“ Comfort Zone ”, Zona Kematian Anda!

(Business Lounge – Business Today), Pagi ini saya membaca sebuah artikel di media online tentang workshop dengan topik kecenderungan yang makin meningkat pada konsumsi media digital, media sosial, dan keterlibatan pada perangkat mobile. Semakin seseorang atau perusahaan tidak mau keluar dari “Comfort Zone” atau zona kenyamanan semakin akan ketinggalan jaman. Apalagi bagi industri yang bergerak dibidang produksi alat-alat komunikasi, semakin tidak mau keluar dari Comfort Zone – zona kenyamanan artinya menuai kebangkrutan atau kematian usaha.

Saya pikir lebih dalam ulasan dalam tulisan ini, benar juga memang zona kenyamanan adalah bibit penyakit yang tidak langsung tampak membahayakan tapi berjalannya waktu akan semakin berbahaya dan dapat menimbulkan kematian seseorang.

Masalah Comfort Zone – zona kenyamanan kalau ditarik kaitannya dengan bidang pelayanan cukup menarik juga. Pengalaman saya bertahun-tahun mengajarkan tentang bahayanya zona kenyamanan ini, dimana seseorang lebih fokus pada kenyamanan diri sendiri yang mengarah kepada egocentris, dan ini berlawanan dengan misi pelayanan prima atau service excellence yang mengarah kepada customer focus.

Prosedur Bukan Harga Mati
Seringkali para pelaku service atau pelayan yang bertugas melayani customer, demi kepraktisan dan kemudahan, menempatkan prosedur yang berlaku menjadi harga mati yang tidak dapat ditawar lagi. Contoh sederhana adalah apabila seseorang membeli atau menggunakan jasa maka harus membayar sesuai dengan prosedur pembayaran yang berlaku. Misalnya apabila menggunakan jasa taxi dari rumah menuju kantor klien Anda, maka sampai di tempat tujuan harus membayarkan sejumlah uang untuk dibayarkan kepada sopir taxi, kecuali Anda menggunakan voucher perusahaan yang memiliki kerjasama dengan perusahaan taxi tersebut. Apabila ternyata Anda lupa membawa dompet sehingga tidak bisa melakukan pembayaran apa yang akan terjadi?
Sopir taxi yang kaku dan menganggap prosedur adalah harga mati, akan menuntut Anda untuk membayar saat itu juga tanpa mau tahu bagaimana usaha Anda, apakah pinjam uang dari orang di sekitar lokasi tujuan atau terpaksa naik taxi lagi kembali ke rumah dan terlambatlah segala urusan.

Tapi kalau sopir taxi sudah mengerti pentingnya melayani pelanggan dan punya hati atau passion terhadap pelanggan akan berani mencari jalan keluar. Saya kutibkan berikut ini pengalaman manis seorang penumpang taxi yang ketinggalan dompet sementara dia mengejar pertemuan penting. Ketika penumpang terkejut karena ketinggalan dompet maka dengan ramah sopir taxi menawarkan nomor rekening untuk ditransfer sejumlah ongkos taxi plus uang tunai yang ia pinjamkan ke penumpang.

Apakah nyaman? Tidak, karena pertama tidak bisa segera mendapatkan uang cash untuk menutup setoran, kedua ada resiko penumpang yang ditolong tidak melakukan transfer. Tapi karena si sopir taxi ini mau keluar dari zona kenyamanan – Comfort Zone nya dan berani mengambil risiko kehilangan uang demi melayani peumpang dengan sepenuh hati, imbalan apa yang diperoleh? Ternyata penumpang yang sangat berterimakasih karena ditolong dan tidak kehilangan kesempatan pada pertemuan penting yang akan dihadiri, menyebarkan informasi tentang kebaikan sopir taxi ini dari mulut ke mulut dan melalui social media, maka naiklah pamor sopir dan perusahaan taxinya. Citra yang baik dan kepercayaan pelanggan berhasil diraih, ini adalah modal yang sangat besar untuk meraih keberhasilan jangka panjang.

