(Business Lounge – Global News) Pembicaraan awal antara Shell dan BP untuk kemungkinan akuisisi telah menggemparkan industri energi global. Jika kesepakatan ini terwujud, akan menjadi salah satu penggabungan paling signifikan dalam sejarah sektor minyak dan gas, menggabungkan dua nama besar yang telah membentuk peta energi global selama lebih dari satu abad.
Shell, yang saat ini bernilai sekitar 146 miliar poundsterling, dikabarkan telah memulai diskusi internal dan melibatkan penasihat eksternal untuk menilai kemungkinan pengambilalihan BP, yang valuasinya berada di kisaran 56 miliar poundsterling. Meski kedua perusahaan belum membuat pernyataan resmi, sumber-sumber yang mengetahui pembahasan ini menyatakan bahwa proses masih berada dalam tahap sangat awal, tanpa jaminan akan menghasilkan transaksi.
Potensi penggabungan ini menandai respons terhadap lanskap energi global yang tengah berubah cepat. Di tengah transisi energi, tekanan pasar, dan kebangkitan tren konsolidasi seperti akuisisi Exxon terhadap Pioneer dan Chevron terhadap Hess, perusahaan minyak raksasa mencari skala dan efisiensi operasional untuk mempertahankan posisi mereka dalam sistem energi global.
Jika Shell dan BP bersatu, mereka akan membentuk salah satu entitas energi terbesar di dunia. Produksi gabungan kedua perusahaan diperkirakan mencapai hampir lima juta barel minyak ekuivalen per hari. Ini berarti gabungan keduanya akan melampaui output ExxonMobil dan mendekati skala produksi perusahaan-perusahaan negara seperti Saudi Aramco.
Di pasar gas alam cair (LNG), pengaruh gabungan Shell dan BP akan luar biasa. Shell saat ini merupakan pemain LNG terbesar di dunia. BP memiliki portofolio LNG yang besar, termasuk proyek-proyek di Mozambik, Australia, dan AS. Merger ini berpotensi menguasai lebih dari 20 persen perdagangan LNG global—mengubah dinamika persaingan di Asia dan Eropa, dua pasar utama LNG.
Namun, keuntungan skala ini datang bersama tantangan besar. Salah satu yang paling signifikan adalah utang dan kewajiban warisan yang dibawa oleh BP. Perusahaan ini masih menanggung beban hukum dan kompensasi lingkungan dari tragedi tumpahan minyak Deepwater Horizon tahun 2010. Selain itu, leverage BP yang tinggi menjadi salah satu alasan mengapa investor menekan manajemen untuk merampingkan strategi dan fokus kembali pada aset inti.
Dari sisi Shell, para analis melihat ada dilema. CEO Wael Sawan, sejak menjabat, telah mengambil pendekatan yang lebih konservatif terhadap akuisisi besar. Ia lebih memilih program pembelian kembali saham dan peningkatan efisiensi operasional ketimbang ekspansi agresif. Jika Shell memutuskan untuk maju dengan akuisisi ini, hal tersebut akan menandai perubahan arah besar dan berisiko, khususnya dalam konteks meningkatnya tekanan terhadap dekarbonisasi dan permintaan energi bersih.
Regulasi juga menjadi rintangan berat. Gabungan dari dua perusahaan dengan jaringan global dan lebih dari 65.000 SPBU akan menarik perhatian regulator antimonopoli di AS, Uni Eropa, dan negara-negara produsen minyak utama. Untuk mendapatkan persetujuan, Shell kemungkinan besar harus melepas sebagian aset, termasuk divisi hilir BP seperti SPBU, jaringan distribusi, dan bahkan beberapa portofolio energi terbarukan mereka.
Pertanyaan strategis lainnya adalah arah dari transisi energi. BP sempat lebih agresif dalam diversifikasi menuju energi terbarukan, meskipun baru-baru ini kembali fokus pada produksi minyak dan gas. Sementara Shell, dalam beberapa tahun terakhir, telah merestrukturisasi portofolio energi terbarukan dan mengambil pendekatan yang lebih disiplin secara finansial. Jika penggabungan ini terjadi, arah strategi gabungan akan menjadi perhatian penting para investor dan pemangku kepentingan.
Sementara itu, investor terus berspekulasi. Saham BP melonjak tipis setelah kabar ini merebak, meski belum ada konfirmasi resmi. Beberapa analis pasar modal melihat ini sebagai sinyal bahwa pasar terbuka terhadap konsolidasi besar, terutama jika diiringi dengan janji efisiensi, pengurangan biaya, dan penguatan posisi global dalam perdagangan energi utama.
Namun jalan menuju kesepakatan masih panjang. Sejumlah sumber menyebutkan bahwa Shell masih menimbang kemungkinan risiko reputasi dan kompleksitas hukum yang terkait dengan akuisisi BP, termasuk warisan Deepwater Horizon dan tekanan ESG (lingkungan, sosial, dan tata kelola) yang semakin kuat dari para pemegang saham institusi besar.
Dalam iklim geopolitik yang kian kompleks—dari ketegangan di Timur Tengah hingga tekanan transisi energi di Eropa dan pertumbuhan permintaan energi dari Asia—langkah Shell mempertimbangkan penggabungan dengan BP mencerminkan tekanan industri energi global untuk bertindak cepat dan berani. Entah merger ini akan terwujud atau tidak, sinyalnya sudah jelas: skala kini menjadi keunggulan kompetitif utama dalam industri energi, dan para pemain terbesar sedang bergerak.
Shell dan BP bukan sekadar nama besar, tetapi simbol sejarah dan dominasi energi global. Jika keduanya bersatu, ini bukan hanya merger korporat biasa—ini akan menjadi penentu ulang lanskap energi global untuk dekade mendatang.