Shell

Shell Tambah Kepemilikan Ladang Minyak Bonga

(Business Lounge – Shell) Shell PLC memperkuat langkah strategisnya di pasar energi Afrika dengan mengakuisisi 12,5% saham milik TotalEnergies di ladang minyak Bonga, Nigeria, senilai $510 juta. Dengan akuisisi ini, kepemilikan Shell atas ladang lepas pantai tersebut meningkat dari 55% menjadi 67,5%, mempertegas posisi perusahaan sebagai operator dominan di lapangan migas utama yang telah beroperasi selama dua dekade. Menurut laporan dari Reuters, kesepakatan ini diumumkan pada akhir Mei 2025 dan masih menunggu persetujuan regulator di Nigeria.

Langkah ini dinilai sebagai bagian dari upaya Shell untuk menyederhanakan portofolio bisnis upstream-nya dengan memfokuskan investasi pada proyek-proyek yang memiliki margin tinggi dan risiko operasional yang lebih rendah. Sejak 2021, perusahaan energi asal Inggris-Belanda ini telah mulai meninggalkan berbagai aset minyak dan gas darat di Nigeria, yang dikenal memiliki tantangan besar mulai dari pencurian minyak hingga konflik masyarakat lokal. Penjualan seluruh aset onshore Shell kepada konsorsium lokal Renaissance senilai $2,4 miliar, seperti diberitakan oleh Reuters, menjadi tonggak penting dalam strategi ini. Maka, penambahan saham di Bonga mencerminkan keinginan perusahaan untuk tetap hadir di Nigeria, namun dalam bentuk investasi yang lebih aman dan efisien.

Bonga merupakan proyek minyak lepas pantai pertama di Nigeria yang dikembangkan dalam kedalaman laut yang ekstrem, dimulai produksinya pada tahun 2005. Ladang ini merupakan bagian dari skema produksi bersama dengan Nigerian National Petroleum Corporation (NNPC), yang memiliki peran sebagai mitra pemerintah. Menurut laporan Energy Connects, ladang Bonga memiliki kapasitas produksi hingga 225.000 barel minyak per hari, menjadikannya sebagai salah satu aset paling berharga di Afrika Barat. Dengan menguasai lebih dari dua pertiga saham, Shell kini memiliki kontrol yang lebih besar atas keputusan operasional dan arah pengembangan masa depan lapangan ini.

Salah satu ekspansi signifikan yang direncanakan adalah proyek Bonga North, yang menurut perkiraan akan menelan investasi sebesar $5 miliar. Proyek ini diproyeksikan mampu menambah 110.000 barel minyak per hari ke kapasitas produksi Bonga saat ini. Rencana perluasan ini merupakan bagian dari strategi Shell untuk mempertahankan output dan efisiensi produksi di tengah tantangan global seperti penurunan harga minyak dan ketidakpastian geopolitik.

Sementara itu, TotalEnergies mengambil langkah berbeda. Perusahaan energi asal Prancis ini telah mengumumkan penjualan berbagai aset hulu yang tidak sesuai dengan target strategis emisi karbon rendah mereka. Dalam keterangan resmi yang dikutip oleh Africa Business Insider, TotalEnergies menegaskan bahwa penjualan saham di Bonga selaras dengan strategi untuk memprioritaskan aset dengan biaya teknis rendah dan emisi rendah. TotalEnergies kini fokus mengembangkan proyek gas di Nigeria seperti pengembangan lapangan Ubeta yang akan menopang kebutuhan feed gas untuk Nigeria LNG, serta memperkuat portofolio gas dan energi bersihnya di wilayah Afrika dan Asia.

Langkah Shell dan TotalEnergies mencerminkan pergeseran paradigma yang lebih luas dalam industri energi global. Di tengah tekanan untuk dekarbonisasi dan transisi energi, perusahaan besar energi mengambil pendekatan berbeda untuk bertahan dan tumbuh. Shell, meskipun memiliki target net-zero pada 2050, masih mempertahankan investasi besar di sektor minyak dan gas, terutama di wilayah-wilayah dengan peluang produksi tinggi dan regulasi yang cenderung lebih longgar. Sebaliknya, TotalEnergies telah lebih agresif dalam mengalokasikan kapital ke sektor gas dan energi terbarukan.

Selain Shell dan TotalEnergies, pemegang saham lainnya di Bonga adalah Esso Exploration and Production Nigeria Limited (anak perusahaan ExxonMobil) dengan kepemilikan 20% dan Nigerian Agip Exploration (NAE), yang dimiliki oleh Oando PLC, dengan 12,5%. Dengan TotalEnergies keluar dari struktur kepemilikan, kemungkinan besar hubungan operasional dan investasi antara Shell dan dua mitra lainnya akan diperkuat. Menurut laporan Energy Connects, Shell akan memimpin integrasi struktur baru dengan tetap mempertahankan standar keselamatan dan efisiensi tinggi dalam operasi Bonga.

