(Business Lounge – Human Resources) Dalam dunia kerja modern, kita sering mendengar nasihat klasik: “Ikuti passion-mu.” Namun, sebuah studi baru mengungkap bahwa ketika perempuan menunjukkan gairah besar terhadap pekerjaan mereka, hasilnya bisa berbeda—bahkan bisa merugikan karier mereka.
Penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of Personality and Social Psychology menemukan bahwa mengekspresikan semangat atau dedikasi tinggi dalam pekerjaan cenderung mendatangkan persepsi positif bagi laki-laki. Mereka dinilai lebih kompeten, termotivasi, dan pantas mendapat promosi. Sebaliknya, perempuan yang menunjukkan tingkat gairah serupa malah sering dianggap kurang rasional, emosional, atau bahkan tidak profesional.
Penelitian yang dipimpin oleh Steffanie Wilk dari Ohio State University menunjukkan bahwa dalam serangkaian eksperimen, partisipan menganggap karyawan laki-laki yang sangat bersemangat sebagai pekerja ideal. Namun ketika perempuan menunjukkan antusiasme yang sama, mereka justru dinilai kurang cocok untuk posisi senior atau peran strategis.
Dalam konteks dunia kerja yang masih dipengaruhi stereotip gender, ekspresi passion sering disalahartikan. “Ada persepsi implisit bahwa kalau laki-laki menunjukkan semangat, itu tandanya mereka serius. Tapi kalau perempuan melakukannya, sering kali dianggap terlalu emosional,” kata Wilk dalam wawancaranya.
Penilaian ini menjadi sangat penting dalam proses rekrutmen dan promosi. Dalam salah satu eksperimen, partisipan melihat video wawancara kerja dari dua kandidat—laki-laki dan perempuan—dengan latar belakang dan pengalaman yang identik. Keduanya sama-sama menunjukkan antusiasme tinggi. Hasilnya: kandidat laki-laki dinilai lebih layak direkrut dan dipromosikan.
Situasi ini memperlihatkan bagaimana passion, sesuatu yang dianggap positif dan universal, bisa menjadi pedang bermata dua—tergantung siapa yang menyuarakannya.
Temuan ini juga memperluas kritik terhadap nasihat populer “follow your passion.” Seperti yang ditunjukkan oleh penelitian sebelumnya dari Columbia University, nasihat tersebut sebenarnya memperkuat ketimpangan gender karena mendorong perempuan untuk mengikuti minat pribadi—yang sering kali tertanam dalam norma sosial tradisional. Hasilnya: perempuan cenderung memilih pekerjaan dalam sektor yang secara historis digaji lebih rendah dan lebih undervalued, seperti pendidikan atau pelayanan sosial.
Artikel ini mengajak pembaca untuk mempertimbangkan kembali bagaimana organisasi menilai dan memberi penghargaan atas semangat bekerja. Passion seharusnya menjadi indikator motivasi universal—bukan terpolarisasi oleh gender. Para manajer dan profesional HR perlu menyadari bahwa bias implisit masih sangat kuat dalam membaca bahasa tubuh, gaya bicara, dan ekspresi antusiasme.
Sebagai contoh, gaya bicara tegas dan penuh energi dari karyawan pria sering dipuji sebagai “berkarakter.” Tapi ketika hal serupa ditunjukkan oleh perempuan, bisa jadi malah dianggap “terlalu agresif” atau “kurang menyenangkan.”
Salah satu cara untuk mengurangi dampak bias ini adalah mengalihkan fokus dari berapa besar gairah yang ditunjukkan ke kontribusi nyata dan hasil kerja. Penghargaan terhadap semangat tetap penting, tapi harus dibarengi dengan tolok ukur objektif yang bisa diakses secara setara.
Studi ini juga mendorong perusahaan untuk membentuk lingkungan yang aman bagi perempuan untuk mengekspresikan dedikasi mereka tanpa takut dipersepsi negatif. Budaya kerja yang inklusif tidak hanya mengandalkan ekspresi emosional, tapi mengakui kerja keras dalam segala bentuknya—baik yang vokal maupun yang senyap.
Menunjukkan passion dalam pekerjaan memang penting. Tapi seperti yang ditunjukkan penelitian ini, respons terhadap passion tidak selalu adil. Di banyak tempat kerja, laki-laki mendapat keuntungan dari ekspresi semangat, sementara perempuan harus berhati-hati agar tidak dipersepsi salah.
