Risiko Rupiah: Kemana Bergeraknya dan Bagaimana Manajemennya?

(Business Lounge – Manage Risk)

Mata uang rupiah belakangan ini terus bergejolak. Kalau kita amati sejak sekitar Agustus 2013, saat rupiah terus melewati level psikologis 10.000 terhadap US$, sampai dewasa ini rupiah terpantau lebih fluktuatif pergerakannya. Kecenderungannya masih melemah dengan kerap bertengger di atas 12.000. Para pengamat pasar uang pernah memerkirakan bahwa setelah pemilu usai, hingar bingar dan tarik ulur Pilpres selesai, maka rupiah akan lebih stabil dan berpeluang besar untuk menguat. Kenyataannya tidak demikian. Rupiah masih cenderung loyo dan sulit untuk menguat di posisi sekitar 12.000-an.

Sepertinya gejolak dan dinamika politik yang tidak kunjung selesai di dalam negeri, baik itu saat kampanye, pilpres, sampai kepada parlemen yang ribut antar kubu, telah ikut menghajar mata uang rupiah kita. Agaknya, kalau situasi politik dalam negeri terus bersitegang, maka sulit bagi rupiah untuk kembali kepada keperkasaannya di semester pertama 2013 ke belakang, saat rupiah bercokol di level 9.000-an terhadap US$.

 Mau Kemana?

Federal Reserve Amerika baru saja mengeluarkan pengumumannya bahwa program QE (Quantitative Easing) sebagai bentuk stimulus ekonomi Amerika berakhir. Setelah sekitar enam tahun, akibat krisis dari subprime mortgage, ekonomi moneter Amerika bersifat darurat, the Fed sekarang agaknya mau mengarahkan kebijakannya kepada kebijakan moneter yang lebih normal. Dengan demikian,  suku bunga super rendah, atau yang disebut dengan ultra low zone, the Fed di level 0,25% akan beranjak naik.

Antisipasi kenaikan suku bunga the Fed telah mendongkrak kekuatan mata uang US$. Index US$, yang membandingkan US$ dengan enam pair mata uang global lainnya, telah terus melaju dari level 80 di awal tahun 2014 menjadi menyentuh 87 di November 2014. Rally panjang dollar ini juga yang agaknya telah ikut menekan secara konsisten mata uang rupiah di sepanjang tahun ini. Pelemahan rupiah tidak semata akibat tekanan aspek politik –pada tahun pemilu ini- dan pelambatan ekonomi dalam negeri tetapi juga oleh penguatan mata uang dollar secara global.

Ke depannya, dengan kemungkinan the Fed untuk secara bertahap menaikkan suku bunganya, US$ berpeluang untuk melanjutkan penguatannya. Suku bunga yang menanjak diperkirakan dapat menarik pulang dana-dana portfolio dari Amerika yang selama ini telah diinvestasikan di sejumlah negara emerging termasuk Indonesia. Maka, mata uang rupiah terancam akan berlanjut tertekan kembali.

Dari analisis chart, penulis melihat untuk index US$ dalam periode setahun ke depan kemungkinan akan sempat mendekati level 90, di sekitar 89,80 yang pernah dicapai pada Maret 2009. Sementara itu, untuk rupiah nampaknya kalau terus melemah kemungkinan dapat mengarah kepada posisi kurs 12,800 per dollarnya, level yang pernah dicapai sekitar November 2008.

Antisipasi Peluang dan Risiko

Pelemahan mata uang rupiah, di satu sisi, adalah berita baik bagi para eksportir. Ini kesempatan untuk dapat menggenjot ekspor kita dan menekan impor khususnya pada barang-barang konsumtif mewah yang kurang memengaruhi proses produksi. Sebaiknya juga, dari pemerintah dan para pelaku bisnis ekspor aktif mengupayakan diversifikasi pasar selagi bisa lakukan langkah penetrasi aktif sekarang ini. Peluang ini yang harus ditangkap sehingga akan dapat meningkatkan kinerja net-export kita, menambah cadangan devisa, serta memperluas pangsa pasar global.

