(Business Lounge Journal – Manage Your Business) Masih banyak masyarakat yang menganggap menjadi pengusaha adalah faktor bakat, keturunan atau hoki. Ini anggapan yang kurang pas. Sebab kalau entrepreneurship dapat dipelajari, begitu pula dengan menjadi seorang entrepreneur atau pengusaha. Maka, tak heran kalau belakangan ini banyak perguruan tinggi yang menawarkan program studi entrepreneurship. Atau, bahkan menyebut diri dengan entrepreneurship university.
Perekonomian kita memang membutuhkan banyak pengusaha. Di tengah gejolak perekonomian dunia yang menciptakan banyak disruption dalam berbagai bidang bisnis, kita membutuhkan orang-orang yang mampu membalik ancaman menjadi peluang. Itulah kekuatan yang dimiliki oleh seorang pengusaha.
Kondisi yang tidak menentu semacam ini, bagi seorang pengusaha, adalah peluang. Sementara, banyak lulusan perguruan tinggi yang berpikir sebaliknya dan cenderung mencari safety atau job security.
Kesadaran dan Empati
PBB menyebutkan, suatu negara bisa disebut maju bila sekurang-kurangnya 2% dari penduduknya menjadi pengusaha. Di Indonesia, jumlah pengusaha belum mencapai 2% dari jumlah penduduk. Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM, baru 1,65% dari penduduk Indonesia baru yang menjadi pengusaha.
Sebagai perbandingan, jumlah pengusaha di negara-negara maju seperti Singapura mencapai 7% dari jumlah penduduk, dan di Amerika Serikat sudah 12%. Di negara-negara yang relatif dekat dengan kita, seperti Malaysia, ada 5% penduduknya yang menjadi pengusaha, lalu di Thailand mencapai 4%.
Menjadi seorang pengusaha tidak mudah. Meski dapat dipelajari, menjadi seorang pengusaha yang tangguh tetap harus melalui proses yang panjang. Salah satu tantangan awal seorang pengusaha adalah memilih ide bisnis. Ide tersebut bukan hanya memenuhi kebutuhan calon konsumen, tapi harus mampu memberikan solusi atas permasalahan mereka.
Tahap Kesadaran. Solusi tersebut bukan hanya dari aspek bisnis, tetapi juga bagi kehidupan mereka. Di sinilah tahap kesadaran memainkan peranan penting. Misalnya, banyak warga yang ada di DKI Jakarta kesulitan mencari angkutan publik yang aman, layak dan terjangkau, serta mampu membantu mereka mengatasi masalah kemacetan.
Belakangan ini warga DKI Jakarta juga kebingungan mencari angkutan publik pengganti Metromini. Ini karena banyak pengemudi Metromini yang tidak beroperasi karena melakukan aksi mogok. Dalam konteks ini, seorang pengusaha mesti menyadari permasalahan tersebut, sebelum akhirnya membaca kondisi semacam ini sebagai peluang.
Tahap Empati. Ketika telah memiliki self-awareness, seorang pengusaha akan memasuki tahap di mana dia mulai peduli dan tertarik untuk memperbaiki diri kondisi tersebut. Ia mulai bersikap kritis dan peduli terhadap lingkungan sekitarnya.
Opportunity Recognition = Ideation
Banyak masyarakat kita yang ketika menemui masalah, mereka cenderung menyalahkan pihak lain. Seorang pengusaha tidak akan bersikap seperti itu. Setelah melewati tahap kesadaran dan empati, ia mulai berimajinasi dan berpikir kritis, mencari celah apa yang bisa dilakukannya untuk mengatasi permasalahan tersebut. Jadi, ide bisnis tidak “jatuh dari langit”, tetapi berproses dari kepedulian terhadap permasalahan di masyarakat.
Berangkat dari permasalahan di Jakarta, lahirlah bisnis ojek online, seperti GoJek, GrabBike, BluJek sampai ojek syariah. Bisnis-bisnis tersebut bukan hanya menjawab kebutuhan masyarakat akan layanan transportasi publik, tetapi juga memecahkan permasalahan akut di Jakarta, yakni kemacetan yang menggila. Bahkan lebih dari itu, bisnis ojek online ini juga menciptakan disruption atau gangguan atas bisnis-bisnis transportasi sebelumnya. Di antaranya, ojek konvensional dan bahkan bisnis taksi. Lantaran mudahnya memesan ojek online, banyak calon penumpang taksi kemudian beralih dari taksi ke ojek.
Tahap ideation adalah tahap krusial bagi pengembangan value proposition suatu bisnis. Bila suatu bisnis tidak dimulai dengan ide kreatif, maka bisnis yang dibangun bisa datar dan segera lekang oleh waktu. Ini karena value yang diberikan tidak menyelesaikan permasalahan di masyarakat. Inilah yang membedakan seorang entrepreneur dan marketer.
Seorang marketer selalu mengikuti kehendak pasar, sementara entrepreneur akan memakai pendekatan yang berbeda. Ia memberikan solusi atas permasalahan masyarakat melalui ideation-nya. Jadi, customer-lah yang membutuhkan ide bisnisnya, bukan sebaliknya. Persis seperti kata Steve Jobs, “Bukan tugas pelanggan untuk memberitahukan kebutuhan mereka. Itu tugas perusahaan.”
Jadi tahap ideation sangat penting dalam proses pembentukan spirit entrepreneurship. Bila seorang entrepreneur hanya peduli pada uang dan kepentingannya sendiri, self awareness yang dialaminya tidak akan membawanya pada hal-hal yang positif. Ia hanya bertindak semaunya, ikut arus, tetapi tidak memberikan solusi yang tepat atas permasalahan masyarakat. Ini membuat ide-ide bisnisnya tidak akan bermanfaat bagi kelangsungan hidup masyarakat.
Liza Nelloh /VMN/BL/Podomoro University
Editor: Ruth Berliana
Image : Business Lounge Journal