(Business Lounge Journal – Medicine)
Manusia memiliki kemampuan untuk mengatur dan memengaruhi isi pikiran mereka. Tanpa disadari manusia berpikir dan berpikir dan pikiran tersebut tidak berhenti dalam hidup manuisa.
Manusia telah mempelajari pikiran dan proses berpikir sejak waktu kuno, dengan karya-karya filosofi yang mengupas tentang logika dan metode pemikiran kritis oleh tokoh seperti Sokrates dan Aristoteles. Di abad ke-20, dengan kemajuan psikologi, penelitian tentang kognisi, emosi, dan perilaku semakin berkembang pesat. Banyak penelitian empiris dilakukan tentang efektivitas terapi kognitif dan teknik pemikiran kritis dalam mengatasi masalah psikologis dan emosional.
Berikut ini adalah tiga hal yang sering tidak disadari namun dilakukan manusia dalam hidupnya sehari-hari untuk mengatur pikirannya.
- Pemikiran Kritis
Pemikiran kritis adalah proses mental yang melibatkan analisis dan evaluasi informasi untuk membuat keputusan yang logis. Konsep ini telah dipelajari sejak zaman kuno, tetapi menjadi lebih terstruktur dalam konteks pendidikan di abad ke-20.
Salah satu sumber penting tentang pemikiran kritis adalah buku “Critical Thinking” oleh Richard Paul dan Linda Elder, yang diterbitkan pada tahun 2006. Karya ini membahas elemen-elemen pemikiran kritis secara mendalam.
Contohnya adalah di dalam dunia pendidikan, pengembangan kurikulum yang menekankan pemikiran kritis dilakukan di banyak institusi, di mana siswa diajarkan untuk secara aktif mengevaluasi argumen dan informasi sebelum menerima atau menolak sebuah klaim.
- Reframing
Reframing adalah teknik psikologis yang digunakan untuk melihat situasi dari sudut pandang yang berbeda, yang dapat membantu mengubah respons emosional terhadap situasi tersebut. Konsep ini sering dipakai dalam terapi kognitif dan teknik manajemen stres.
Salah satu peneliti terkemuka dalam bidang ini adalah Albert Ellis, yang mengembangkan Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) pada 1950-an. Ellis menekankan pentingnya mengubah cara berpikir untuk memengaruhi emosi dan perilaku.
Adalah lebih baik melihat pengalaman negatif sebagai peluang belajar, daripada sebagai kegagalan yang menyedihkan, untuk mengurangi perasaan cemas atau depresi.
- Kognitif Distorsi
Aaron T. Beck, yang dikenal sebagai bapak terapi kognitif, memperkenalkan konsep ini dalam bukunya “Cognitive Therapy and the Emotional Disorders” yang diterbitkan pada tahun 1976. Buku ini memberikan panduan untuk mengidentifikasi dan mengganti pikiran negatif.
Kognitif distorsi adalah pola pemikiran negatif yang membuat seseorang melihat situasi dengan cara yang tidak akurat atau menyimpang.
Seseorang yang berpikir “Saya selalu gagal” mengalami kognitif distorsi disebut “berpikir semua atau tidak ada.” Individu yang mengalami hal ini dapat mengganti pikiran tersebut dengan perspektif yang lebih seimbang, seperti “Saya mengalami beberapa kegagalan, tetapi juga banyak keberhasilan dan saya belajar dari kegagalan”.
Jadi ketiga konsep di atas seringkali dilakukan manusia secara otomatis, tanpa perlu teori ini dan itu. Ketiga konsep ini akan selalu berjalan bersama-sama. pemikiran kritis, reframing, dan kognitif distorsinya—merupakan elemen penting kehidupan sehari-sehari, terlebih dalam kehidupan seorang pemimpin.