7 Negara Penguasa Pasar Rare Earth: Strategi, Geopolitik, dan Peluang bagi Indonesia

(Business Lounge Journal – News and Insight)

Meskipun disebut rare earth atau unsur tanah jarang, elemen-elemen ini sebenarnya cukup melimpah di kerak bumi. Tantangannya adalah, cadangan yang layak secara ekonomis hanya terdapat di sedikit negara, dan proses penambangan serta pemurniannya sangat kompleks serta mahal. Akibatnya, hanya segelintir perusahaan dan negara yang mampu mengelola rantai pasoknya dari hulu hingga hilir.

Bagi sektor teknologi, energi, hingga pertahanan, Rare Earth Elements (REEs) merupakan sumber daya strategis yang tak tergantikan. Mulai dari motor kendaraan listrik, turbin angin, ponsel pintar, hingga sistem pertahanan canggih seperti radar dan rudal, semua memerlukan minimal satu jenis REE untuk berfungsi optimal.

Apa Itu Rare Earth Elements?

REEs adalah kelompok 17 logam khusus yang terdiri dari 15 unsur lanthanide ditambah skandium dan yttrium. Secara umum, REEs dibagi menjadi dua kelompok:

  • Light REEs: Lebih melimpah, tetapi bernilai ekonomis lebih rendah.
  • Heavy REEs: Lebih langka, sulit ditambang, dan digunakan untuk aplikasi teknologi tinggi.

Produk yang sangat bergantung pada REEs antara lain:

  • Kendaraan listrik – membutuhkan neodymium dan dysprosium untuk membuat magnet motor berkinerja tinggi.
  • Turbin angin – memanfaatkan terbium, dysprosium, praseodymium, dan neodymium.
  • Smartphone – menggunakan yttrium, gadolinium, neodymium, dan praseodymium untuk layar, speaker, dan sistem pencahayaan.
  • Peralatan pertahanan – mulai dari jet tempur hingga kapal selam memerlukan REEs untuk fungsi elektronik dan magnetik.

7 Negara Penguasa Pasar Rare Earth

1. China

  • Produksi: 270.000 ton/tahun
  • Cadangan: 44 juta ton
  • Menguasai ±99% kapasitas pemurnian global, menjadikannya pemegang kendali utama pasokan dunia. Pemerintah mengatur ketat operasi tambang dan memprioritaskan pasokan domestik sebelum ekspor.

2. Amerika Serikat

  • Produksi: 45.000 ton/tahun
  • Cadangan: 1,8 juta ton
  • Masih bergantung pada China untuk proses pemurnian, namun pemerintah memberi insentif bagi produsen domestik, terutama untuk kebutuhan pertahanan.

3. Australia

  • Produksi: 18.000 ton/tahun
  • Cadangan: 5,7 juta ton
  • Memiliki Critical Minerals Facility untuk mendukung pendanaan dan teknologi, serta berkolaborasi dengan AS, Jepang, dan Uni Eropa untuk mengurangi ketergantungan pada China.

4. Thailand

  • Produksi: 7.100 ton/tahun
  • Cadangan: 4.500 ton
  • Dekat dengan pusat manufaktur elektronik dan kendaraan listrik di Asia Tenggara, sehingga memiliki nilai strategis meski cadangannya terbatas.

5. Vietnam

  • Produksi: 600 ton/tahun
  • Cadangan: 22 juta ton
  • Aktif membuka kerja sama internasional, namun harus menjaga kelestarian lingkungan di daerah penambangan yang sensitif.

6. Brasil

  • Produksi: 80 ton/tahun
  • Cadangan: 21 juta ton
  • Memiliki potensi besar sebagai pemasok alternatif, namun terkendala kapasitas pemurnian dan proses perizinan yang rumit.

7. Rusia

  • Produksi: 2.600 ton/tahun
  • Cadangan: 10 juta ton
  • Dikendalikan perusahaan milik negara, namun akses pasar global terbatas karena sanksi internasional.

Mengapa Penguasaan Rare Earth Penting?

Kontrol terhadap REEs memberi kekuatan ekonomi, teknologi, dan geopolitik yang signifikan. China, misalnya, dapat menggunakan kebijakan ekspor sebagai alat diplomasi dan negosiasi perdagangan. Selain itu, REEs adalah komponen vital bagi industri pertahanan dan energi terbarukan.

Rantai pasok global REEs sangat rapuh: sedikit gangguan—seperti penutupan pabrik pemurnian di Vietnam karena masalah pajak—dapat mengurangi pasokan dunia selama berbulan-bulan.

Peluang dan Tantangan bagi Indonesia

Indonesia belum masuk jajaran produsen utama REEs, namun memiliki potensi cadangan yang belum dieksplorasi secara optimal, terutama di wilayah Sulawesi dan Kalimantan. Dengan strategi eksplorasi yang tepat, investasi teknologi pemurnian, dan regulasi lingkungan yang ketat, Indonesia berpotensi menjadi pemain penting di pasar REEs, terutama untuk mendukung transisi energi dan industri teknologi dalam negeri.

Langkah strategis yang dapat dipertimbangkan:

  1. Eksplorasi dan pemetaan cadangan nasional dengan melibatkan BUMN dan mitra internasional.
  2. Pengembangan kapasitas pemurnian agar tidak bergantung pada negara lain.
  3. Kerja sama strategis dengan negara penguasa REEs untuk transfer teknologi.
  4. Penerapan praktik pertambangan berkelanjutan untuk menjaga keberlanjutan lingkungan.