Apple

Masalah Berat Bayangi Reboot Apple

(Business Lounge – Technology) WWDC 2025, yang akan digelar pada 10 Juni mendatang, semestinya menjadi panggung utama bagi Apple untuk memperkenalkan arah baru yang revolusioner dalam kecerdasan buatan (AI). Namun, alih-alih menghadapi sorotan penuh antusiasme, perusahaan yang bermarkas di Cupertino ini kini justru dihantui oleh beragam masalah strategis yang kian membebani nilai saham dan persepsi publik. Dalam laporan yang dirilis oleh The Wall Street Journal, performa saham Apple mengalami penurunan sekitar 20% sejak awal tahun, mencerminkan ketidakpuasan pasar atas ketidaksiapan Apple dalam menjawab disrupsi teknologi yang sedang terjadi.

Di tengah ekspektasi akan diumumkannya terobosan besar dalam bidang AI, laporan dari Financial Times mengungkapkan bahwa pengembangan ulang Siri—yang menjadi inti dari strategi AI Apple—mengalami hambatan internal yang serius. Tim pengembang dikabarkan kesulitan dalam menyelaraskan penggunaan large language model (LLM) dengan kebutuhan sistem operasi iOS yang sudah tertanam begitu dalam dalam ekosistem Apple. Seorang insinyur senior bahkan menyebut proyek Siri baru sebagai “usaha mengejar kereta yang sudah meninggalkan stasiun”.

Masalah ini makin diperparah oleh tekanan dari luar. Menurut laporan Business Insider, tekanan regulator di Eropa dan Amerika Serikat semakin membatasi ruang gerak Apple dalam mendulang pendapatan dari App Store. Putusan hukum terbaru di AS memaksa Apple mengizinkan sistem pembayaran alternatif dalam App Store, yang secara langsung mengancam margin keuntungan layanan digital yang menjadi tulang punggung pendapatan perusahaan selama beberapa tahun terakhir. Dalam dokumen pengadilan yang dikutip oleh Reuters, Apple disebut harus menghapus sistem pembatasan yang selama ini membuat pengguna terjebak dalam ekosistem App Store, sebuah pukulan yang bisa mengurangi miliaran dolar dari pendapatan layanan mereka.

Sementara di sisi lain, potensi tarif baru yang digagas oleh pemerintahan Amerika Serikat terhadap barang-barang elektronik dari China mengancam stabilitas rantai pasokan Apple. Seperti dilaporkan oleh The Guardian, tarif tambahan hingga 25% akan dikenakan pada perangkat seperti iPhone jika perusahaan tidak memindahkan produksinya ke AS. Apple sendiri telah mulai memindahkan sebagian proses perakitan ke India dan Vietnam, namun skala produksi di luar China masih jauh dari mencukupi. CEO Tim Cook, dalam wawancara eksklusif dengan CNBC, menyebut diversifikasi rantai pasokan adalah “proses panjang yang membutuhkan tahun, bukan bulan”.

Situasi ini mengundang kekhawatiran dari investor. Dalam analisis pasar yang diterbitkan oleh Bloomberg, disebutkan bahwa saham Apple kini kehilangan statusnya sebagai safe haven bagi investor institusional. Dengan tekanan pada unit layanan digital, ancaman tarif, dan ketertinggalan dalam AI, banyak dana pensiun besar mulai mengurangi eksposurnya terhadap Apple. Firma riset Bernstein bahkan menurunkan peringkat saham Apple dari “outperform” menjadi “market perform”.

Yang membuat keadaan semakin pelik adalah bahwa WWDC yang selama ini menjadi momen kebangkitan inovasi Apple, kali ini dipandang dengan skeptisisme oleh banyak pengamat teknologi. Menurut The Verge, Apple sedang dalam posisi defensif, mencoba meredam ekspektasi bahwa mereka akan menyamai gebrakan AI seperti yang dilakukan oleh Google dengan Gemini atau Microsoft dengan Copilot. Beberapa pengembang yang mendapat akses awal terhadap sistem AI baru Apple menyatakan kecewa karena integrasi Siri dengan AI generatif belum sebaik pesaing.

Dalam laporan terpisah, The Information mengungkapkan bahwa Apple bahkan sedang mempertimbangkan untuk mengintegrasikan teknologi dari OpenAI ke dalam sistem iOS—sebuah pengakuan implisit bahwa teknologi internal mereka belum cukup matang. Meski belum ada pengumuman resmi, rumor ini diperkuat oleh pertemuan intensif antara Tim Cook dan CEO OpenAI, Sam Altman, yang terjadi beberapa minggu lalu di Cupertino. Jika langkah ini diambil, maka akan menjadi perubahan besar dari strategi tradisional Apple yang selama ini lebih memilih membangun teknologi sendiri secara tertutup.

