Google

Revolusi AI di Google

(Business Lounge – Technology) Google, perusahaan raksasa teknologi yang selama dua dekade menjadi gerbang utama informasi di internet, kini meluncurkan fitur baru yang mengubah peran fundamentalnya. Alih-alih hanya menampilkan daftar tautan biru, Google kini menghadirkan “AI Overviews” dan “AI Mode”—fitur berbasis kecerdasan buatan yang langsung memberikan jawaban dalam bentuk ringkasan teks, bahkan sebelum pengguna mengeklik situs manapun. Perubahan ini membawa manfaat besar bagi pengguna, tetapi menjadi ancaman eksistensial bagi industri media dan situs berita global.

Fitur-fitur tersebut dibangun di atas model bahasa besar Gemini milik Google. AI Overviews kini tampil secara default di banyak pencarian di AS, menyajikan ringkasan informasi dari berbagai sumber langsung di atas halaman hasil pencarian. Model ini memberikan kenyamanan, namun sekaligus memangkas kebutuhan pengguna untuk mengeklik situs sumber. Fenomena ini membuat Google bertransformasi dari “search engine” menjadi “answer engine”.

Berdasarkan laporan The Wall Street Journal, pergeseran ini membawa dampak langsung pada situs berita. Trafik organik dari Google ke sejumlah situs besar seperti HuffPost, Business Insider, dan The Washington Post mengalami penurunan drastis, bahkan lebih dari 50% dalam tiga tahun terakhir. Laporan dari Similarweb menunjukkan bahwa trafik ke Business Insider turun hingga 55% antara April 2022 hingga April 2025. Perusahaan tersebut pun terpaksa merumahkan 21% staf redaksionalnya. Sementara itu, The Atlantic menyebut bahwa mereka sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi situasi “tanpa trafik dari Google sama sekali”.

Dalam model ekonomi digital tradisional, situs berita bergantung pada klik. Setiap kunjungan ke laman berita adalah peluang untuk menampilkan iklan dan meraup pendapatan. Ketika pengguna Google tidak lagi mengklik tautan, tetapi cukup membaca jawaban AI di halaman hasil pencarian, maka terjadi penurunan lalu lintas dan secara langsung menekan pendapatan iklan.

Studi yang dikutip oleh Search Engine Land memperkirakan bahwa AI Overviews bisa memangkas klik ke situs antara 15% hingga 64%, tergantung pada kategori kontennya. Hal ini berdampak besar pada konten musiman seperti panduan liburan, resep, atau daftar produk, yang sebelumnya menjadi andalan trafik tinggi.

Sebagai contoh, Chegg, situs bantuan belajar dan bimbingan pelajar, kehilangan hampir 49% trafik pencarian dalam waktu satu tahun setelah kehadiran fitur ringkasan AI. Penurunan ini memaksa manajemen mempertimbangkan opsi menjual perusahaan atau mengalihkannya ke tangan swasta. Forbes bahkan melaporkan bahwa pencarian AI dari OpenAI dan Perplexity hanya memberikan trafik sekitar 4% dibanding trafik Google biasa—artinya 96% potensi klik hilang begitu saja.

Data dari 500 penerbit berita yang dikumpulkan oleh Chartbeat menunjukkan bahwa sejak peluncuran AI Mode, trafik organik dari mesin pencari menurun hingga 27% secara year-on-year. Bahkan konten berkualitas tinggi yang biasanya tetap stabil dalam lalu lintasnya, mulai ikut terdampak.

Salah satu perdebatan terpanas adalah bagaimana konten digunakan oleh Google untuk melatih dan menyusun jawaban AI-nya. Banyak organisasi berita merasa bahwa Google menggunakan artikel dan laporan mereka tanpa izin atau kompensasi yang layak. The Verge mengutip protes keras dari News Media Alliance yang menyebut Google melakukan “pencurian konten”, karena model AI-nya menyerap dan menyusun ulang konten jurnalistik tanpa kompensasi finansial kepada penerbit aslinya.

Menurut laporan investigasi The New York Times, Google tidak pernah meminta izin eksplisit kepada penerbit untuk menggunakan konten mereka dalam AI Mode. Bahkan jika penerbit menggunakan tag robot.txt untuk memblokir crawler Googlebot, Google masih dapat menggunakan konten tersebut untuk menyusun jawaban AI. Satu-satunya opsi untuk benar-benar keluar dari sistem adalah menghentikan pengindeksan seluruh situs dari mesin pencari, yang tentu akan merugikan publisher lebih lanjut.

Sementara itu, regulator pemerintah mulai ikut campur. Departemen Kehakiman AS (DOJ) sedang menyelidiki potensi pelanggaran antitrust oleh Google, termasuk dalam cara mereka mendistribusikan konten berita melalui sistem AI. Kasus ini bisa menjadi titik balik dalam regulasi kecerdasan buatan di sektor informasi dan hak cipta digital.

Sebagian pengamat menyebut era ini sebagai “akhir dari klik”—suatu masa di mana nilai konten tak lagi diukur dari jumlah pengunjung, melainkan dari dampak dan keterlibatan langsung. Google, OpenAI, dan perusahaan teknologi lainnya mungkin akan terus menyempurnakan produk mereka agar makin menjawab kebutuhan pengguna secara instan.

Tetapi ada satu hal yang tetap konstan: kebutuhan akan informasi yang dapat dipercaya, jurnalisme yang bertanggung jawab, dan cerita yang hanya bisa ditulis oleh manusia yang memahami konteks. Ini adalah wilayah yang belum bisa sepenuhnya digantikan oleh AI.

Penerbit yang bisa mengubah arah dari search-dependent ke audience-first memiliki peluang besar untuk bertahan, bahkan tumbuh, di era pasca-search ini.