(The Manager’s Lounge – Sales & Marketing) – Para pemimpin Jepang ingin keluar dari kelemahan dalam 20 tahun terakhir ini, tapi mengurungkan niatnya karena mereka tidak memahami apa yang salah. Lembaga Nasional Kemajuan Penelitian (National Institute of Research Advancement) menugaskan kita untuk mendiagnosis masalah sejarah, yang kita cantumkan dalam sebuah laporan yang dirilis tahun lalu, dan muncullah solusi masa depan. Laporan kedua kitan yaitu “Pilihan Kebijakan untuk Kebangkitan Jepang” diterbitkan pada bulan Juni dan menawarkan rencana untuk menghadapi kelemahan (malaise) tersebut.
Rencana ini disusun menjadi tiga tema besar: reformasi peraturan di domestik, membuka ekonomi Jepang, dan memperbaiki kebijakan makroekonomi. Masa yang paling hancur bagi Tokyo adalah pada 1990-an.
Masalah yang pertama, dan mungkin terbesar, adalah regulasi domestik. Pada 1990-an, Jepang membutuhkan deregulasi untuk mempromosikan inovasi, mengingat ekonomi tidak mampu tumbuh di produk palsu/penjiplakan, namun pemerintah menghindari ini. Dan ketika regulasi tersebut melindungi “perusahaan zombie,” yang memperburuk keadaan dengan menunda penghancuran kreatif dan merusak pertumbuhan perusahaan yang sehat. Hal ini juga menguras sumber daya wajib pajak dalam pengerjaan proyek umum yang tidak produktif.
Tokyo sangat membutuhkan bantuan hukum di empat bidang:
1. Salah satu tujuannya adalah untuk mengurangi biaya dalam menjalankan bisnis dan di sini Jepang dapat membuat titik kontak tunggal untuk semua dokumen dalam memulai bisnis, bukan dari nilai kantor yang harus dihadapi oleh penguasaha; merampingkan sistem pajak perusahaan, dan menyederhanakan proses untuk transfer daratan. Bahkan meningkatkan sistem alamat pos -sekarang ini, algoritma yang membingungkan memastikan bahwa bangunan yang berdekatan di kota-kota tidak memiliki alamat yang teratur-yang menawarkan keuntungan satu kali dalam hal efisiensi.
2. Selanjutnya, bank harus dipaksa untuk mengidentifikasi dan mencucurkan pinjaman non-performing mereka, untuk berhenti melindungi perusahaan zombie. Tokyo benar-benar mendorong bank untuk memulai hal ini di tahun 2002, namun hal itu tidak terjadi saat krisis keuangan global melanda Jepang pada tahun 2008. Tapi ketentuan-ketentuan pinjaman mudah sama sekali tidak membantu usaha untuk berinovasi.
3. Ada kasus lain dari birokrasi yang menghambat pertumbuhan produktivitas, terutama di bidang non-manufaktur. Aturan dalam perawatan kesehatan merupakan kendala untuk memberikan perawatan medis canggih, sedangkan peraturan ketat untuk penitipan anak membatasi masuknya orang baru sehingga kurangnya para suster di tempat tersebut. Pada beberapa titik, terutama di bawah Perdana Menteri Junichiro Koizumi, Tokyo mencoba untuk menghilangkan birokrasi tersebut, tapi proses tersebut melambat secara drastis dalam beberapa tahun terakhir.
4. Isu terakhir adalah sistem zona khusus, yang seharusnya mendorong deregulasi. Banyak dari zona khusus yang ada, dibentuk di bawah pemerintahan Koizumi, hanya menggeser permintaan dari satu daerah ke daerah lain, kadang-kadang melalui kebijakan industri yang kuno. Sistem ini harus dirombak, dengan membentuk deregulasi tertentu yang meningkatkan pertumbuhan secara keseluruhan.
Dengan tidak adanya peraturan di domestik akan memperlancar kekuatan kompetitif, tapi hal ini yang terbaik disertai dengan tema kedua laporan kita: membuka Jepang ke seluruh dunia. Kecakapan ekspor negara Jepang sangat bagus, namun perekonomian ini masih cukup tertutup untuk impor barang dan orang.
