(Business Lounge – Global News) Foot Locker Inc., salah satu peritel alas kaki dan pakaian olahraga terbesar di Amerika Serikat, melaporkan kerugian besar pada kuartal pertama tahun fiskal 2025. Menurut laporan yang dikutip dari The Wall Street Journal, perusahaan mencatat rugi bersih sebesar $363 juta atau $3,81 per saham, berbanding terbalik dengan laba $8 juta yang dibukukan pada periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan kinerja ini terjadi di tengah rencana akuisisi oleh Dick’s Sporting Goods senilai $2,4 miliar, sebuah langkah yang akan membentuk ulang lanskap ritel olahraga di AS.
Masih dari laporan yang sama oleh The Wall Street Journal, total pendapatan Foot Locker menurun menjadi $1,79 miliar dari $1,87 miliar tahun lalu. Penurunan ini memperpanjang tren negatif yang telah dialami perusahaan selama beberapa kuartal berturut-turut. Penjualan sebanding—yang mencerminkan kinerja toko yang telah beroperasi lebih dari setahun—juga turun sebesar 2,6%. Kondisi ini menunjukkan bahwa tekanan konsumen masih bertahan, terutama di tengah inflasi dan perubahan pola belanja pasca-pandemi.
Salah satu aspek yang memperburuk kondisi Foot Locker adalah lemahnya permintaan dari pasar internasional. Seperti dijelaskan dalam artikel The Wall Street Journal, penjualan di Eropa, wilayah ekspansi utama bagi perusahaan, mengalami penurunan sebesar 8,5%. Hal ini menjadi perhatian serius bagi Foot Locker yang tengah berupaya memperluas jangkauan globalnya, terutama saat bersaing dengan merek lokal maupun online yang agresif dalam promosi dan harga.
Di tengah tekanan tersebut, CEO Mary Dillon yang menjabat sejak September 2022 meluncurkan strategi restrukturisasi bernama “Lace Up”. Menurut laporan dari Investing.com, strategi ini mencakup empat pilar utama: peningkatan pemasaran, pembaruan portofolio real estat, modernisasi program loyalitas pelanggan, serta percepatan digitalisasi termasuk kanal e-commerce. Upaya ini diarahkan untuk menarik kembali pelanggan muda yang kini lebih memilih berbelanja secara daring dan mengandalkan media sosial dalam membuat keputusan pembelian.
Dillon juga secara aktif memperbaiki hubungan perusahaan dengan Nike, yang selama bertahun-tahun menjadi mitra dominan Foot Locker. Menurut wawancara yang dikutip oleh Investing.com, hubungan dengan Nike sempat mengalami gesekan ketika Nike berupaya memotong perantara dan menjual langsung ke konsumen melalui platform digitalnya. Namun belakangan, kerja sama kedua perusahaan kembali intens, dengan peluncuran kampanye kolaboratif dan eksklusif yang diharapkan dapat mendorong lalu lintas pengunjung toko.
Sementara itu, di sisi calon pembeli, Dick’s Sporting Goods justru menunjukkan performa yang lebih solid. Berdasarkan data dari Barron’s, Dick’s mencatat laba per saham yang disesuaikan sebesar $3,37, mengalahkan ekspektasi analis. Penjualan bersih perusahaan mencapai $3,18 miliar, naik 5% dari tahun sebelumnya. Kinerja yang mengesankan ini sebagian besar didorong oleh peningkatan penjualan toko sebanding sebesar 4,5%, serta keberhasilan strategi omnichannel yang mengintegrasikan penjualan daring dan luring secara efisien.
Rencana akuisisi Foot Locker oleh Dick’s Sporting Goods dinilai strategis. Seperti dilaporkan oleh Financial Times, kesepakatan ini bertujuan memperluas jangkauan Dick’s ke pasar urban dan global, area yang selama ini menjadi keunggulan Foot Locker. Dick’s selama ini lebih kuat di pasar pinggiran kota dan komunitas suburban, sedangkan Foot Locker memiliki basis pelanggan muda di kota-kota besar. Kombinasi keduanya dianggap dapat menciptakan jaringan distribusi yang lebih luas dan sinergi dalam operasional.