Dari sisi konsumen, loyalitas terhadap Apple tampak mulai tergerus. Dalam survei yang dilakukan oleh PYMNTS, hanya 46% pengguna iPhone yang menyatakan akan tetap bertahan menggunakan Apple jika AI dari pesaing terbukti lebih unggul. Angka ini turun drastis dibandingkan 2022 yang mencapai 71%. Hal ini menunjukkan bahwa daya lekat merek Apple kini tidak lagi sekuat sebelumnya, terutama di kalangan generasi muda yang lebih fleksibel berpindah platform.

Kritik juga datang dari kalangan internal industri teknologi. Mantan eksekutif Apple yang kini bekerja di Amazon menyatakan dalam wawancara dengan Wired bahwa “Apple terlalu lama berpuas diri dan kini sedang membayar harga dari sikap konservatif mereka.” Ia menyoroti bagaimana Apple gagal membaca arah disrupsi AI generatif, padahal mereka punya semua infrastruktur yang dibutuhkan untuk menjadi pemimpin pasar.

Secara fundamental, neraca keuangan Apple masih terlihat kokoh, dengan cadangan kas yang besar dan arus kas bebas yang positif. Namun, seperti disampaikan oleh Morgan Stanley dalam laporan riset terbarunya, kekuatan finansial tidak akan cukup jika tidak disertai dengan strategi produk yang agresif. Firma investasi itu memperkirakan bahwa jika Apple tidak segera menunjukkan roadmap AI yang jelas, valuasi pasar mereka akan mengalami stagnasi hingga akhir 2025.

Dalam upaya menenangkan pasar, Apple telah menjanjikan akan menghadirkan fitur “Apple Intelligence” dalam WWDC 2025, sebuah sistem AI yang akan menyatu dengan iOS, iPadOS, dan macOS. Namun menurut laporan Bloomberg, fitur ini baru akan tersedia dalam versi beta akhir tahun ini, dan tidak semua perangkat akan kompatibel. Hal ini menciptakan kekhawatiran bahwa fragmentasi pengguna akan meningkat, serta siklus upgrade perangkat menjadi lebih lambat—dua hal yang selama ini menjadi kunci keberhasilan Apple dalam menjaga pendapatan.

Beberapa analis tetap melihat celah peluang. Menurut laporan dari CNBC, WWDC tetap menjadi ajang penting untuk menghidupkan kembali narasi pertumbuhan Apple, asalkan mereka bisa menghadirkan demonstrasi yang meyakinkan tentang AI, tanpa terlalu banyak janji kosong. Ekspektasi akan adanya kolaborasi dengan pengembang pihak ketiga, serta pembukaan API AI baru, menjadi salah satu harapan untuk menjaga komunitas developer tetap terlibat.

Namun ekspektasi itu datang dengan risiko tinggi. Jika pengumuman WWDC dianggap mengecewakan atau kurang meyakinkan, maka harga saham Apple bisa jatuh lebih dalam. The Wall Street Journal mengutip data historis bahwa dalam lima kali terakhir Apple gagal memenuhi ekspektasi di WWDC, harga saham mereka turun rata-rata 3% dalam minggu setelah konferensi. Artinya, kegagalan bukan hanya berdampak pada persepsi publik, tetapi juga terhadap kekayaan para pemegang saham.

Di sisi lain, tekanan untuk mengembangkan AI tidak hanya berasal dari pasar teknologi. Dalam laporan dari The Economist, disebutkan bahwa Apple tengah bersaing dengan Tesla, Amazon, Meta, dan bahkan Samsung dalam memperebutkan insinyur AI terbaik dunia. Perusahaan-perusahaan ini menawarkan gaji dua kali lipat dari standar industri hanya untuk menarik talenta yang mampu membangun arsitektur AI berskala besar. Apple yang terkenal selektif dalam perekrutan kini harus berhadapan dengan kenyataan bahwa mereka tertinggal dalam perang talenta.

Dari berbagai sisi, jelas bahwa Apple berada di titik balik. Perusahaan ini telah melewati era kejayaan iPhone dan kini harus mencari sumber pertumbuhan baru yang berkelanjutan. AI adalah jawabannya—setidaknya dalam pandangan pasar. Namun jika peluncuran teknologi AI Apple gagal mencuri perhatian, maka risiko kejatuhan reputasi dan valuasi tidak bisa dihindari.

Seperti dikatakan oleh analis Mark Gurman dari Bloomberg, “Apple berada di momen di mana setiap langkah mereka diperhitungkan. Tidak ada ruang untuk kesalahan, tidak ada ruang untuk janji tanpa bukti.” WWDC 2025 akan menjadi ujian nyata apakah Apple masih layak disebut sebagai pionir teknologi atau sekadar raksasa yang kehilangan arah.