Home Depot

Home Depot dan Simbol Baru Kebijakan Deportasi AS

(Business Lounge – Global News) Di tengah pusaran politik imigrasi yang semakin panas di Amerika Serikat, Home Depot mendadak menjadi lokasi sentral yang tak terduga. Toko ritel bahan bangunan terbesar di negara itu kini berada dalam sorotan kebijakan penegakan hukum imigrasi Gedung Putih. Instruksi langsung dari mantan penasihat senior Presiden Donald Trump, Stephen Miller, memerintahkan otoritas imigrasi, ICE (Immigration and Customs Enforcement), untuk menarget secara khusus area parkir Home Depot dan lokasi sejenis sebagai bagian dari strategi deportasi massal. Perintah ini menyimbolkan babak baru dalam kampanye penegakan hukum yang lebih agresif, yang berdampak langsung pada ribuan pekerja imigran tidak berdokumen dan komunitas lokal di sekitar toko-toko tersebut.

Selama dua dekade terakhir, Home Depot telah menjadi lokasi yang dikenal secara informal sebagai tempat berkumpulnya para pekerja harian, terutama imigran Latin, yang menawarkan jasa bangunan, renovasi, dan pekerjaan kasar lainnya kepada pelanggan toko. Praktek ini menciptakan ekosistem tenaga kerja semi-formal yang menguntungkan banyak pihak—Home Depot mendapat peningkatan penjualan dari para kontraktor kecil, sementara pekerja mendapatkan akses ke pekerjaan yang relatif stabil meskipun berada di luar sistem formal ketenagakerjaan. Namun, sejak instruksi Gedung Putih mulai diimplementasikan oleh ICE awal tahun ini, ekosistem ini mulai runtuh.

Menurut laporan dari The Wall Street Journal, razia ICE meningkat tajam di berbagai kota seperti Los Angeles, Houston, Newark, dan Pomona. Petugas bersenjata lengkap melakukan penggrebekan pagi hari di parkiran toko, menangkap puluhan hingga ratusan pekerja hanya dalam waktu singkat. Banyak dari mereka langsung dideportasi tanpa proses hukum panjang. Dalam beberapa kasus, seperti di San Diego dan Orange County, proses deportasi bahkan sempat diblokir oleh hakim federal karena ditemukan pelanggaran prosedur atau tidak adanya surat perintah yang sah. Beberapa advokat imigrasi menuding ICE melakukan “penahanan sewenang-wenang” yang bertentangan dengan prinsip due process dalam sistem hukum AS.

Ketakutan menyebar luas di komunitas pekerja Latin. Laporan dari The Guardian menyebutkan bahwa banyak dari mereka kini memilih menghindari lokasi Home Depot dan mencari pekerjaan melalui jalur lain yang lebih tersembunyi, termasuk perantara komunitas atau jaringan pribadi. “Dulu, saya bisa dapat pekerjaan setiap hari hanya dengan berdiri di luar Home Depot. Sekarang tidak berani. Saya takut ditangkap,” kata Miguel Hernández, pekerja asal Guatemala, kepada The Washington Post. “Bahkan mobil putih dengan kaca gelap saja bisa bikin saya lari,” tambahnya.

Home Depot sendiri menyatakan bahwa mereka tidak pernah bekerja sama dengan ICE dan tidak diberi informasi sebelumnya tentang penggerebekan. Dalam memo internal yang bocor ke media, manajemen pusat menyarankan seluruh toko untuk tidak berinteraksi langsung dengan petugas imigrasi dan, jika perlu, menawarkan cuti darurat bagi staf yang terdampak atau terintimidasi. Perusahaan juga menekankan bahwa mereka tidak mendiskriminasi berdasarkan status imigrasi dan mengutuk segala bentuk rasisme. Namun, bagi banyak orang, netralitas formal ini dirasa kurang cukup dalam meredam krisis sosial yang sudah terjadi di halaman depan toko-toko mereka.

Di balik upaya ICE terdapat motif politis yang lebih besar. Dengan kampanye pemilu 2024 semakin dekat, Trump dan timnya ingin menunjukkan bahwa mereka tetap “keras terhadap imigrasi ilegal”. Dalam pidato publik, Trump menyebut bahwa jika ia kembali ke Gedung Putih, akan ada “pengusiran terbesar dalam sejarah AS.” Targetnya mencapai satu juta deportasi dalam dua tahun pertama masa jabatan. Strategi ini mencerminkan kembali retorika 2016, namun dengan pendekatan yang jauh lebih sistematis dan menyasar titik-titik strategis yang memiliki nilai simbolis—seperti Home Depot, yang dikenal luas sebagai tempat “mengambil tenaga kerja murah” oleh para kontraktor.

