PepsiCo Hadapi Tekanan Investor Soal Strategi

(Business Lounge – Global News) PepsiCo, salah satu perusahaan minuman dan makanan terbesar di dunia, tengah menghadapi tekanan dari investor aktivis Elliott Investment Management yang mendorong perubahan signifikan pada strategi bisnisnya. Fokus utama kritik adalah perlambatan penjualan minuman bersoda serta desakan agar PepsiCo mempertimbangkan restrukturisasi, termasuk kemungkinan refranchising operasi pembotolan.

Menurut laporan Wall Street Journal dan Bloomberg, Elliott mengajukan argumen bahwa kinerja PepsiCo tertinggal dibandingkan rival utamanya, Coca-Cola, terutama dalam segmen minuman bersoda. Sementara Coca-Cola berhasil menjaga pertumbuhan melalui inovasi produk rendah gula dan strategi distribusi yang lebih ramping, PepsiCo justru menghadapi tren penurunan penjualan soda di pasar utama seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat.

CEO Ramon Laguarta menegaskan bahwa strategi PepsiCo tidak bisa dinilai hanya dari kinerja soda. Ia menekankan kekuatan diversifikasi portofolio, dengan bisnis makanan ringan melalui merek Frito-Lay dan Quaker yang menyumbang kontribusi signifikan terhadap pendapatan. Menurutnya, stabilitas yang diberikan oleh segmen makanan menjadi keunggulan PepsiCo dibandingkan kompetitor yang terlalu bergantung pada minuman bersoda.

Namun, Elliott menilai bahwa diversifikasi justru membuat PepsiCo kehilangan fokus. Investor ini mendorong perusahaan untuk lebih agresif dalam memaksimalkan nilai pemegang saham, termasuk dengan meninjau ulang struktur bisnis dan mempertimbangkan pelepasan sebagian unit. Strategi refranchising pembotolan, yang pernah dilakukan Coca-Cola dengan hasil positif, juga disebut sebagai opsi yang layak untuk meningkatkan efisiensi modal dan profitabilitas.

Reaksi pasar terhadap desakan ini cukup tajam. Saham PepsiCo sempat berfluktuasi karena investor menimbang apakah manajemen akan merespons dengan perubahan besar atau tetap bertahan pada strategi jangka panjang. Menurut Reuters, beberapa analis menilai bahwa PepsiCo tidak bisa lagi mengabaikan tekanan investor, terutama karena tren kesehatan global mendorong konsumen menjauhi minuman bergula tinggi.

Di sisi lain, PepsiCo memang sudah melakukan berbagai upaya diversifikasi produk untuk menyesuaikan diri dengan tren baru. Mereka meluncurkan lini minuman rendah kalori, air berkarbonasi, dan produk berbasis oat untuk merespons permintaan konsumen yang lebih sehat. Selain itu, ekspansi ke pasar negara berkembang masih menjadi pilar pertumbuhan penting. Namun, hasilnya sejauh ini belum mampu menutupi pelemahan di pasar tradisional.

Masalah inti yang diangkat Elliott adalah soal efisiensi. Struktur biaya PepsiCo dinilai terlalu berat, dengan rantai distribusi yang kompleks akibat portofolio produk yang luas. Jika restrukturisasi dilakukan, termasuk refranchising operasi pembotolan, maka perusahaan bisa mengurangi beban biaya tetap dan meningkatkan margin keuntungan. Model ini terbukti berhasil di Coca-Cola, yang kini lebih fokus pada pengembangan merek dan pemasaran ketimbang operasional distribusi langsung.

Namun, tidak semua pihak sepakat dengan pendekatan Elliott. Sejumlah analis menilai bahwa kekuatan PepsiCo justru terletak pada integrasi rantai nilai yang utuh, mulai dari produksi hingga distribusi. Melepas sebagian operasi bisa memperlemah kontrol atas kualitas dan fleksibilitas perusahaan dalam merespons perubahan pasar.

Selain itu, PepsiCo juga dihadapkan pada dilema identitas merek. Selama bertahun-tahun, perusahaan berusaha menyeimbangkan citra sebagai produsen soda ikonik dengan komitmen pada gaya hidup sehat. Tekanan untuk merestrukturisasi bisa mengganggu keseimbangan ini dan menimbulkan risiko reputasi jika publik menilai langkah tersebut sebagai manuver finansial semata tanpa memperhatikan konsumen.

Menurut Financial Times, investor besar lainnya kini mengamati situasi ini dengan cermat. Jika Elliott berhasil mendapatkan dukungan luas, maka kemungkinan perubahan besar di PepsiCo akan semakin tinggi. Namun, manajemen tetap percaya diri bahwa strategi diversifikasi jangka panjang mampu membuktikan nilainya seiring dengan perubahan preferensi konsumen.

Bagi Ramon Laguarta, tantangan ini menjadi ujian kepemimpinan yang krusial. Sejak menjabat CEO pada 2018, ia berfokus memperkuat portofolio makanan ringan dan minuman sehat, serta mendorong transformasi digital di seluruh rantai pasok. Namun, tekanan investor menunjukkan bahwa pencapaian ini belum cukup untuk meyakinkan pasar.

PepsiCo dihadapkan pada dua jalan: bertahan dengan strategi diversifikasi sambil terus beradaptasi, atau merespons tekanan Elliott dengan restrukturisasi besar. Kedua pilihan memiliki risiko masing-masing. Jika tetap bertahan, perusahaan bisa kehilangan dukungan investor jangka pendek. Jika mengikuti Elliott, perusahaan bisa menghadapi tantangan dalam mempertahankan kontrol dan identitas merek.

Situasi ini menegaskan realitas baru di industri minuman dan makanan global. Konsumen semakin sadar kesehatan, regulasi semakin ketat terhadap gula dan plastik, serta kompetisi semakin tajam dengan pemain baru yang lebih gesit. Bagi PepsiCo, sekadar bertahan tidak cukup. Perusahaan harus menunjukkan arah transformasi yang jelas agar tetap relevan di tengah perubahan ini.

Tekanan dari Elliott terhadap PepsiCo mencerminkan pergeseran dinamika di sektor minuman global. Dengan penjualan soda yang melemah dan ekspektasi investor yang semakin tinggi, Ramon Laguarta kini berada dalam posisi sulit untuk menyeimbangkan kebutuhan jangka pendek dengan strategi jangka panjang. Apakah PepsiCo akan melakukan reset besar atau bertahan dengan jalannya sendiri, akan sangat menentukan masa depan perusahaan ini dalam dekade mendatang.