Google boleh bernapas lega—setidaknya untuk saat ini. Setelah lima tahun tarik-menarik dengan Departemen Kehakiman Amerika Serikat (DOJ), hakim federal akhirnya memutuskan bahwa raksasa teknologi itu tidak perlu menjual Chrome dan Android, dua pilar bisnisnya yang dianggap paling vital. Namun, sebagai gantinya, Google diwajibkan berbagi data pencarian dengan para pesaingnya demi mendorong persaingan yang lebih sehat di dunia online search.
Keputusan ini langsung membuat saham induk Google, Alphabet, melonjak hampir 6,7% di perdagangan setelah jam bursa. Investor tampaknya lega karena risiko kehilangan Chrome dan Android—dua mesin uang yang menopang dominasi Google—berhasil dihindari.
Di sisi lain, kewajiban berbagi data jelas bukan perkara kecil. Selama persidangan, CEO Google Sundar Pichai sempat mengeluhkan bahwa langkah itu bisa membuka peluang bagi pesaing untuk “reverse-engineer” teknologi milik Google, yang selama ini menjadi tulang punggung iklan digital bernilai miliaran dolar. Hal ini berarti mencoba membongkar cara kerja internal (resep rahasia) mesin pencarian dan sistem iklannya tanpa melihat kode sumbernya, melainkan menyimpulkan dari data, pola, dan hasil keluaran.
Bukan membajak kode, tapi menebak mekanisme. Pihak lain mengamati input (kata kunci, profil pengguna anonim, konteks) dan output (urutan hasil, iklan yang tampil, klik, harga lelang) untuk menyimpulkan aturan, bobot, dan sinyal yang dipakai Google saat meranking hasil dan menayangkan iklan. Selain itu data-sharing membuat ini lebih mudah. Jika Google wajib berbagi log pencarian/iklan (meski dianonimkan/diagregasi), pesaing bisa melihat:
- Iklan brand mana yang sering menang,
- Estimasi harga per klik dan ambang kualitas agar iklan tampil di posisi atas,
- Halaman web macam apa yang stabil di peringkat 1–3 (indikasi sinyal ranking),
- Jam/hari mana yang paling mengonversi.
Dengan begitu, mereka bisa merekonstruksi model yang mendekati “rasa” Google.
Mengapa ini sensitif?
Algoritma ranking dan sistem lelang iklan adalah tulang punggung bisnis bernilai miliaran dolar Google. Jika pesaing memahami polanya, maka mereka bisa meniru/menyetel mesin pencari & adtech sendiri agar sama efektifnya serta engurangi keunggulan kompetitif fGoogle dalam monetisasi dan relevansi hasil.
Menariknya, keputusan ini juga memberi angin segar bagi Apple. Hakim Amit Mehta menyatakan, kesepakatan bagi hasil iklan dengan Google—yang kabarnya bernilai sekitar $20 miliar per tahun—boleh terus berjalan. Artinya, selama pengguna iPhone tetap nyaman mencari lewat Google, Apple tetap ikut kecipratan keuntungan besar.
Meski begitu, drama hukum Google jauh dari kata selesai. Perusahaan ini masih harus menghadapi gugatan lain, mulai dari dominasi di pasar iklan online hingga aturan soal toko aplikasi yang dimenangkan Epic Games, pembuat Fortnite. Pada September mendatang, Google juga dijadwalkan kembali ke pengadilan dalam kasus antimonopoli lainnya.
Kasus Google ini hanyalah bagian dari gelombang besar pengetatan regulasi terhadap Big Tech di AS. Sejak era Donald Trump hingga kini, pemerintah—baik Demokrat maupun Republik—tampak sepakat bahwa raksasa seperti Google, Meta, Amazon, dan Apple perlu diawasi lebih ketat.
Bagi publik, putusan ini bisa membuka jalan menuju dunia pencarian internet yang lebih kompetitif. Namun bagi Google, pertarungan hukum ini jelas baru babak pertama. Seperti biasa, sang raksasa teknologi menegaskan akan mengajukan banding—sebuah langkah yang bisa memperpanjang ketegangan hingga bertahun-tahun ke depan.