Silo mental adalah pola pikir di mana unit-unit dalam organisasi bekerja secara terpisah, fokus pada tujuan sendiri-sendiri, sehingga kolaborasi lintas fungsi sulit terjadi. Di industri perbankan, silo bisa menghambat inovasi layanan, memperlambat pemrosesan kredit, dan menurunkan pengalaman nasabah. Mengatasi silo mental membutuhkan kombinasi budaya organisasi, proses yang jelas, serta alat komunikasi yang efektif
Berikut adalah langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi silo mental.
1. Visi, misi, dan tujuan bersama
Langkah awal adalah menyelaraskan seluruh tim pada tujuan organisasi. Rapat all-hands atau town hall yang menjelaskan visi perusahaan, nilai inti, serta target kinerja dapat membantu setiap unit memahami bagaimana kontribusinya berdampak pada keseluruhan organisasi. KPI yang terhubung dengan tujuan bersama memotivasi kolaborasi, bukan persaingan internal.
Contoh: Rapat all-hands bulanan memaparkan tujuan strategis tahun ini: meningkatkan kepuasan nasabah digital sebesar 15% dan mempercepat proses persetujuan kredit menjadi 24 jam. KPI lintas fungsi meliputi: tingkat kepuasan nasabah (CSAT), waktu respons underwriting, dan tingkat konversi aplikasi digital.
2. Struktur organisasi yang transparan
Perubahan struktur yang mempermudah alur informasi sangat penting. Buat peta pemangku kepentingan (stakeholder map) untuk proyek-proyek lintas fungsi dan tetapkan penanggung jawab bersama. Gunakan organiasi matriks yang jelas, sehingga setiap orang tahu siapa yang perlu diajak bekerja sama dalam inisiatif tertentu.
Contoh: Peta pemangku kepentingan proyek digital onboarding nasabah baru yang melibatkan Retail Banking, IT, Data & Analytics, Compliance, dan Risiko. Tetapkan pemilik proyek bersama dari setiap area.
3. Proses kolaboratif dan tata kelola proyek
tata kelola proyek
Adopsi metodologi manajemen proyek berbasis kolaborasi, seperti Agile atau OKR, yang mengutamakan iterasi, transparansi, dan pembaruan berkala. Rapat rutin lintas fungsi, seperti daily stand-up atau sprint review, meminimalkan silo dengan menjaga semua pihak tetap terinformasi dan akuntabel.
Contoh: Proyek peluncuran fitur kredit mikro digital dilakukan dengan sprint 2 minggu. Daily stand-up melibatkan perwakilan dari produk, IT, operasional, dan kepatuhan; sprint review untuk evaluasi eksperimen.
4. Teknologi sebagai enabler komunikasi
Teknologi sebagai enabler komunikasi
Alat kolaborasi digital (misalnya platform proyek, chat tim, dokumentasi bersama) harus mudah diakses oleh semua fungsi. Integrasikan sistem agar data dan informasi dapat dibagikan secara real-time. Pelatihan penggunaan alat ini penting agar tidak ada celah komunikasi.
Contoh: Platform kolaborasi internal yang menggabungkan manajemen backlog, dokumentasi kebijakan, dan chat lintas fungsi. Data nasabah dan laporan risiko dapat diakses semua pihak terkait, dengan hak akses yang jelas.
5. Budaya terbuka dan penguatan kepercayaan
Silo muncul ketika ada rasa takut akan kehilangan kendali atau disalahkan. Budaya psikologis aman membantu karyawan berbagi ide, mengungkap masalah, dan meminta bantuan tanpa rasa takut. Pimpinan senior perlu menunjukkan contoh dengan mengakui kontribusi tim lintas fungsi dan memberikan umpan balik yang konstruktif.
Contoh: Forum keamanan siber internal di mana tim IT, risiko, dan produk secara terbuka membahas kerentanan tanpa sanksi. Koping ide inovatif dari staf front line juga didorong.
6. Kepemimpinan yang mendorong kolaborasi
Pemimpin harus bertindak sebagai fasilitator, bukan pengambil keputusan tunggal. Delegasikan otoritas pada tim lintas fungsi, berikan ruang eksperimen, dan hargai proses kolaborasi. Kepemimpinan yang konsisten dalam memfasilitasi komunikasi antar departemen mempercepat perbaikan berkelanjutan.
Contoh: Kepala Divisi Digital Finance memberi otoritas eksperimen pada tim lintas fungsi untuk menguji alur persetujuan kredit otomatis menggunakan AI, dengan batasan risiko yang jelas.
7. Pengukuran dan pembelajaran berkelanjutan
Gunakan metrik kolaborasi seperti waktu rata-rata penyelesaian proyek lintas fungsi, tingkat kepuasan mitra internal, dan jumlah inisiatif yang sukses tanpa hambatan silo. Evaluasi berkala membantu mengidentifikasi area perbaikan dan menindaklanjuti solusi yang efektif.
Contoh: Metrik kolaborasi meliputi waktu rata-rata penyelesaian aplikasi kredit digital (end-to-end), tingkat kepuasan mitra internal, jumlah inisiatif lintas fungsi yang berhasil tanpa hambatan silo, serta persentase dokumen kepatuhan yang disetujui tanpa revisi.
Mengatasi silo mental bukan pekerjaan sejenak, melainkan proses budaya yang berkelanjutan. Dengan visi yang jelas, struktur yang transparan, alat kolaborasi yang tepat, serta budaya yang menghargai kerja sama, perusahaan tidak hanya meningkatkan efisiensi operasional, tetapi juga mempercepat inovasi dan kepuasan karyawan.