Aspek risiko yang perlu diwaspadai adalah terkait dengan impor barang modal untuk industri kita. Kuatirnya ini akan semakin menekan rasio industrialisasi di negeri kita yang selama satu dekade terakhir cenderung menurun. Pada pihak perbankan, hal ini juga sepatutnya diwaspadai, bukan hanya karena pelemahan rupiah yang berlanjut, tetapi juga pasar uang nampaknya masih akan volatile ke depannya. Sejumlah peristiwa yang dapat diprediksi, seperti kenaikan harga BBM yang mungkin tidak hanya sekali, laju inflasi yang melonjak, tarik ulur politik antar kubu yang berlanjut, adalah sebagian kejadian yang bisa memicu kembali gejolak mata uang rupiah di esok hari.

Bank Indonesia telah mewajibkan pelaksanaan hedging (lindung nilai), bahkan kebijakan ini telah didorong juga berlaku pada korporasi-korporasi swasta, di samping tentunya pada sektor perbankan. Portfolio hutang luar negeri yang beberapa waktu lalu pernah menjadi pilihan alternatif pembiayaan di sejumlah bank dan korporasi, sekarang ini harus di-monitor lebih ketat. Tentunya, kita tidak ingin kejadian buruk seperti “Krismon” pada tahun 1998 terjadi lagi di negeri kita, manakala timbunan hutang luar negeri meledak nilainya karena rupiah yang jatuh tersungkur sampai ke level Rp17.500 per dollarnya waktu itu. Sejumlah konglomerat top mendadak jatuh bangkrut ketika itu, dan BPPN menanggung pengelolaan aset bermasalah dengan nilai fantastis sekitar Rp600 triliun.

Pengelolaan keuangan perusahaan, baik pada bank-bank maupun perusahaan-perusahaan umum, harus ditangani secara lebih hati-hati. Nilai harga produk impor, kurs, komoditas perkebunan dan pertanian, serta banyak produk dengan kandungan impor yang tinggi, boleh jadi akan agak lebih lincah bergerak nantinya. Antisipasi perubahan dan perhitungan kembali sisi financial perlu lebih sering dilakukan oleh team manajemen keuangan.

Hedging dan “Market Knowledge

Ke depannya transaksi hedging akan semakin populer dan sering diambil. Ini suatu bentuk manajemen risiko yang baku dan patut diputuskan. Namun demikian, gejolak itu adalah sisi sulitnya. Acapkali dia sulit diprediksi. Jangan pula salah kalkulasi sehingga pendapatan perusahaan hanya tergerus oleh fee untuk hedging dari waktu ke waktu.

Hal lain yang perlu dikembangkan adalah market knowledge. Pasar uang sebenarnya adalah pasar yang tidak pernah tidur. Pergerakannya pun dinamis dari satu financial center kepada financial center dunia lainnya. Dari Sydney ke Tokyo dan Singapore, lalu ke London. Dari London kemudian ke New York dan akan balik lagi ke Australia dalam perputaran jadwalnya. Dinamika pasar yang tidak pernah berhenti ini sebenarnya dapat disimak dan dipelajari. Dari aneka peristiwa yang menggerakkan pasar sebelum-sebelumnya dapat ditarik beberapa butir pembelajaran tentang pasar. Bagaimana pun, knowledge is power.

Pengetahuan pasar yang memadai akan memperkuat analisis prediksi pasar di depan. Dengan demikian, transaksi hedging akan dapat diefisienkan. Perusahaan pun akan lebih lincah dan cerdas dalam memberikan respon atas setiap gejolak pasar uang yang nanti akan terjadi. Tambahkan pengetahuan, maka ancaman risiko akan berkurang.

Adalah Warren Buffet, salah seorang terkaya di dunia, pernah menyebutkan bahwa “Risk comes from not knowing what you’re doing”. Esensinya di sini antara lain adalah kekurang pengetahuan tentang bisnis dan pasar kita akan meningkatkan risiko yang akan dihadapi. Jadi, tambahkanlah pengetahuan. Setuju? 

Pak Alfred

Alfred Pakasi/Deputy Chairman of Vibiz Consulting Group, CEO of Vibiz Consulting/VMN/BL

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x