(Business Lounge – Global News) Woodside Energy, perusahaan energi asal Australia, mengejutkan pasar energi global dengan menyatakan bahwa Saudi Aramco — raksasa minyak dan gas asal Arab Saudi — bisa menjadi mitra strategis dalam proyek ekspor gas alam cair (LNG) yang baru saja disetujui di Louisiana, Amerika Serikat. Pernyataan ini muncul setelah Woodside dan Aramco menandatangani perjanjian kerja sama, membuka jalan bagi potensi investasi dan sinergi strategis dalam pengembangan LNG lintas benua.
Dalam laporan Bloomberg, CEO Woodside, Meg O’Neill, mengatakan bahwa kedua perusahaan telah menyepakati nota kesepahaman (MoU) untuk menjajaki peluang kolaborasi di berbagai proyek LNG. Salah satu fokus utama adalah proyek Riverview LNG di Louisiana, yang baru saja mendapatkan persetujuan akhir investasi (Final Investment Decision/FID). O’Neill menambahkan bahwa Aramco kini sedang dalam proses evaluasi mendalam, dan keterlibatan mereka masih terbuka sebagai mitra strategis atau pemegang saham.
Proyek Riverview LNG — sebelumnya dikenal sebagai Port Arthur LNG Tranche 2 — merupakan langkah besar Woodside dalam memperluas jejak globalnya di sektor gas alam cair. Menurut laporan Reuters, proyek ini diharapkan memiliki kapasitas produksi awal sekitar 2 juta ton LNG per tahun, dengan potensi ekspansi hingga 10 juta ton. Investasi awal diperkirakan mencapai lebih dari 7 miliar dolar AS, menjadikannya salah satu proyek LNG paling ambisius di wilayah Amerika Serikat bagian selatan dalam beberapa tahun terakhir.
Peluang masuknya Aramco ke proyek ini menjadi sorotan besar karena perusahaan asal Saudi itu selama ini lebih fokus pada ekspor minyak mentah dan produk hilir. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Aramco mulai melakukan diversifikasi, seiring dengan visi jangka panjang Vision 2030 yang dicanangkan Putra Mahkota Mohammed bin Salman. Dalam strategi ini, Saudi berupaya mengembangkan kapabilitas energi non-minyak, termasuk gas dan hidrogen biru, untuk memperkuat ketahanan energi nasional dan ekspansi globalnya.
Seperti dilaporkan oleh Financial Times, Aramco telah menunjukkan minat untuk membangun portofolio LNG global. Perusahaan telah menjalin kerja sama dengan TotalEnergies di Mozambik dan mendiskusikan proyek-proyek baru di Afrika dan Asia. Langkah menuju keterlibatan di proyek LNG AS menandai pergeseran geopolitik, karena untuk pertama kalinya Aramco mempertimbangkan investasi besar dalam sektor gas AS, wilayah yang secara historis berada dalam orbit perusahaan-perusahaan Barat.
Keterlibatan Aramco dalam proyek ini dapat mengubah dinamika pasokan LNG global. Pasar LNG saat ini tengah mengalami pergeseran besar akibat perang di Ukraina, pembatasan gas Rusia, dan meningkatnya permintaan dari Asia Tenggara serta Eropa. The Wall Street Journal menyebutkan bahwa Amerika Serikat telah menjadi eksportir LNG terbesar dunia pada 2023, dan proyek-proyek baru seperti milik Woodside menjadi tumpuan untuk mempertahankan dominasi itu.
Untuk Woodside, kolaborasi dengan Aramco bukan hanya soal pembagian biaya investasi, tetapi juga soal membuka akses pasar. Aramco memiliki jaringan distribusi energi yang luas di Asia, Afrika, dan Timur Tengah. Jika Aramco menjadi pemegang saham proyek Riverview, maka LNG dari Louisiana bisa lebih mudah masuk ke pasar-pasar seperti India, Pakistan, atau bahkan Afrika Utara yang selama ini menjadi wilayah pengaruh Saudi.
Selain itu, keterlibatan Aramco juga memperkuat daya tahan proyek terhadap volatilitas harga global. Dalam laporan CNBC, analis energi menyebut bahwa mitra sekelas Aramco dapat memberikan offtake agreement jangka panjang yang menjamin pembeli tetap untuk LNG yang dihasilkan. Hal ini sangat penting mengingat beberapa proyek LNG global saat ini terancam batal karena tidak mendapat komitmen jangka panjang dari pembeli.
