(Business Lounge – Global News) Dalam langkah yang menandai babak baru bagi industri periklanan global, Federal Trade Commission (FTC) akhirnya menyetujui rencana merger antara dua agensi periklanan raksasa asal Amerika Serikat, Omnicom Group dan Interpublic Group (IPG). Persetujuan ini tidak datang tanpa syarat. Kedua perusahaan harus terlebih dahulu membuat komitmen tertulis bahwa mereka tidak akan mendorong klien mereka untuk menghindari beriklan di platform atau media tertentu hanya karena afiliasi atau persepsi politik dari penerbit konten tersebut.
Langkah FTC ini mencerminkan sensitivitas yang meningkat terhadap peran agensi iklan dalam mengarahkan belanja media berdasarkan nilai-nilai ideologis atau tekanan politik. Omnicom dan IPG tidak mengakui pernah melakukan boikot terhadap media berbasis orientasi politik, namun bersedia memberikan jaminan bahwa mereka tidak akan melakukannya ke depan. Dengan adanya komitmen tersebut, regulator akhirnya memberikan lampu hijau untuk merger yang akan menciptakan salah satu entitas periklanan terbesar di dunia.
Menurut laporan The Wall Street Journal, nilai gabungan kedua perusahaan diperkirakan akan melampaui $40 miliar dalam kapitalisasi pasar dan melayani hampir seluruh klien Fortune 500. Merger ini dianggap sebagai respons strategis terhadap perubahan dramatis dalam industri pemasaran digital, di mana penguasaan data, skala global, dan kecanggihan teknologi menjadi faktor penentu keberhasilan kampanye iklan lintas platform.
Namun, merger ini terjadi dalam konteks yang semakin panas secara politis. Selama beberapa tahun terakhir, muncul kekhawatiran bahwa agensi iklan besar mulai menjalankan “boikot diam-diam” terhadap media tertentu yang dianggap konservatif, atau sebaliknya, terlalu progresif. Beberapa pengiklan besar dikabarkan enggan memasang iklan di platform dengan konten kontroversial, bukan hanya karena alasan merek, tetapi juga karena tekanan dari kelompok tertentu atau nilai-nilai internal perusahaan.
FTC, di bawah kepemimpinan Ketua Lina Khan, telah menunjukkan perhatian yang besar terhadap dinamika kekuatan di balik layar dalam pasar iklan digital. Dalam pernyataan publik, FTC menyebut bahwa konsentrasi kekuatan agensi periklanan besar berpotensi mengarah pada praktik pengaruh yang melampaui sekadar efisiensi bisnis. Ketika agensi memiliki kapasitas untuk membentuk keputusan klien terkait di mana mereka harus atau tidak harus beriklan, maka hal itu bisa mengarah pada bias struktural yang mengganggu kebebasan pers dan keragaman media.
Dengan latar belakang itu, kesediaan Omnicom dan IPG untuk membuat komitmen terbuka dipandang sebagai kompromi pragmatis. Kedua perusahaan menyatakan bahwa mereka akan tetap memberikan rekomendasi media berdasarkan kriteria performa, jangkauan audiens, dan integritas brand safety—bukan berdasarkan spektrum politik atau ideologi penerbit.
Dalam industri yang terus berubah, langkah merger ini juga mencerminkan dorongan untuk konsolidasi demi skala ekonomi. Seiring meningkatnya dominasi platform teknologi seperti Google, Meta, dan TikTok yang kini memiliki sistem iklan mandiri berbasis algoritma, agensi tradisional menghadapi tekanan untuk membuktikan nilai tambah mereka. Dengan bergabung, Omnicom dan IPG berharap dapat memperkuat kemampuan mereka dalam bidang analitik data, personalisasi konten, serta layanan lintas kanal—dari televisi, radio, hingga digital dan sosial.
Bloomberg mencatat bahwa tantangan terbesar bagi merger ini bukan hanya pengawasan regulator, tetapi juga integrasi budaya korporat. Omnicom, dengan struktur yang sangat terdesentralisasi dan beragam, memiliki puluhan anak usaha dengan pendekatan kreatif yang berbeda. Sementara IPG lebih dikenal dengan manajemen yang terstruktur dan pendekatan yang lebih sistematis. Menyatukan dua model operasional ini memerlukan kecermatan agar tidak mengganggu klien besar yang selama ini terbiasa dengan gaya layanan masing-masing.
Dari sisi pasar, merger ini mendapat reaksi positif. Saham kedua perusahaan mengalami kenaikan tipis sejak pengumuman persetujuan FTC. Analis dari Goldman Sachs menilai langkah ini sebagai “penyesuaian yang masuk akal” dalam lanskap media yang makin terkonsentrasi dan terotomatisasi. Namun, mereka juga mencatat bahwa pengawasan politik dan publik terhadap konten iklan dan afiliasi media belum akan surut.
Sebagian pengamat melihat bahwa isu utama dari kesepakatan ini bukan pada ukuran entitas hasil merger, tetapi pada dampaknya terhadap ekosistem media secara lebih luas. Ketika dua agensi terbesar berjanji tidak akan menilai media berdasarkan orientasi politik, artinya ada pengakuan implisit bahwa praktik semacam itu pernah, atau bisa saja, terjadi. Dalam era di mana kepercayaan terhadap media makin terfragmentasi, dan algoritma media sosial menciptakan ruang gema digital, agensi periklanan berada dalam posisi strategis—sekaligus berbahaya—untuk menentukan siapa yang mendapat akses pada anggaran miliaran dolar dan siapa yang tidak.
Reuters mencatat bahwa selama pemilu AS 2024, sejumlah merek besar secara diam-diam mengalihkan anggaran iklannya dari platform dengan konten politik sensitif. Banyak dari keputusan tersebut disebut “berbasis risiko merek”, tetapi tidak sedikit juga yang didorong oleh tekanan sosial internal, kampanye digital, atau persepsi publik. Dengan adanya kesepakatan formal dari Omnicom dan IPG untuk tidak melakukan pengaruh politik terhadap pembelanjaan klien, FTC berharap dapat menurunkan tensi dan memastikan pasar iklan tetap netral dan terbuka.
Namun apakah komitmen tersebut akan dijalankan sepenuhnya atau sekadar menjadi formalitas hukum, masih harus dibuktikan. Dalam praktiknya, agensi bisa saja tetap memengaruhi keputusan klien melalui interpretasi data, framing rekomendasi, atau pengaturan bidding di platform programatik. Itulah sebabnya pengawasan pasca-merger akan menjadi tahap yang tak kalah penting.
Dalam hal ini, merger Omnicom-IPG bukan hanya tentang dua perusahaan besar yang bergabung, tetapi juga tentang bagaimana kekuatan periklanan digunakan atau disalahgunakan di era informasi. Sebagaimana teknologi telah mengubah cara orang melihat dan menyerap pesan, maka siapa yang mengatur aliran pesan tersebut akan sangat menentukan bentuk opini publik, arus informasi, dan bahkan stabilitas sosial.
Sementara klien-klien utama dari kedua agensi—termasuk perusahaan multinasional seperti McDonald’s, Unilever, dan Microsoft—menyambut baik merger ini karena memperluas cakupan global layanan mereka, kelompok masyarakat sipil dan pengamat media tetap mengingatkan bahwa peran agensi harus dibatasi pada kapasitas teknis, bukan sebagai penentu arah moral atau politik.