(Business Lounge – Technology) Meta Platforms, induk perusahaan Facebook, menghadapi salah satu pertarungan hukum terberat dalam sejarahnya, ketika Komisi Perdagangan Federal Amerika Serikat (FTC) memulai proses pengadilan antitrust yang dapat mengguncang fondasi kekuatan teknologi global. Dalam gugatan tersebut, FTC menuduh Meta telah memonopoli pasar media sosial melalui akuisisi Instagram dan WhatsApp, dua aplikasi yang kini mendominasi interaksi digital lintas dunia.
Sejak pertama kali diajukan pada tahun 2020, gugatan ini telah menjadi simbol pergeseran besar dalam pendekatan regulator AS terhadap raksasa teknologi. Kini, dengan dimulainya proses pengadilan pada April 2025, tekanan terhadap Meta mencapai puncaknya. FTC tidak hanya menuntut sanksi, tetapi menyerukan pembubaran perusahaan—dengan membagi kembali Instagram dan WhatsApp sebagai entitas terpisah dari Facebook.
Dalam pernyataannya kepada pengadilan federal, FTC menegaskan bahwa Meta “secara sistematis mencegah dan menyingkirkan ancaman terhadap dominasi pasar dengan cara membeli pesaing potensial sebelum mereka tumbuh menjadi rival sejati.” Komisaris FTC, Lina Khan, yang dikenal sebagai tokoh penting dalam gerakan antitrust baru, menyebut akuisisi Meta terhadap Instagram pada 2012 dan WhatsApp pada 2014 sebagai “langkah strategis yang disengaja untuk mengunci kekuasaan monopoli.”
Meta membantah keras tuduhan tersebut. Dalam pembelaannya yang disampaikan melalui juru bicara Andy Stone dan kuasa hukum utama perusahaan, Meta menyatakan bahwa akuisisi itu “disetujui oleh regulator pada saat itu dan justru telah memberikan nilai tambah besar bagi konsumen.” Mereka berargumen bahwa Instagram dan WhatsApp berkembang pesat justru karena keahlian dan sumber daya yang disediakan oleh Facebook.
Namun argumen tersebut kini diuji dalam iklim politik dan hukum yang jauh berbeda dari satu dekade lalu. Ketika akuisisi tersebut disetujui, tidak banyak yang membayangkan bahwa Instagram akan menjadi pusat dari budaya visual global, atau bahwa WhatsApp akan menjadi sarana komunikasi utama bagi lebih dari dua miliar orang. Kini, banyak anggota parlemen dan analis melihat keputusan saat itu sebagai kelengahan regulasi yang berujung pada konsentrasi kekuasaan digital yang sangat besar.
Sebagaimana dicatat oleh Bloomberg, Facebook menguasai lebih dari 75% pangsa pasar media sosial di AS jika dikombinasikan dengan Instagram. Sedangkan WhatsApp menguasai sebagian besar lalu lintas pesan instan internasional, termasuk di negara-negara berkembang di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Ini membuat Meta tidak hanya dominan secara ekonomi, tetapi juga secara sosial dan politik.
Di tengah proses hukum ini, tim pengacara Meta berupaya menggambarkan persaingan sebagai tetap sehat dan dinamis. Mereka menyoroti pertumbuhan TikTok, YouTube Shorts, dan platform baru seperti BeReal dan Discord sebagai bukti bahwa pengguna masih memiliki banyak pilihan. “Fakta bahwa platform lain berkembang pesat adalah bukti bahwa tidak ada monopoli,” kata pengacara Meta dalam persidangan, dikutip oleh The Wall Street Journal.
Namun FTC membalas dengan argumen bahwa Meta justru menggunakan data dan dominasi jaringan untuk melemahkan kompetitor yang muncul. Dalam pengadilan, FTC membeberkan email internal dari pendiri dan CEO Meta, Mark Zuckerberg, yang menyatakan bahwa “lebih baik membeli pesaing daripada menghadapi persaingan.” Email tersebut dikirim pada tahun 2012, tak lama sebelum akuisisi Instagram.
Kontroversi ini juga mencerminkan ketegangan geopolitik dan ekonomi yang lebih luas. Sebagaimana dilaporkan Reuters, pemerintah-pemerintah di Eropa dan India juga tengah menyelidiki potensi pelanggaran antitrust oleh Meta, khususnya dalam praktik iklan digital dan interoperabilitas data. Bahkan regulator di Australia dan Brasil disebut tengah mengamati dampak dominasi WhatsApp terhadap sektor komunikasi lokal.
Jika gugatan ini berhasil, Meta bisa dipaksa untuk memisahkan operasional Instagram dan WhatsApp. Ini akan menjadi preseden hukum terbesar dalam sejarah teknologi sejak pembubaran AT&T pada 1984. Namun berbeda dengan AT&T yang merupakan monopoli layanan publik, Meta menguasai platform yang membentuk perilaku sosial miliaran manusia setiap hari. Dampaknya terhadap struktur kekuasaan digital global akan sangat besar.
Reaksi investor terhadap kabar persidangan ini relatif tenang. Saham Meta masih bertahan di zona hijau sepanjang pekan pertama April 2025, meski volatilitas sempat meningkat pada hari pembukaan persidangan. Para analis dari Goldman Sachs dan Morgan Stanley mencatat bahwa pasar “telah memperhitungkan risiko hukum Meta,” tetapi menyarankan agar investor tetap waspada terhadap arah keputusan pengadilan.
Di balik perdebatan hukum dan ekonomi, ada pertanyaan yang lebih besar: apakah masyarakat harus membiarkan satu entitas memiliki kekuatan luar biasa atas informasi, komunikasi, dan interaksi sosial? “Masalahnya bukan hanya soal harga atau iklan,” kata Siva Vaidhyanathan, profesor studi media di University of Virginia. “Ini soal siapa yang mengendalikan struktur komunikasi masyarakat global.”
Meta, di sisi lain, menekankan bahwa keberhasilan Instagram dan WhatsApp mencerminkan inovasi, bukan dominasi. Dalam sebuah pernyataan publik, Meta menegaskan komitmennya untuk “mendukung pilihan pengguna, mendorong keamanan digital, dan menyediakan platform yang bermanfaat bagi miliaran orang.”
Namun dalam iklim antitrust global yang semakin ketat, pesan tersebut semakin sulit meyakinkan regulator. Di Eropa, Apple dan Google sudah menghadapi tuntutan serupa terkait praktik App Store dan iklan. Uni Eropa bahkan telah memaksa perusahaan-perusahaan besar untuk membuka sistem mereka terhadap kompetitor melalui regulasi Digital Markets Act. Kini, AS tampaknya bersiap menyusul.
Putusan terhadap Meta tidak akan datang dalam waktu dekat. Proses hukum diperkirakan berlangsung berbulan-bulan, dan akan melalui serangkaian sidang, argumen ahli, dan negosiasi. Namun apapun hasil akhirnya, gugatan ini telah membuka bab baru dalam sejarah pengawasan teknologi di Amerika—sebuah pergeseran dari era “laissez-faire digital” menuju penegakan hukum yang lebih tegas terhadap kekuasaan platform besar.