Dalam siaran pers yang dikutip oleh Energy Connects, Peter Costello, Presiden Upstream Shell, menyebut bahwa akuisisi ini bukan hanya transaksi finansial, tetapi juga bentuk komitmen jangka panjang Shell terhadap Afrika Barat. Ia menyatakan bahwa Nigeria akan tetap menjadi bagian penting dalam portofolio global Shell karena potensi pertumbuhan yang besar, infrastruktur yang mapan, dan kemitraan jangka panjang yang telah dibangun. Ia menambahkan bahwa akuisisi ini akan membantu Shell mencapai tujuan pertumbuhan produksi dalam dekade ini, sekaligus meningkatkan nilai bagi pemegang saham.

Bagi Nigeria sendiri, transaksi ini bisa menjadi angin segar di tengah tantangan menurunnya investasi asing langsung di sektor energi. Setelah bertahun-tahun menghadapi ketidakpastian hukum, perizinan lambat, dan konflik sosial di wilayah produksi migas, komitmen Shell untuk tetap memperbesar investasinya di negara tersebut mengirimkan sinyal positif. Apalagi pemerintah Nigeria, seperti dilaporkan oleh Reuters, tengah berupaya mereformasi kebijakan energi agar lebih menarik bagi investor asing, termasuk dengan menawarkan insentif fiskal dan percepatan pengesahan proyek.

Namun, tidak semua analis memandang langkah Shell ini tanpa kekhawatiran. Beberapa mengingatkan bahwa ketergantungan jangka panjang pada proyek minyak konvensional, bahkan yang berbiaya rendah sekalipun, dapat berisiko jika terjadi percepatan transisi energi global. Harga karbon yang lebih tinggi, pembatasan impor oleh negara-negara konsumen besar, dan perkembangan teknologi energi bersih bisa membuat investasi seperti Bonga kehilangan daya tarik dalam 10–20 tahun mendatang. Dalam analisis dari Financial Times, sektor minyak dalam beberapa tahun ke depan akan mengalami konsolidasi di tangan beberapa pemain besar saja yang mampu bertahan dengan margin tipis dan disiplin modal yang ketat.

Namun untuk saat ini, langkah Shell dianggap rasional dari sisi bisnis. Ladang Bonga termasuk dalam kategori aset kelas dunia dengan performa produksi yang stabil, biaya operasi yang terkendali, dan risiko keamanan yang lebih kecil dibanding aset onshore. Ladang ini juga memiliki infrastruktur produksi yang terintegrasi dengan ekspor global, termasuk fasilitas FPSO (Floating Production, Storage and Offloading) yang canggih. Shell bahkan menyatakan bahwa dengan adanya ekspansi Bonga North, lapangan ini bisa tetap menjadi tulang punggung produksi Nigeria selama dua dekade ke depan.

Secara keseluruhan, transaksi senilai $510 juta ini bukan hanya pergeseran kepemilikan saham biasa, tetapi simbol dari perubahan strategi bisnis dan geopolitik energi. Shell, melalui akuisisi ini, memperlihatkan pendekatan konservatif namun agresif: mempertahankan eksistensi di sektor minyak sambil menyaring hanya aset yang betul-betul memberi nilai tambah tinggi. TotalEnergies, di sisi lain, memilih jalan divergensi dengan mengurangi eksposur di sektor migas kental karbon dan mengalihkan dana ke proyek gas dan listrik bersih.

Dalam peta energi global saat ini, kawasan seperti Afrika Barat menjadi panggung penting. Nigeria sebagai negara penghasil minyak terbesar di Afrika memiliki cadangan besar namun menghadapi tantangan serius dalam keamanan dan birokrasi. Keputusan perusahaan seperti Shell dan TotalEnergies dalam menata ulang eksposur mereka di negara ini akan turut mempengaruhi dinamika produksi minyak global dan stabilitas pasar energi internasional.

Dengan selesainya akuisisi ini sebelum akhir tahun, Shell diperkirakan akan segera melanjutkan langkah-langkah ekspansi dan optimalisasi produksi di Bonga, termasuk melalui peningkatan digitalisasi dan otomatisasi di fasilitas offshore. Sementara itu, TotalEnergies akan membawa modal dari transaksi ini untuk mendanai proyek-proyek gas dan energi bersih yang dianggap lebih prospektif di tengah era transisi global.