Evolusi Model Ulrich: Pendekatan Baru dalam Menjawab Tantangan HR Masa Kini

(Business Lounge Journal – Human Resources)

Sejak pertama kali diperkenalkan oleh Dave Ulrich pada akhir 1990-an, model operasional HR yang dikenal sebagai Model Ulrich telah menjadi acuan utama bagi organisasi di seluruh dunia dalam membentuk struktur fungsi sumber daya manusia (SDM). Model ini membagi fungsi HR ke dalam tiga peran utama: HR Business Partner (HRBP), Center of Excellence (CoE), dan Shared Services. Namun, seiring waktu, tantangan dan dinamika dunia kerja mengalami perubahan yang signifikan. Banyak CHRO (Chief Human Resources Officer) kini menilai bahwa model klasik ini tidak lagi cukup tangguh untuk menjawab tuntutan bisnis dan karyawan modern.

Tekanan transformasi digital, kebutuhan akan ketangkasan organisasi (organizational agility), serta ekspektasi karyawan terhadap pengalaman kerja yang lebih personal dan bermakna, telah mendorong banyak perusahaan melakukan adaptasi dan inovasi terhadap struktur HR mereka. Namun ada lima pendekatan baru yang berkembang dari Model Ulrich, yang dikenal dengan sebutan Ulrich+, dan model-model lainnya yang merefleksikan kebutuhan akan ketangkasan, pengalaman, otonomi, dan kecanggihan teknologi dalam HR. Kali ini mari kita membahas pendekatan Ulrich+ dan Agile HR.

Ulrich+: Adaptasi Digital atas Model Klasik

Model Ulrich+ merupakan evolusi dari model Ulrich klasik yang sangat berpengaruh dalam pengembangan struktur organisasi HR. Jika model klasik membagi peran HR menjadi tiga komponen utama—HR Business Partner (HRBP), Center of Excellence (CoE), dan HR Services—maka model Ulrich+ memperkuat peran strategis dan operasional HRBP sambil menyederhanakan fungsi CoE dan mengoptimalkan digitalisasi.

Dalam versi ini:

  • HRBP tidak hanya menjadi mitra strategis bagi unit bisnis, tetapi juga dituntut memiliki kapabilitas fungsional dan digital yang kuat. Mereka harus mampu mengeksekusi proyek-proyek transformasi, menyelaraskan strategi SDM dengan kebutuhan bisnis, serta mendorong inovasi dalam hal employee experience dan budaya kerja agile.
  • CoE menjadi lebih ramping, terdiri dari tim ahli fungsional yang sangat terfokus pada pengembangan kebijakan strategis, dan sering kali bekerja erat dengan HRBP dalam bentuk kolaborasi berbasis proyek, bukan sebagai silo tersendiri.
  • Shared services dan sistem digital menjadi tulang punggung operasional HR, menyediakan layanan yang cepat, efisien, dan berbasis data. Otomatisasi, AI, dan platform analitik dipakai untuk mendukung pengambilan keputusan dan mengurangi beban administratif.

Model Ulrich+ lahir dari kebutuhan untuk merespons kritik terhadap model klasik, seperti:

  • Kurangnya kecepatan dan ketangkasan dalam merespons dinamika bisnis modern,
  • HRBP yang terlalu “jauh” dari keahlian fungsional sehingga kurang efektif dalam eksekusi,
  • Tidak cukupnya pemanfaatan teknologi dalam mendukung strategi HR secara menyeluruh.

Contoh Penerapan Ulrich+ di Dunia Nyata

1. Unilever
Sebagai perusahaan global dengan ribuan karyawan di berbagai negara, Unilever telah mengadaptasi prinsip Ulrich+ dengan cara memperkuat peran HRBP sebagai “People Experience Lead” yang dilengkapi dengan kemampuan analitik dan digital tools. Mereka menggunakan platform digital terpadu untuk mengelola seluruh siklus karyawan, mulai dari rekrutmen hingga pengembangan karier, dan mengandalkan CoE yang kecil namun sangat strategis untuk isu-isu seperti keberagaman, keberlanjutan SDM, dan brand employer.

2. Schneider Electric
Perusahaan energi dan otomasi asal Prancis ini menerapkan model Ulrich+ melalui integrasi fungsi HR global yang sangat bergantung pada teknologi. HRBP mereka dilatih sebagai change agent dan pengguna data yang aktif dalam pengambilan keputusan. Mereka menggunakan People Analytics untuk memprediksi kebutuhan tenaga kerja dan mengintegrasikan HR Service Centers secara digital untuk efisiensi global.

3. Nestlé
Nestlé menjalankan transformasi HR dengan mengarah ke model Ulrich+ melalui restrukturisasi tim HR-nya secara global. HRBP mereka tidak hanya bertugas sebagai konsultan bisnis, tetapi juga sebagai pemimpin inisiatif strategis seperti wellbeing, digital learning, dan DEI (diversity, equity, inclusion). CoE mereka menjadi lebih ramping dan fokus pada kebijakan global, sementara layanan operasional disentralisasi dalam pusat layanan bersama yang sangat terdigitalisasi.

Model Ulrich+ tidak hanya merupakan revisi struktur, tetapi juga refleksi dari tuntutan era digital dan kebutuhan akan ketangkasan organisasi. Dengan memperkuat kompetensi HRBP, menyederhanakan fungsi CoE, dan mendigitalisasi layanan, perusahaan mampu menciptakan fungsi HR yang tidak hanya responsif tetapi juga proaktif dalam mendorong transformasi bisnis.