Jika kita ingin tempat kerja yang adil dan meritokratis, kita perlu menyadari bahwa bahkan hal-hal yang terdengar positif—seperti passion—pun bisa menjadi alat diskriminasi halus. Dan perubahan itu dimulai dari menyadari, lalu memperbaiki cara kita menilai satu sama lain.
Di ruang-ruang rapat yang tenang dan rapi, bias semacam ini jarang disadari secara eksplisit. Tidak ada yang dengan sengaja menolak perempuan karena mereka terlalu antusias. Tapi penilaian muncul dari bahasa tubuh, nada suara, atau bahkan sekadar raut wajah saat menyampaikan ide. Seseorang mungkin tidak menyadari bahwa dalam pikirannya, semangat yang meledak dari seorang laki-laki terasa meyakinkan, sementara dari seorang perempuan justru terasa “berlebihan”.
Situasi ini mengingatkan bahwa tempat kerja bukan ruang steril. Ia dibentuk oleh budaya, persepsi, dan ingatan kolektif yang dibentuk selama puluhan tahun. Maka, ketika perempuan mencoba menunjukkan betapa besar cinta mereka terhadap pekerjaan—dengan harapan akan dipandang sebagai seseorang yang berdedikasi tinggi—mereka justru berisiko dianggap tidak sesuai dengan kerangka ideal pekerja yang “objektif” dan “rasional”.
Dalam jangka panjang, efeknya bisa merambat ke arah yang lebih dalam. Perempuan mungkin akan mulai menahan diri, memilih berbicara dengan nada netral, membatasi gestur tubuh, dan menyamarkan antusiasme mereka agar tidak “salah dibaca”. Lama-lama, tempat kerja menjadi ruang yang menyulitkan mereka untuk menjadi diri sendiri. Passion, yang seharusnya menjadi bahan bakar produktivitas, malah menjadi beban yang harus disesuaikan dengan harapan orang lain.
Sementara itu, rekan laki-laki mereka justru mendapat ruang luas untuk mengekspresikan diri. Semangat mereka dianggap sebagai tanda visi. Ledakan ide sebagai bukti inovasi. Ketegasan dalam menyampaikan pendapat ditafsirkan sebagai kepemimpinan. Dan ketika perbedaan ini berulang dalam berbagai forum, proses seleksi, atau evaluasi kinerja, maka terjadi akumulasi ketimpangan yang tidak terlihat—yang kadang lebih berbahaya daripada diskriminasi terbuka.
Dalam konteks ini, muncul pertanyaan: apakah passion memang netral? Atau apakah passion telah dibungkus dengan konstruksi sosial yang hanya menguntungkan sebagian orang? Jika jawaban yang kedua lebih mendekati kenyataan, maka pekerjaan rumah kita adalah membongkar ulang cara kita memahami gairah, komitmen, dan loyalitas di tempat kerja.
Beberapa organisasi mulai menyadari hal ini. Mereka mencoba mengukur kinerja dengan lebih sistematis, mengurangi ketergantungan pada penilaian berbasis kepribadian. Sistem evaluasi mulai melibatkan panel lintas gender dan lintas divisi, serta pelatihan anti-bias yang dirancang untuk mendeteksi reaksi otomatis yang sering tidak disadari. Tetapi masih banyak yang melihat hal-hal seperti passion sebagai kualitas “alami” yang tak perlu didefinisikan ulang. Di sinilah masalah bertahan.
Jika dunia kerja tetap memuji semangat sebagai nilai luhur, maka semangat itu harus bisa diterima dalam beragam bentuk. Gairah tidak selalu berbentuk sorotan mata yang menyala atau suara lantang yang memikat ruangan. Ia bisa hadir dalam konsistensi, perhatian pada detail, atau keinginan untuk menyelesaikan sesuatu hingga akhir. Dan ketika organisasi mampu mengenali bentuk-bentuk passion yang beragam itu—mereka bukan hanya menjadi tempat kerja yang lebih adil, tapi juga lebih cerdas.
Perubahan ini tidak memerlukan revolusi besar. Ia cukup dimulai dengan pertanyaan sederhana di kepala setiap manajer, rekan kerja, atau tim perekrutan: Apakah saya memberikan respons yang sama jika orang ini adalah laki-laki? Atau perempuan?
Dan jika jawabannya berbeda, mungkin sudah waktunya untuk mengubah cara kita memandang passion—bukan sebagai sorotan yang harus terlihat, tapi sebagai energi dalam yang bisa ditemukan di siapa saja, apa pun bentuknya.