Equinor

Equinor Lepas Kepemilikan di Ladang Minyak Peregrino kepada PRIO SA Senilai $3,5 Miliar

(Business Lounge – Global News) Perusahaan energi asal Norwegia, Equinor ASA (NYSE: EQNR), melalui anak usahanya di Brasil, Equinor Brasil Energia, telah sepakat untuk menjual 60% kepemilikannya di ladang minyak Peregrino kepada Prio Tigris, anak perusahaan dari PRIO SA (B3: PRIO3), perusahaan minyak dan gas independen terbesar di Brasil. Nilai transaksi ini mencapai $3,5 miliar, menjadikan PRIO sebagai pemilik penuh ladang minyak lepas pantai terbesar di Brasil.

Dalam lanskap ekonomi global yang terus bergeser, dua pengumuman besar menandai perubahan strategis yang mencerminkan dinamika geopolitik dan kebutuhan perusahaan untuk merespons tekanan kompetisi dan kebijakan pemerintah. Di satu sisi, Equinor, perusahaan energi Norwegia, menjual seluruh kepemilikannya di ladang minyak Peregrino di Brasil senilai $3,5 miliar. Di sisi lain, serangkaian tarif impor yang diberlakukan oleh pemerintahan mantan Presiden Donald Trump mulai menunjukkan efek nyata, menghidupkan kembali sebagian sektor manufaktur Amerika Serikat yang selama bertahun-tahun kehilangan daya saingnya akibat impor murah dari Tiongkok.

Equinor melalui anak usahanya di Brasil, Equinor Brasil Energia, telah menandatangani perjanjian untuk melepas 60 persen sahamnya di ladang minyak Peregrino kepada Prio Tigris, anak usaha dari PRIO SA, perusahaan minyak dan gas independen terbesar di Brasil. Setelah sebelumnya membeli 40 persen dari Sinochem pada Desember 2024, PRIO kini sepenuhnya menguasai ladang Peregrino dengan nilai keseluruhan transaksi mencapai $5,4 miliar. Ini menjadikan PRIO sebagai pemilik tunggal ladang minyak lepas pantai terbesar Brasil, yang terletak di Cekungan Campos, sekitar 85 kilometer dari pantai Rio de Janeiro.

Ladang Peregrino telah berproduksi sejak 2011 dan menyumbang sekitar 88.000 barel minyak per hari, dengan infrastruktur utama berupa kapal produksi FPSO dan tiga platform tetap. Sertifikasi cadangan terbaru menyebutkan bahwa volume yang bisa dipulihkan secara ekonomis mencapai 338 juta barel, dengan 135 juta barel menjadi hak PRIO. Akuisisi ini bukan hanya memperluas portofolio PRIO, tetapi juga menambah produksi harian sekitar 35.000 barel, sembari membuka peluang efisiensi pengiriman minyak ke pasar global.

Equinor, dalam pernyataan resminya yang dikutip dari Reuters dan Rystad Energy, menekankan bahwa keputusan untuk melepas aset tersebut sejalan dengan strategi perusahaan dalam merampingkan portofolio global dan memfokuskan investasi pada wilayah inti, termasuk proyek transisi energi yang lebih bersih. Selama mengelola Peregrino, Equinor telah menerapkan berbagai teknologi untuk menurunkan intensitas emisi karbon hingga lebih dari 50 persen per barel, menjadikan ladang ini salah satu aset dengan efisiensi karbon tertinggi di kawasan.

Sementara itu, di Amerika Serikat, efek tarif impor yang pertama kali diberlakukan pada era Presiden Donald Trump mulai terasa di lapangan. Berdasarkan laporan The Wall Street Journal, sejumlah produsen dalam negeri melihat lonjakan permintaan berkat pengenaan tarif tambahan atas produk Tiongkok, termasuk baja, suku cadang otomotif, dan produk teknologi rendah. Kebijakan ini, meskipun banyak menuai kritik, memberikan keuntungan kompetitif bagi pabrik-pabrik yang sebelumnya terseok menghadapi arus barang murah dari luar negeri.

Contoh nyata datang dari produsen suku cadang di Midwest yang mengalami peningkatan pesanan karena importir AS mulai beralih ke pemasok lokal. Salah satu perusahaan otomotif di Ohio melaporkan bahwa volume produksi mereka meningkat lebih dari 20 persen sejak tarif diberlakukan, memungkinkan mereka membuka kembali jalur produksi yang sempat ditutup selama pandemi.

Dampak ini juga terlihat pada industri logam, di mana produsen aluminium dan baja lokal mulai mendapatkan margin keuntungan yang lebih sehat. Walaupun harga bahan mentah naik, pelanggan bersedia membayar lebih untuk menghindari tarif impor yang tinggi. Fenomena ini, menurut analis dari Moody’s dan Bloomberg Economics, dapat menciptakan “efek lindung jangka pendek” terhadap hilangnya basis industri AS.

Namun, di balik kebangkitan sebagian sektor manufaktur, para ekonom tetap memperingatkan potensi efek negatif dari kebijakan proteksionis jangka panjang. Tarif bisa menekan daya beli konsumen dan memperburuk hubungan dagang global. Selain itu, tidak semua sektor mendapat manfaat serupa—industri yang sangat bergantung pada input global seperti semikonduktor atau elektronik konsumer justru menghadapi tekanan biaya yang lebih tinggi.

Yang menarik, kebijakan tarif ini tetap menjadi bagian dari perdebatan politik di AS menjelang pemilihan presiden. Trump secara terbuka telah menyatakan bahwa ia akan memperluas kebijakan tarif bila terpilih kembali, dengan tujuan menghidupkan kembali industri dalam negeri dan mengurangi ketergantungan terhadap impor Tiongkok. Pendekatan ini disebut “tarif universal” oleh beberapa penasihat ekonominya, sebuah rencana yang bisa mengubah lanskap perdagangan global bila benar-benar diterapkan.

Transaksi Equinor dan kebangkitan manufaktur AS ini merefleksikan dua sisi yang saling melengkapi dari realitas ekonomi global saat ini. Di satu sisi, perusahaan multinasional seperti Equinor memilih efisiensi portofolio sebagai respons terhadap harga energi yang fluktuatif dan tekanan transisi ke energi bersih. Di sisi lain, negara-negara seperti AS berupaya merebut kembali keunggulan manufaktur melalui kebijakan tarif dan insentif domestik, meskipun dengan risiko memperuncing tensi perdagangan internasional.

Dalam peta energi dan perdagangan global yang terus berubah, langkah-langkah seperti ini menandai babak baru yang akan menentukan arah kebijakan dan strategi perusahaan ke depan. Apakah dunia akan semakin terfragmentasi oleh proteksionisme, atau justru mendorong transformasi industri yang lebih lokal dan berkelanjutan, akan sangat tergantung pada arah kebijakan ekonomi dalam beberapa tahun mendatang.