Unilever

Unilever Sulap Sabun Viral AI

(Business Lounge – Global News) Unilever baru-baru ini menjalankan sebuah kampanye berani menggunakan AI dan influencer untuk membuat sabun spesial Dove dengan aroma cookie Crumbl menjadi viral di media sosial. Hasilnya luar biasa: lebih dari 3,5 miliar impresi, 52% pembeli baru, dan model pemasaran ini kini menjadi blueprint untuk produk harian lainnya.

Strategi ini didorong oleh dorongan perusahaan untuk mempercepat turnaround dan pemulihan performa merek. Dove cookie edition diluncurkan pada awal 2024. Alih-alih kampanye tradisional, Unilever menggunakan AI untuk memproduksi ribuan aset visual per minggu—bandingkan sebelumnya hanya beberapa aset per bulan. Influencer di Instagram dan TikTok mempromosikannya, lalu konten mereka diduplikasi, diubah formatnya, dan disebar ulang oleh sistem AI internal bernama Gen AI Content Studios.

Teknologi di baliknya mencakup penggunaan platform Nvidia Omniverse untuk membuat “digital twin”—model 3D akurat produk—yang di-feed ke Gen AI untuk menghasilkan visual, motion clip, dan teks marketing secara otomatis. Pendekatan ini memecahkan masalah skala: konten bisa dipersonalisasi untuk bahasa, platform, dan pasar berbeda dalam hitungan menit, bukan minggu.

Capaian kampanye ini tidak hanya soal impresi. Data internal Unilever menunjukkan bahwa dari pembeli Dove cookie edition, 52% belum pernah membeli Dove sebelumnya. Inilah sinyal berhasilnya strategi untuk menjangkau audiens baru. Strategi AI influencer kini diupayakan diaplikasikan ke merek lain seperti Vaseline dan TRESemmé.

Lebih dari itu, pendekatan ini sejalan dengan strategi “social-first” Unilever, yang menekankan bahwa 50% konsumen menemukan produk di media sosial, dan separuh dari mereka membeli karena konten influencer. Ryu Yokoi, Chief Media and Marketing Capability Officer, menyebut AI sebagai kunci untuk mengolah lebih dari 100 potongan konten influencer menjadi format berbeda dan siap distribusi global dengan cepat.

Selain marketing, AI juga merambah riset & pengembangan dan rantai pasok. Tim produk bekerjasama erat dengan pusat R&D untuk melakukan inovasi sabun dan kosmetik menggunakan big data, machine learning, dan robotika. Dengan robot uji di Materials Innovation Factory (UK) dan modelling formulasi, eksperimen yang biasanya memakan waktu bertahun-tahun bisa dipersingkat jadi hari atau minggu.

Di bagian rantai pasok, mereka membangun gudang dan pabrik otonom—seperti fasilitas di Cina—yang memungkinkan produksi langsung dari R&D ke konsumen saat terjadi lonjakan permintaan. Ini menghindari krisis stok dan memastikan produk tersedia tepat setelah viral.

Unilever pun menyadari pentingnya menjaga kualitas merek. Digital twin memastikan setiap gambar produk tetap on-brand, bebas kesalahan warna, label, atau format bahasa. Ini sekaligus memangkas biaya pengambilan gambar hingga 50%, mempercepat waktu produksi dua kali lipat.

Rencana ke depan dari Unilever adalah membawa strategi ini ke kategori lainnya: mulai dari deodoran, sampo, hingga lotion. Mereka bahkan sedang menguji coba influencer versi AI—avatar virtual yang bisa bicara di banyak jalur secara konsisten, tanpa kendala jangkauan manusia.

Secara strategi, ini menandai peralihan besar: dari model marketing satu pesan ke banyak penerima, menjadi banyak pesan untuk banyak komunitas niche. Model ini menebar ke pasar global dan lokal, mendorong keterlibatan yang lebih personal dan relevan.

Meski demikian, tantangan tetap ada. Kuncinya adalah menjaga keseimbangan antara kecepatan produksi konten dan otentisitas. Influencer manusia masih dianggap pembawa kepercayaan lebih tinggi. AI digunakan sebagai amplifikasi, bukan pengganti. Di samping itu, perusahaan perlu memastikan akurasi ilmiah dan produksi etis tetap dijaga.

Unilever berinvestasi besar dalam infrastruktur—ratusan aplikasi AI, kolaborasi dengan Nvidia, serta integrasi AI dalam semua lini. Ini bukan sekadar tren digital, tapi evolusi strategis: membentuk masa depan pemasaran dan R&D produk konsumer.

Kampanye Dove cookie edition bukan hanya viral—ia menyulut transformasi struktural bagi Unilever. AI tidak hanya mempercepat kreativitas, tapi juga menciptakan sistem yang responsif terhadap budaya dan preferensi konsumen secara real time. Jika berhasil diterapkan secara luas, kita bisa menyaksikan masa depan produk “biasa” menjadi luar biasa melalui lensa AI dan komunitas digital.