(Business Lounge – Global News) Starbucks memperketat aturan kerja bagi karyawan kantoran dengan mewajibkan kehadiran fisik di kantor selama minimal empat hari per minggu mulai tahun fiskal berikutnya. Kebijakan ini berlaku bagi seluruh staf korporat yang bekerja di kantor pusat Seattle, Toronto, maupun kantor regional di Amerika Utara. Bagi sebagian karyawan, ini bukan sekadar penyesuaian jadwal, melainkan ultimatum: kembali ke kantor atau ambil tawaran pemutusan hubungan kerja sukarela dengan kompensasi tunai satu kali.
Langkah ini merupakan perluasan dari kebijakan sebelumnya yang hanya mengharuskan tiga hari kerja dari kantor. Perusahaan juga menetapkan bahwa semua pemimpin unit atau manajer yang saat ini bekerja jarak jauh harus pindah secara fisik ke Seattle atau Toronto dalam waktu maksimal dua belas bulan. Jika tidak bersedia, Starbucks memberikan pilihan untuk menerima paket keluar secara sukarela. Dengan kata lain, fleksibilitas yang pernah menjadi daya tarik dalam dunia kerja pascapandemi kini perlahan dicabut.
CEO Starbucks, Laxman Narasimhan, menjelaskan bahwa keputusan ini diambil demi memperkuat kolaborasi, mempercepat pengambilan keputusan, dan membangun kembali budaya perusahaan yang menurutnya telah luntur selama masa kerja jarak jauh. Ia menyatakan bahwa interaksi langsung adalah elemen krusial dalam menyelesaikan tantangan operasional dan inovasi produk yang semakin kompleks. Dalam komunikasi internal yang tersebar ke media, Narasimhan menyebut bahwa budaya kerja hybrid yang terlalu longgar justru menghambat misi transformasi yang sedang dijalankan.
Langkah ini juga terjadi di tengah restrukturisasi yang lebih luas. Sebelumnya, Starbucks telah memangkas sekitar 1.100 posisi korporat sebagai bagian dari upaya efisiensi dan perampingan organisasi. Perusahaan menyebut bahwa kebijakan kehadiran fisik ini sejalan dengan filosofi “Back to Starbucks,” yang bertujuan mengembalikan dinamika kerja langsung yang pernah menjadi kekuatan utama perusahaan sebelum pandemi.
Starbucks bukan satu-satunya perusahaan besar yang mengambil arah ini. JPMorgan Chase, Amazon, Google, dan lainnya telah memperketat aturan kehadiran kantor dalam beberapa bulan terakhir. Alasan yang dikemukakan cenderung serupa: membangun kembali budaya perusahaan, meningkatkan produktivitas, dan mempercepat inovasi. Namun, langkah ini tidak lepas dari kontroversi. Banyak karyawan mengungkapkan bahwa kerja jarak jauh justru meningkatkan keseimbangan kehidupan kerja dan mengurangi stres komuter. Bagi sebagian orang, produktivitas pun tidak menurun selama bekerja dari rumah.
Di sisi lain, manajemen melihat tren lain yang mengkhawatirkan. Survei internal dan laporan dari lini produksi menunjukkan penurunan komunikasi lintas divisi dan lambatnya pengambilan keputusan. Dalam sektor ritel dan makanan cepat saji seperti Starbucks, dinamika pasar berubah sangat cepat. Peluncuran produk baru, strategi penjualan digital, hingga respons terhadap isu sosial menuntut kecepatan koordinasi yang seringkali lebih mudah dilakukan dalam interaksi langsung dibandingkan rapat virtual.
Selain tantangan kolaborasi, relokasi geografis menjadi masalah besar lainnya. Tidak semua pemimpin unit siap atau mampu pindah ke Seattle atau Toronto. Biaya hidup, kebutuhan keluarga, dan kontrak kerja sebelumnya bisa menjadi penghalang. Starbucks menyatakan bahwa mereka akan memberikan waktu transisi hingga satu tahun serta bantuan konseling bagi yang perlu mempertimbangkan keputusan besar tersebut. Namun, tetap saja, bagi sebagian karyawan, kebijakan ini terasa seperti pemaksaan yang halus—atau bahkan ancaman terselubung.
Respon publik terhadap kebijakan ini juga mencerminkan pergeseran iklim kerja secara global. Setelah lebih dari tiga tahun banyak perusahaan mengadopsi model kerja hybrid, terdapat ekspektasi baru dari tenaga kerja profesional tentang fleksibilitas, kepercayaan, dan otonomi. Keputusan Starbucks dapat menjadi ujian besar apakah budaya kerja pra-pandemi masih dapat dipulihkan sepenuhnya, atau apakah telah terjadi perubahan permanen dalam cara kita bekerja dan berinteraksi.
Meski demikian, bagi perusahaan global seperti Starbucks yang memiliki lebih dari 36.000 gerai di seluruh dunia, konsistensi dan kecepatan eksekusi strategi tetap menjadi prioritas utama. Dalam jangka panjang, manajemen percaya bahwa hadirnya kembali para eksekutif dan staf senior ke pusat pengambilan keputusan akan memperkuat posisi kompetitif perusahaan di pasar yang semakin padat pemain dan makin digital.
Dengan kebijakan ini, Starbucks sedang mempertaruhkan banyak hal: loyalitas karyawan, dinamika internal, hingga citra perusahaan sebagai tempat kerja modern. Apakah pendekatan “kembali ke kantor atau keluar” ini akan berhasil, atau justru memicu eksodus talenta kunci, hanya waktu yang bisa menjawab. Namun satu hal jelas, lanskap kerja di perusahaan global seperti Starbucks sedang memasuki babak baru yang mungkin tidak lagi seperti dulu.