Namun demikian, langkah ini tidak tanpa risiko. Keterlibatan perusahaan negara dari Timur Tengah dalam proyek infrastruktur energi Amerika bisa memicu reaksi politik di Washington. Nikkei Asia menyebutkan bahwa beberapa anggota parlemen AS kemungkinan akan mengkaji apakah investasi asing dalam infrastruktur energi strategis dapat menimbulkan risiko keamanan nasional. Terutama karena Aramco dimiliki penuh oleh negara Saudi, yang hubungannya dengan AS kerap naik turun.
Woodside tampaknya menyadari sensitivitas ini. Dalam pernyataan yang dikutip Australian Financial Review, perusahaan menegaskan bahwa belum ada kepastian bentuk investasi Aramco dan seluruh proses akan melalui uji tuntas (due diligence) serta evaluasi regulator. CEO Meg O’Neill juga menegaskan bahwa proyek Riverview akan tetap dikendalikan oleh pihak yang berkomitmen terhadap standar lingkungan dan kepatuhan hukum AS.
Sementara itu, Aramco belum memberikan pernyataan resmi tentang nilai atau bentuk keterlibatan mereka. Namun, dalam wawancara dengan Energy Intelligence, eksekutif senior Aramco menyebutkan bahwa pihaknya sedang “secara aktif menilai semua peluang strategis di sektor LNG” dan “terbuka untuk kemitraan lintas batas yang menciptakan nilai jangka panjang.”
Pergeseran ini juga sejalan dengan upaya Aramco untuk membangun portofolio gas alam yang dapat mendukung ambisi hidrogen biru — yaitu hidrogen yang dihasilkan dari gas alam dengan teknologi penangkapan karbon. Dalam laporan The Economist, disebutkan bahwa Arab Saudi memiliki rencana ambisius untuk menjadi eksportir hidrogen terbesar dunia pada 2040, dan gas alam menjadi komponen penting dalam transisi itu.
Jika proyek ini berjalan sesuai rencana dan Aramco terlibat secara resmi, maka ini akan menjadi preseden penting. Kolaborasi antara perusahaan energi Barat dan negara Timur Tengah dalam proyek LNG AS akan mempererat hubungan lintas geopolitik, bahkan di tengah ketegangan yang terus berubah antara Washington, Riyadh, dan Beijing.
Dari sisi industri, langkah ini bisa memicu efek domino. Perusahaan energi besar lain seperti QatarEnergy, ADNOC (Abu Dhabi National Oil Company), atau bahkan Gazprom mungkin akan mencari proyek serupa untuk diversifikasi portofolio dan memperluas jangkauan pasar mereka. Menurut S&P Global, kompetisi antarnegara eksportir LNG akan semakin ketat dalam dekade mendatang, dan memiliki proyek berbasis di AS menjadi salah satu strategi unggulan.
Di dalam negeri, keterlibatan Woodside di Louisiana juga mencerminkan tren globalisasi energi yang melintasi batas negara. Perusahaan Australia ini sebelumnya lebih dikenal karena proyek gas di Western Australia dan Papua Nugini. Namun, dengan mengincar pasar Amerika, Woodside ingin memperkuat daya saingnya di panggung energi global.
Amerika Serikat sendiri mendukung ekspansi LNG sebagai bagian dari kebijakan energi nasional. Dalam pernyataan yang dikutip Politico, Departemen Energi AS menyebutkan bahwa ekspor LNG membantu memperkuat aliansi energi dengan Eropa dan Asia serta mendukung transisi dari batu bara ke gas yang lebih bersih. Meski ada kekhawatiran terhadap emisi metana, pemerintah tetap memberikan lampu hijau untuk proyek-proyek strategis seperti Riverview.
Secara finansial, Woodside dan Aramco memiliki modal kuat untuk membiayai proyek ini. Moody’s memperkirakan bahwa pendapatan gabungan kedua perusahaan dari sektor minyak dan gas melebihi 300 miliar dolar AS pada 2024, menjadikannya kolaborasi dengan kekuatan keuangan dan operasional yang sangat besar.
Dalam jangka panjang, kerja sama semacam ini akan menjadi fondasi baru bagi pasar LNG yang lebih terkoneksi dan terdiversifikasi. Ketika ketidakpastian geopolitik terus meningkat, strategi yang mengandalkan kerja sama antarperusahaan dari berbagai blok ekonomi menjadi lebih relevan daripada sebelumnya.
Jika Aramco benar-benar masuk, maka proyek LNG Louisiana ini tidak hanya akan menjadi proyek infrastruktur energi, tetapi juga simbol diplomasi energi lintas benua — mempertemukan teknologi AS, modal Saudi, dan visi strategis Australia dalam satu inisiatif global yang kompleks dan berpengaruh.