(Business Lounge – Human Resources) Pada masa keemasan perekrutan selama pandemi, banyak profesional menerima tawaran gaji yang fantastis untuk melompat ke pekerjaan baru. Perusahaan teknologi, startup, dan bahkan perusahaan besar rela membayar mahal demi menarik talenta terbaik dalam apa yang disebut sebagai talent war. Kini, ketika pasar tenaga kerja lebih rasional dan efisiensi menjadi prioritas, gaji-gaji tinggi tersebut berubah menjadi hambatan serius.
Seperti dilaporkan oleh Wall Street Journal, sejumlah profesional yang dulunya menerima lonjakan gaji hingga 30%–50% saat berpindah kerja pada 2021–2022, kini menghadapi realita baru: tak ada perusahaan yang mau membayar mereka sebesar itu lagi. Di tengah gelombang PHK, restrukturisasi, dan penghematan biaya, banyak dari mereka yang kehilangan pekerjaan merasa “terperangkap” oleh ekspektasi gaji tinggi mereka sendiri.
Seorang manajer produk senior di sebuah perusahaan rintisan teknologi bercerita bahwa ia menerima paket kompensasi $220.000 setahun yang mencakup gaji pokok dan ekuitas, setelah berpindah dari perusahaan besar ke startup pada awal 2022. Namun ketika startup itu menyusutkan timnya akhir 2023, ia butuh waktu lebih dari 7 bulan untuk mendapatkan tawaran baru—dan gaji yang ditawarkan tak pernah lebih dari $160.000. “Bukan hanya soal uang,” katanya, “tapi juga bagaimana saya menjelaskan mengapa saya bersedia menerima potongan gaji sebesar itu.”
Fenomena ini tak hanya terjadi di sektor teknologi. Di sektor jasa profesional seperti keuangan, hukum, hingga pemasaran digital, profesional dengan latar belakang gemilang dan kompensasi tinggi juga menghadapi kesulitan serupa. Menurut survei dari Robert Half, sekitar 58% pencari kerja dengan gaji di atas rata-rata mengaku kesulitan menyesuaikan ekspektasi dengan kenyataan pasar kerja saat ini.
“Banyak kandidat yang masih terjebak pada mindset 2021,” kata Keith Feinberg, direktur pelaksana di divisi rekrutmen kreatif di Robert Half. “Padahal perusahaan sudah jauh lebih berhati-hati, dan mereka punya banyak pilihan.”
Gaji tinggi bukan lagi nilai jual
Menurut LinkedIn Workforce Confidence Index, sejumlah profesional bahkan menghindari mencantumkan gaji terakhir mereka dalam lamaran, karena khawatir akan didiskualifikasi hanya karena dianggap “terlalu mahal”. Hal ini mencerminkan pergeseran kekuatan dari kandidat ke pemberi kerja, yang kini dapat lebih leluasa menegosiasikan ulang struktur gaji.
Pihak HR di banyak perusahaan pun lebih cermat menyaring kandidat. Seorang eksekutif rekrutmen di bidang logistik mengatakan bahwa resume dengan “lonjakan gaji tidak wajar” sering kali menimbulkan kekhawatiran akan keberlanjutan dan motivasi kerja. “Kami takut mereka akan pergi begitu ada tawaran lebih tinggi lagi.”
Dari sisi kandidat, ini menciptakan dilema identitas. Mereka bertanya-tanya apakah menurunkan gaji berarti menurunkan nilai diri. Banyak dari mereka merasa harus mempertahankan standar hidup yang dibentuk oleh gaji sebelumnya. Padahal, struktur pasar kini tak lagi mendukung.
Ketika tawaran lebih rendah dianggap rendahan
Beberapa profesional bahkan lebih memilih menunda pekerjaan daripada menerima tawaran yang jauh di bawah ekspektasi. Seorang analis data di Austin, Texas, menolak dua tawaran kerja yang datang setelah kehilangan pekerjaannya di perusahaan teknologi besar. “Saya tidak mau terlihat ‘putus asa’,” katanya. Namun setelah delapan bulan tanpa pendapatan tetap, ia mulai mempertimbangkan pekerjaan kontrak dan posisi sementara dengan bayaran lebih rendah.
“Banyak yang masih menunggu ‘tawaran ideal’ yang mungkin tidak akan pernah datang,” kata Julia Pollak, kepala ekonom di ZipRecruiter. “Ini adalah saat di mana fleksibilitas lebih penting dari gengsi.”
Bahkan, dalam laporan Indeed Hiring Lab, ditemukan bahwa 1 dari 3 profesional dengan gaji lebih tinggi yang kehilangan pekerjaan di 2023 belum kembali bekerja hingga kuartal pertama 2024. Mereka yang akhirnya bekerja kembali pun kebanyakan menerima penurunan gaji sebesar 20–30%.
Perubahan strategi karier
Beberapa profesional memilih untuk melakukan reskilling—mempelajari keterampilan baru yang lebih relevan dengan kebutuhan pasar. Kursus AI, analitik data, manajemen produk, dan keamanan siber meningkat pesat di platform seperti Coursera dan Udemy, terutama di kalangan usia 35–50 tahun yang ingin mempertahankan daya saing mereka.
Lainnya memilih jalur kewirausahaan. “Saya menyadari saya tak bisa lagi bergantung pada perusahaan besar,” kata seorang mantan direktur pemasaran yang kini membangun agensi pemasaran digital kecil. “Gaji besar memberi saya kemapanan, tapi juga membuat saya terlalu nyaman. Kini saya merasa lebih bebas.”
Bagi sebagian kecil lainnya, kondisi ini justru menjadi alasan untuk pensiun dini. “Saya hitung-hitung, tabungan saya cukup. Jika saya harus kerja lagi dan dibayar 30% lebih rendah, mungkin memang saatnya saya berhenti,” kata seorang mantan VP operasional yang baru saja menjual rumahnya dan pindah ke daerah pinggiran yang lebih murah.