Itulah sebabnya berpartisipasi dalam Trans-Pacific Partnership, atau TPP, harus menjadi prioritas. Ini adalah kesepakatan perdagangan bebas multilateral utama yang tidak hanya akan meningkatkan kesejahteraan konsumen tetapi juga membuat perusahaan Jepang lebih produktif dengan mengekspos mereka untuk persaingan global.
Perdana Menteri Yoshihiko Noda tampaknya telah meninggalkan minatnya dalam TPP sekarang untuk menyelamatkan prioritas kebijakan yang lain, tapi jalan jangka panjang yang membatasi perdagangan negosiasi seperti TPP adalah lobi pertanian lokal. Petani padi secara khusus yang memicu perkelahian, dan hal tersebut berguna dalam menjelaskan kepada kepentingan-kepentingan bahwa pembukaan perdagangan dapat membantu daya saing global para petani. Kedua produk pertanian yang sangat kompetitif di Jepang yaitu, brand beef dan brand citrus, adalah daerah di Tokyo yang dulunya enggan buka pada tahun 1980 di bawah tekanan dari Washington.
Jalan menuju keterbukaan Jepang juga termasuk imigrasi meningkat, yang tidak hanya akan mengurangi dampak dari angkatan kerja menyusut tetapi juga merangsang inovasi. Namun Tokyo membatasi tempat tinggal permanen hanya untuk orang-orang dengan keturunan Jepang dalam tiga generasi, selain itu juga pada persyaratan yang berat seperti kefasihan bahasa dan sejenisnya. Pasar tenaga kerja Jepang sudah mulai mengapur karena aturan ini.
Akhirnya, penting untuk memperbaiki kebijakan makro ekonomi, terutama pajak dan pengeluaran. Dengan utang publik di atas 200% dari PDB dan dengan populasi menua yang siap untuk memasuki tabungan mereka, ancaman krisis utang adalah hal nyata. Sebuah rencana yang kredibel untuk konsolidasi fiskal diperlukan, tetapi kenaikan pajak konsumsi yang baru saja lulus hanya langkah pertama. Tokyo harus menerima kesulitan yang tak terelakan pada pemotongan belanja. Mengingat generasi tua saat ini akan menerima transfer lebih dari mereka yang menyumbang, penurunan manfaat jaminan sosial tampaknya tak terelakkan bagi kita.
Kebijakan moneter juga sebagian besar tidak dibimbing lagi, setidaknya sejak 1998 ketika Bank of Japan memperoleh kemerdekaan hukum. Gubernur bank sentral menjadi kurang segan tentang pertempuran kekuatan deflasi, yang memperburuk masalah utang dan menghambat pertumbuhan. Ide-ide yang digariskan dalam rencana kita sama sekali tidak lengkap, tetapi mereka mengidentifikasi hambatan utama dalam pertumbuhan. Tokyo perlu menghapus ini secepatnya, tetapi pemerintah hari ini hanya berteori pada liberalisasi perdagangan, konsolidasi kebijakan fiskal dan menghentikan deflasi. Ide “strategi pertumbuhan” ini hanyalah omongan belaka dalam pencapaiannya, mungkin karena pemikirannya masih memberikan keuntungan pada kebijakan industri. Namun jika Tokyo tidak meninggalkan pendekatan-pendekatan kuno ini, maka kita dalam melihat Jepang sebagai sepertiga “dekade yang hilang.”
Witati Liem, sebagai Associate Analis Vibiz Consulting menambahkan bahwa keterbukaan terhadap dunia luar adalah intinya, kesepakatan perdagangan bebas harus dilaksanakan. Negara tersebut sebaiknya memberi sedikit kelonggaran dalam impor barang dan sumber daya manusia seperti tenaga ahli, investor, imigran profesional, dan lainnya ke dalam negara tersebut, hal ini dapat meningkatkan populasi mereka yang semakin menyusut.
(Witati Liem/AA/TML)