Namun, efek dari kebijakan ini tidak berhenti pada pekerja harian. Kontraktor kecil dan bisnis lokal juga terkena imbasnya. “Tenaga kerja harian adalah tulang punggung pekerjaan perbaikan rumah,” ujar Jorge Rivera, pemilik usaha renovasi di Houston. “Kalau semua pekerja takut keluar rumah, siapa yang akan pasang drywall, cat tembok, atau bongkar atap?” Penurunan ketersediaan tenaga kerja ini berujung pada meningkatnya biaya proyek, keterlambatan penyelesaian, dan dalam beberapa kasus, pembatalan pesanan pelanggan. Dampaknya juga dirasakan Home Depot sendiri, yang mengalami penurunan trafik pelanggan di beberapa lokasi.

Reaksi politik pun menguat. Walikota Los Angeles dan sejumlah legislator negara bagian California menyampaikan protes resmi terhadap tindakan ICE dan meminta klarifikasi dari Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS). Mereka menuduh bahwa kebijakan razia ini lebih bersifat represif daripada strategis dan menimbulkan instabilitas sosial. Beberapa bahkan mengancam akan menarik lisensi operasional ICE di wilayah mereka jika penggerebekan dilakukan tanpa transparansi dan keterlibatan otoritas lokal.

Sementara itu, kelompok-kelompok pembela hak imigran menggencarkan aksi solidaritas. Mereka mendirikan pusat informasi, hotline hukum, dan bahkan “zona aman” di sekitar Home Depot untuk memberikan peringatan dini jika ICE terdeteksi di sekitar area. Di kota-kota seperti Oakland dan Chicago, para aktivis membagikan selebaran kepada pekerja harian tentang hak mereka ketika berhadapan dengan petugas federal. Salah satu poster bertuliskan “Anda tidak harus menjawab! Diam adalah hak Anda!” menjadi simbol perlawanan komunitas.

Ketegangan ini mencerminkan dilema lama dalam ekonomi Amerika: ketergantungan struktural terhadap tenaga kerja migran informal, di satu sisi, dan penolakan sistemik terhadap keberadaan mereka, di sisi lain. Home Depot tidak secara formal merekrut para pekerja tersebut, tetapi selama bertahun-tahun menikmati manfaat dari kehadiran mereka—meningkatnya pembelian peralatan, bahan bangunan, dan kebutuhan renovasi skala kecil. Dengan razia ICE kini menyapu bersih titik-titik ini, terciptalah kekosongan tenaga kerja yang sulit diisi, bahkan oleh warga AS sendiri.

Dalam konteks yang lebih luas, kebijakan ini menunjukkan bagaimana imigrasi bukan hanya soal perbatasan, tetapi juga tentang pusat-pusat komersial dalam negeri. Dengan menjadikan Home Depot sebagai target simbolis, pemerintahan Trump ingin mengirim pesan bahwa tak ada ruang aman bagi imigran ilegal di mana pun mereka berada. Tapi di sisi lain, tindakan itu memperlihatkan betapa dalamnya keterhubungan antara sistem ekonomi dan migrasi. Tindakan represif terhadap satu titik bisa memicu gangguan berantai dalam rantai pasok tenaga kerja, konsumsi, dan kepercayaan sosial.

Sejumlah ekonom memperingatkan bahwa pendekatan ini bisa berdampak pada perekonomian nasional secara keseluruhan, terutama sektor konstruksi, renovasi, dan ritel bangunan yang sangat bergantung pada tenaga kerja fleksibel. Tanpa kebijakan yang menciptakan legalisasi kerja atau jalur transisi yang manusiawi, upaya pemaksaan seperti ini justru bisa menciptakan lebih banyak ketidakpastian. Dalam jangka panjang, ini bukan hanya tentang Home Depot atau ICE, tetapi tentang bagaimana negara mengelola migrasi dalam kerangka ekonomi modern.

Bagi para pekerja harian yang kini menyebar ke tempat-tempat baru, kadang ke jalur-jalur belakang kota atau perbatasan industri, kenangan tentang parkiran Home Depot adalah tentang keterhubungan, kesempatan, dan sekarang—ketakutan. “Kami hanya ingin kerja, bukan cari masalah,” ujar Pedro, seorang tukang asal El Salvador. “Tapi sekarang, mencari pekerjaan saja bisa berujung penjara.” Dalam suasana seperti ini, kebijakan imigrasi tak lagi terasa seperti sistem hukum, melainkan strategi intimidasi.

Home Depot, secara sadar maupun tidak, telah menjadi wajah dari konflik lama yang kini meletup dalam bentuk baru: antara bisnis dan negara, antara keterbukaan pasar dan kontrol imigrasi, antara pencari kerja dan politik kekuasaan. Dan dari parkiran toko hingga ruang sidang, cerita ini masih jauh dari kata selesai.