Namun akuisisi ini juga menghadirkan sejumlah risiko. Seperti dicatat oleh Financial Times, integrasi dua entitas besar dengan budaya dan model bisnis yang berbeda bukanlah hal mudah. Dick’s harus mampu menstabilkan performa Foot Locker yang kini sedang melemah tanpa mengganggu strategi internal mereka sendiri. Pengamat juga menyoroti potensi konflik kepentingan dalam pengelolaan portofolio merek, karena kedua perusahaan memiliki pendekatan pemasaran dan kurasi produk yang berbeda.
Masih dari laporan Financial Times, analis pasar terbagi dalam menilai akuisisi ini. Sebagian optimistis bahwa sinergi akan menciptakan skala ekonomi baru dan memperkuat posisi tawar terhadap pemasok seperti Nike dan Adidas. Di sisi lain, ada pula kekhawatiran bahwa akuisisi ini justru akan membebani Dick’s dengan tantangan manajemen yang rumit serta beban finansial yang lebih besar jika pemulihan Foot Locker tidak berjalan sesuai rencana.
Dalam konteks industri yang lebih luas, kondisi Foot Locker dan manuver Dick’s mencerminkan pergeseran besar dalam sektor ritel olahraga. Menurut analisis dari Bloomberg, pasar alas kaki dan pakaian olahraga global kini tengah mengalami transformasi digital besar-besaran. Perusahaan yang tidak mampu mengintegrasikan pengalaman belanja online dan offline akan tertinggal. Bahkan merek-merek besar pun harus bersaing dengan pendatang baru yang agresif memanfaatkan teknologi dan data konsumen.
Tekanan dari sisi suplai juga memperparah keadaan. Seperti dilaporkan oleh CNBC, gangguan rantai pasok global yang belum sepenuhnya pulih sejak pandemi, ditambah ketidakpastian geopolitik di Asia, menyebabkan keterlambatan pengiriman produk dan pembengkakan biaya logistik. Hal ini menekan margin keuntungan perusahaan seperti Foot Locker yang masih sangat bergantung pada distribusi fisik dan stok yang stabil.
Dalam pengumuman terakhirnya, Foot Locker juga mengumumkan rencana penutupan sejumlah toko yang berkinerja buruk serta pengurangan jumlah pegawai di pusat distribusi. Langkah ini dianggap sebagai bagian dari efisiensi dan upaya menjaga arus kas perusahaan. Menurut CEO Mary Dillon dalam pernyataan yang dikutip oleh Bloomberg, keputusan-keputusan sulit tersebut merupakan bagian dari “pembangunan kembali fondasi yang lebih berkelanjutan.”
Meski penuh tantangan, akuisisi oleh Dick’s memberikan peluang baru bagi Foot Locker untuk menyegarkan identitas mereknya. Para pengamat menilai bahwa jika Dick’s mampu menyelaraskan strategi pemasaran dan distribusi, maka gabungan kedua entitas ini bisa menjadi kekuatan dominan di pasar olahraga, terutama dalam segmen remaja dan dewasa muda.
Dengan valuasi pasar global untuk peralatan dan pakaian olahraga yang diperkirakan mencapai $450 miliar pada 2030, menurut data Statista yang dikutip oleh CNBC, ada potensi pertumbuhan yang besar jika transisi ini dilakukan dengan tepat. Para investor dan analis kini menunggu bagaimana Dick’s akan menavigasi proses integrasi dan apakah mereka bisa mempertahankan momentum pertumbuhan di tengah iklim ritel yang kompetitif.
Seiring waktu berjalan, seluruh perhatian kini tertuju pada langkah-langkah lanjutan dari kedua perusahaan. Apakah sinergi akan tercapai atau justru menciptakan konflik operasional baru? Pertanyaan itu masih terbuka. Namun satu hal yang pasti, hasil kuartal Foot Locker menjadi pengingat keras bahwa dalam dunia ritel modern, kelincahan, efisiensi, dan kemampuan beradaptasi bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.
Dengan kerugian kuartalan yang besar dan tantangan struktural yang belum terselesaikan, perjalanan Foot Locker menuju masa depan akan bergantung pada seberapa efektif Dick’s mampu menyatukan dua warisan ritel berbeda dalam satu visi pertumbuhan yang solid dan berkelanjutan.