar kokoh,” pungkasnya.
Pandangan Ruchir Sharma mencerminkan sebuah pesan ganda, di satu sisi, ada tantangan serius yang tak boleh diabaikan; di sisi lain, ada peluang besar yang bisa diraih bila strategi tepat ditempuh. Bagi Indonesia, pilihan ke depan jelas, menyeimbangkan belanja sosial dengan pembangunan infrastruktur, memperkuat investasi, menjaga disiplin fiskal, dan mengakui tantangan sebagai dorongan untuk berubah. Dengan langkah tersebut, pertumbuhan delapan persen bukan hanya target di atas kertas, melainkan kenyataan yang bisa dirasakan oleh seluruh rakyat.

