(Business Lounge – News & Insight)-Sepuluh tahun telah berlalu. Mengingat apa yang terjadi pada hari itu sungguh sangat memilukan. Tak akan terlupakan bagi mereka para korban selamat dan juga bagi kita yang menyaksikannya. Gelombang tsunami yang datang pada 26 Desember 2004 adalah tsunami terdahsyat yang menimpa Samudra Hindia selama ratusan tahun. Bencana ini terjadi akibat dipicu oleh gempa bumi terbesar keempat sepanjang sejarah Bumi sejak tahun 1900. Tak terkatakan kekuatan bencana dunia ini. Diperkirakan jumlah energi yang dilepasnya diperkirakan setara dengan ledakan 475.000 kiloton TNT atau 23.000 kali lebih besar dari bom nuklir seukuran Hiroshima.
Setidaknya dari seluruh tempat atau wilayah yang terkena Tsunami maka sekitar korban meninggal dari tragedi ini mencapai 228.000 orang. Kengerian ini menjadikannya tsunami paling mematikan dalam sejarah manusia.
Jika kita melihat Aceh, maka saat itu ada ratusan ribu rumah hancur, sekitar 800 kilometer pantai rusak berat, dan kurang lebih 3.000 hektar lahan tersapu ombak.
Dahulu kondisi penanggulangan bencana sangat kacau balau. Satu dekade berlalu dan bisa dikatakan saat ini pemahaman kita tentang upaya mengurangi risiko tsunami telah lebih maju. Namun demikian, masih ada beberapa hal petning yang perlu kita pelajari untuk mengurangi jumlah kematian akibat bencana di masa depan.
Tentu saja diperlukan penguasaan ilmu terkait prediksi geofisika menyeluruh perihal tsunami berikutnya. Riset semacam ini sangatlah penting, mengingat gangguan yang terjadi akibat tsunami begitu besar dan berpengaruh sampai-sampai mengganggu kepadatan Bumi, samudra, dan atmosfer. Bahkan dampaknya tidak hanya berujung pada kekuatan mekanis dan pelepasan panas, seperti badai, tetapi juga mempengaruhi proses-proses kelistrikan, magnetik, dan molekuler, terutama di atmosfer.
Saat ini sekalipun sistem peringatan yang lebih canggih telah dipasang, beberapa wilayah dekat pusat gempa mungkin saja tidak menerima informasi dengan cepat dan akurat. Faktor inilah yang menyebabkan mengapa 80% kematian akibat tsunami terjadi sebelum warga mendapat peringatan resmi.
Ditengah situasi yang sulit selalu ada solusi. Peringatan dapat disampaikan dengan sangat efektif ke wilayah yang jauh dari pusat gempa melalui kelompok warga, telepon seluler, dan televisi. Contohnya perkampungan nelayan Kenya yang terkena tsunami 2004 enam jam setelah awal gempa di Sumatera. Informasi yang mereka dapat melalui banyak media terbukti efektif mengurangi jatuhnya korban.
Seperti dikutip oleh The Wall Street Journal maka beberapa institusi riset, seperti Delft University of Technology di Belanda, mencoba menjelaskan mengapa pada 2004 lalu laut mundur sebelum menyapu pantai dan menenggelamkan ribuan orang. Fenomena ini telah direka ulang di laboratorium khusus di Arizona State University. Di sana, simulasi gelombang tsunami menghasilkan perkiraan yang dapat diandalkan terkait kondisi di masa depan dan nantinya dapat membantu warga pesisir membangun struktur yang lebih kuat.
Kita harus akui bahwa walaupun senantiasa berlomba dengan waktu, kemampuan pemerintah dan periset dalam memprediksi tsunami memang membaik. Segala fakta yang ada ini harus menjadi perhatian khusus. Bagaimanapun pemerintah perlu prioritaskan riset dan pengembangan atas konstruksi serta rancangan infrastruktur tahan bencana.
Febe/Journalist/VMN/BL
Editor: Tania Tobing