Kondisi Indonesia
Fenomena profesional bergaji tinggi yang kesulitan mencari pekerjaan baru bukan hanya terjadi di Amerika Serikat. Di Indonesia, situasi serupa juga mulai terasa terutama di sektor digital dan startup yang pernah mengalami ekspansi besar-besaran pada masa pandemi.
Menurut laporan Tech in Asia dan DailySocial, lonjakan rekrutmen besar-besaran selama 2020 hingga awal 2022 menyebabkan inflasi gaji signifikan di industri teknologi Indonesia. Beberapa perusahaan rintisan dengan pendanaan besar seperti GoTo, Bukalapak, dan Ruangguru saat itu menawarkan paket gaji jauh di atas rata-rata pasar demi menarik dan mempertahankan talenta teknologi.
Namun, setelah masuk ke era “Tech Winter” dan banyak startup mengalami pengetatan arus kas, terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja sejak akhir 2022. Ketika para profesional yang terdampak mulai mencari pekerjaan baru, mereka pun menghadapi tantangan serupa dengan rekan-rekan mereka di AS: tidak ada perusahaan yang mau membayar sebesar sebelumnya.
Seorang mantan engineer senior di startup edutech bercerita bahwa ia sebelumnya menerima total kompensasi Rp45 juta per bulan, namun setelah perusahaannya melakukan PHK massal pada 2023, ia menganggur selama lima bulan. Tawaran pekerjaan yang datang sebagian besar berada di kisaran Rp25–30 juta, bahkan untuk posisi setara.
“Saya tak keberatan gaji turun, tapi sulit menjelaskan ke HRD kenapa saya mau dibayar lebih rendah dari sebelumnya,” ujarnya. “Beberapa malah menganggap saya overqualified dan akan cepat pergi.”
Praktisi SDM di Indonesia mengakui tren ini. Banyak perusahaan kini melakukan validasi lebih ketat terhadap kandidat dengan riwayat gaji tinggi. “Kalau ada kandidat dengan lonjakan gaji terlalu tajam dalam dua tahun terakhir, kami akan pertimbangkan ulang. Apakah itu karena kompetensi, atau sekadar kondisi pasar saat itu?” kata Dian Yulianti, manajer rekrutmen di sebuah perusahaan e-commerce nasional.
Dian juga menyebut bahwa budaya kerja yang berubah sejak pandemi membuat perusahaan lebih berhati-hati dalam mengeluarkan anggaran untuk karyawan. “Fokus sekarang bukan hanya kompetensi teknis, tapi juga kesediaan untuk bertumbuh bersama, bahkan jika itu berarti mulai dari paket kompensasi yang lebih realistis.”
Di sisi lain, startup dan perusahaan digital yang masih bertahan mulai mengubah struktur gaji mereka. Alih-alih memberi gaji pokok tinggi, banyak dari mereka kini lebih memilih memberi insentif berbasis kinerja atau opsi saham (employee stock option plan/ESOP) untuk mengimbangi keterbatasan dana tunai.
Profesional muda jadi korban ketidakseimbangan
Generasi muda yang baru memulai karier pada saat “peak salary” pandemi juga menghadapi kenyataan pahit. Mereka yang terbiasa menerima gaji tinggi di awal kariernya kini harus bersaing dengan profesional berpengalaman yang bersedia menerima gaji yang sama, bahkan lebih rendah.
Seorang UX designer berusia 27 tahun mengaku pernah menerima Rp20 juta per bulan di salah satu startup unicorn. Namun setelah startup itu gulung tikar, ia hanya mendapat tawaran Rp12 juta untuk posisi serupa. “Susah move on dari gaji lama,” katanya. “Tapi kalau ditolak semua, ya saya harus kompromi.”
Kondisi ini juga menimbulkan tekanan psikologis. “Ketika ekspektasi gaji tidak sejalan dengan kenyataan, itu bisa memicu stres, bahkan depresi,” kata Psikolog Karier Alika Rahmanti dari Universitas Indonesia. “Apalagi jika individu merasa penurunan gaji mencerminkan penurunan nilai diri, padahal itu hanya cerminan kondisi pasar.”
Bagi para profesional yang terdampak, strategi terbaik adalah realisme dan adaptabilitas. Menurut survei dari Glints Indonesia, kandidat yang bersedia menjelaskan konteks gaji tinggi mereka secara terbuka dalam wawancara—dan menyampaikan fleksibilitas untuk menyesuaikan diri—lebih disukai oleh rekruter.
Di sisi perusahaan, perlu ada pendekatan yang lebih manusiawi dalam menilai kandidat dengan sejarah gaji tinggi. “Gaji masa lalu adalah hasil dari kondisi pasar saat itu. Jika seseorang memiliki kompetensi dan motivasi, penyesuaian gaji tidak harus jadi penghalang,” kata Arief Wicaksono, Chief HR Officer sebuah perusahaan FMCG nasional.
Pelajaran bagi generasi muda
Kondisi ini juga menjadi pelajaran penting bagi para profesional muda yang baru mulai meniti karier. “Kita harus hati-hati dengan godaan lonjakan gaji,” kata seorang konsultan karier di New York. “Kenaikan drastis dalam waktu singkat memang menarik, tapi bisa menjadi jebakan di masa depan.”
Menurut survei Harvard Business Review, perusahaan kini lebih menghargai stabilitas dan keberlanjutan dalam riwayat kerja daripada kecepatan kenaikan jabatan atau gaji. “Kandidat dengan pertumbuhan karier yang konsisten tapi masuk akal justru lebih dicari,” tulis laporan itu.