Model ini sangat cocok untuk:

  • Perusahaan besar dengan skala global atau regional,
  • Organisasi yang sedang melakukan transformasi digital,
  • HR yang ingin lebih terlibat dalam strategi bisnis dan inovasi organisasi.

Agile HR: Menjawab Kebutuhan Akan Ketangkasan

Di era disrupsi dan perubahan yang serba cepat, banyak organisasi menyadari bahwa struktur HR tradisional tidak lagi memadai. Model Agile HR hadir sebagai respons terhadap kebutuhan akan ketangkasan, kecepatan, dan kolaborasi lintas fungsi yang tinggi, khususnya bagi perusahaan yang sedang mengalami pertumbuhan pesat atau beroperasi dalam industri dengan tingkat volatilitas tinggi.

Dalam model Agile HR, struktur fungsi SDM diubah secara fundamental:

  • Jumlah HR Business Partner (HRBP) dikurangi secara signifikan, namun kapabilitas mereka ditingkatkan, baik dalam pemahaman bisnis maupun pengambilan keputusan berbasis data.
  • HRBP bukan lagi sekadar penghubung antara karyawan dan kebijakan perusahaan, melainkan menjadi penasihat strategis yang secara aktif membantu pimpinan unit bisnis dalam mengelola perubahan, mengembangkan organisasi, dan membentuk budaya kerja yang adaptif.
  • Centers of Excellence (CoE), yang sebelumnya banyak terjebak dalam perumusan kebijakan statis, kini fokus pada isu-isu strategis yang krusial untuk keberlangsungan dan pertumbuhan organisasi, seperti:
    • Data dan analitik HR,
    • Perencanaan tenaga kerja jangka panjang,
    • Program keberagaman, kesetaraan, dan inklusi (DEI),
    • Transformasi digital SDM.

Dengan berkurangnya beban administratif dan operasional, sumber daya manusia dalam HR dialihkan untuk mengerjakan proyek-proyek strategis lintas fungsi, misalnya pengembangan talent marketplace internal, pelatihan manajer menjadi coach, atau inisiatif wellbeing berbasis data.

Pendekatan ini mencerminkan filosofi bahwa HR harus mampu bergerak secepat — atau bahkan lebih cepat dari — unit bisnis, agar tidak menjadi penghambat transformasi, melainkan motor penggerak utamanya.

Contoh Penerapan:

  1. Unilever
    Unilever menerapkan pendekatan Agile HR melalui transformasi fungsi HR-nya yang disebut “U Work” dan pengembangan sistem kerja yang lebih fleksibel. HRBP mereka kini lebih fokus pada membantu unit bisnis dalam merancang tenaga kerja masa depan, serta menjadi mitra strategis dalam pengambilan keputusan yang berbasis data karyawan (people analytics). Mereka juga membentuk agile squads dalam HR untuk menangani proyek seperti employee experience, DEI, dan digital upskilling.

2. ING Bank
ING merupakan pelopor dalam mengadopsi pendekatan Agile di seluruh organisasi, termasuk HR. HR bekerja dalam cross-functional squads dan tribes, di mana HRBP, learning specialist, dan analis data bekerja bersama dalam menyelesaikan permasalahan SDM secara iteratif dan responsif terhadap kebutuhan bisnis. Proses rekrutmen, onboarding, dan learning disusun dalam siklus sprint, mirip seperti dalam pengembangan produk digital.

3. Grab
Perusahaan teknologi asal Asia Tenggara ini juga menerapkan prinsip Agile dalam fungsi People Operations-nya. HR Grab membentuk project-based teams yang lincah untuk menangani tantangan seperti retensi talenta teknologi, pengembangan budaya inklusif, dan scale-up kapabilitas manajerial. Mereka mengandalkan real-time feedback tools dan people dashboard untuk membantu manajemen mengambil keputusan berbasis data.

Agile HR bukan sekadar tren, tetapi sebuah kebutuhan strategis untuk bertahan dan tumbuh di tengah disrupsi. Perusahaan yang mampu mengadopsi pendekatan ini akan lebih siap untuk merespons perubahan, mengelola talenta dengan cara yang lebih cerdas, dan menciptakan nilai nyata dari fungsi SDM.

Transformasi dalam fungsi Human Resources bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak di tengah dunia kerja yang terus berubah. Model-model baru seperti Ulrich+, Agile HR, hingga pendekatan Machine-Powered HR menunjukkan bahwa HR masa kini harus mampu memainkan peran strategis, adaptif, dan berbasis data. Pendekatan-pendekatan ini menandai pergeseran dari HR sebagai fungsi administratif menjadi motor penggerak inovasi dan perubahan organisasi.

Namun, adopsi model baru tidak selalu berarti membuang struktur lama sepenuhnya. Kuncinya terletak pada kemampuan organisasi untuk mengevaluasi konteks bisnis, kesiapan digital, dan kebutuhan tenaga kerja secara jujur. Bagi perusahaan yang ingin tetap relevan dan kompetitif, membangun fungsi HR yang gesit, berorientasi pada pengalaman karyawan, dan didukung oleh kecanggihan teknologi akan menjadi kunci sukses di masa depan.

Kini saatnya bagi para pemimpin HR dan bisnis untuk tidak hanya mengejar efisiensi, tetapi juga menciptakan nilai strategis dari manusia yang ada di dalam organisasi. Karena di era yang didorong oleh data dan kecepatan, people still make the difference—dan HR yang tepat akan menjadi pembeda utama.

Pada artikel selanjutnya kita akan membahas beberapa pendekatan lainnya.