Fokus Kepada Kepuasan Pelanggan
Era pelayanan sudah semakin mengalami kemajuan seiring dengan berubahnya tuntutan pelayanan dari pelanggan. Mungkin dahulu Anda sangat akrab dengan pelayanan yang “apa adanya” dari sebuah toko, restauran , bahkan rumah sakit atau layanan publik seperti kantor kelurahan atau imigrasi dan yang lainnya. Karena prinsip petugas layanan bahwa “Anda butuh saya” dan “bukan Anda yang menggaji saya” masih kuat. Persaingan juga belum terlalu ketat. Tapi begitu Anda menghadapi persaingan yang kuat maka otomatis kalau ingin usaha tetap hidup dan berkembang harus memiliki sikap fokus pada kepuasan pelanggan.

Perusahaan yang memiliki kesadaran tinggi akan manfaat pelanggan bagi kelangsungan hidup perusahaan akan bersikan memberikan perhatian penuh kepada pelanggan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya budaya organisasi yang memang difokuskan kepada pelayanan terhadap pelanggan. Beberapa faktor yang perlu menjadi budaya organisasi antara lain:
·Visi, komitmen dan suasana kerja yang ditunjukkan baik melalui kata-kata atau tindakan yang mencerminkan bahwa pelanggan itu penting.
·Kemauan untuk mengidentifikasi dan mengatasi permasalahan pelanggan. Jadi apabila ada keluhan pelanggan akan dipantau dan dianalisis serta dicarikan solusi.
·Memberikan kesempatan adanya umpan balik dari pelanggan dan menyampaikan informasi ke semua pihak untuk adanya perbaikan.
·Meningkatkan kemampuan karyawan untuk memahami produk yang dihasilkan dan kebutuhan pelanggan, juga dalam menangani keluhan.

Dalam pelaksanaannya tidak sesederhana pernyataan-pernyataan tersebut di atas, karena hal ini memerlukan kemauan yang kuat dari seluruh jajaran di perusahaan untuk memuaskan kebutuhan pelanggan. Tentu dalam implementasinya memerlukan kerja keras dan konsisten dari unit-unit terkait yang artinya akan memaksa setiap orang untuk keluar dari zona kenyamanan masing-masing. Kalau biasanya bersikap seadanya terhadap pelanggan maka sekarang harus lebih care dan memiliki sikap “kami butuh Anda” terhadap pelanggan.

Zona Kenyamanan Bukan Zona Aman
Pengalaman sebagai konsultan dan trainer service excellence membuat saya memiliki banyak pengalaman bagaimana zona kenyamanan ini sangat membahayakan. Salah satu contoh adalah sebuah perusahaan jasa yang memiliki captive market sehingga para pegawai dengan standar pelayanan sekadarnyapun tidak pernah ditinggalkan pelanggan.

Untuk dapat memberikan senyum tulus dan ucapan terimakasih kepada pelanggan saja sangat sulit, selalu alasannya tanpa senyum juga pelanggan tetap datang. Sebagian besar pegawai sudah nyaman dengan apa yang ada, tidak ada keinginan untuk berubah menjadi lebih baik. Tapi karena perkembangan persaingan tidak dapat dihindarkan, tiba-tiba muncul perusahaan pesaing yang akhirnya membuat lembaga pemberi order memiliki pilihan lain selain perusahaan tersebut. Pada saat itulah manajemen seperti tersentak dan segera melakukan upaya perubahan untuk keluar dari zona kenyamanan karena perusahaan terancam kehilangan income, yang ujungnya dapat dipastikan akan bangkrut bahkan tutup.
Zona kenyamanan tentu tidak hanya pada sikap pelayanan terhadap pelanggan, tapi sikap atau prinsip yang dapat berlaku pada segala hal. Hanya karena topik pembahasan kita adalah service excellence maka dalam hal ini contoh zona kenyamanan berkaitan dengan pelayanan kepada pelanggan.
Bagaimana kita bisa keluar dari Comfort Zon3 – zona kenyamanan? Langkah pertama adalah ambil sikap “mau” atau “bersedia” untuk menerima perubahan, dan berani melangkah maju meskipun ada resiko kegagalan. Semakin berani melangkah semakin cepat mendapatkan peluang untuk maju.
Saya akhiri tulisan ini dengan mengutip kata-kata bijak dari Martin Luther King seorang tokoh pejuang rakyat yang sangat terkenal. “Ukuran terbaik seorang manusia tidak terletak pada dimana ia berdiri di masa-masa yang nyaman, melainkan dimana ia berdiri pada masa-masa penuh tantangan dan kontroversi” .

(Emy Trimahanani/IK/BL)

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x