united airlines

United Airlines Lampaui Ekspektasi di Tengah Kekhawatiran Resesi

(Business Lounge – Global News) United Airlines berhasil mencatatkan kinerja keuangan yang melampaui ekspektasi Wall Street pada kuartal pertama tahun ini, meskipun kekhawatiran terhadap potensi perlambatan ekonomi dan penurunan permintaan perjalanan membayangi industri penerbangan global. Dalam laporan keuangan yang dikutip oleh The Wall Street Journal, maskapai ini membukukan pendapatan dan laba yang lebih tinggi dari perkiraan analis, sembari menawarkan dua skenario proyeksi laba untuk sisa tahun 2025—tergantung pada apakah ekonomi AS memasuki resesi atau tidak.

Pendekatan ganda dalam panduan laba ini mencerminkan ketidakpastian makroekonomi yang signifikan, termasuk dampak dari kebijakan suku bunga tinggi The Fed, potensi ketegangan geopolitik, dan pergeseran pola belanja konsumen. Dalam skenario optimis, United memperkirakan laba tahunan akan mencapai lebih dari $10 per saham. Namun dalam skenario yang memperhitungkan resesi ringan, laba bisa turun hingga sekitar $7 per saham, menurut laporan Bloomberg.

Meski begitu, hasil kuartal pertama tetap menunjukkan kekuatan operasional yang solid. Pendapatan melonjak 10% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, didorong oleh pertumbuhan rute internasional dan permintaan yang kuat dari kalangan bisnis dan pelancong internasional. United juga melaporkan faktor muatan penumpang (load factor) sebesar 83%, yang menunjukkan efisiensi tinggi dalam mengisi kursi pesawat.

CEO Scott Kirby menegaskan bahwa United saat ini berada dalam posisi yang lebih baik untuk menghadapi siklus ekonomi yang tidak menentu. Dalam konferensi pers yang dikutip oleh CNBC, Kirby mengatakan bahwa perusahaan telah mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan efisiensi operasional, memperluas rute internasional yang menguntungkan, serta memperkuat manajemen biaya bahan bakar dan tenaga kerja.

Salah satu pendorong utama kinerja United adalah ekspansi besar-besaran pada rute trans-Atlantik dan Pasifik. Permintaan untuk penerbangan ke Asia dan Eropa meningkat tajam karena pemulihan pasca-pandemi dan pembukaan kembali beberapa destinasi utama. Dalam wawancara dengan Reuters, Chief Commercial Officer Andrew Nocella menyebut bahwa kapasitas ke Asia tumbuh lebih dari 30% dibandingkan tahun lalu, sementara rute ke Eropa mencatat tingkat okupansi yang “luar biasa tinggi” menjelang musim panas.

Namun, tekanan biaya tetap menjadi tantangan. Harga bahan bakar avtur tetap tinggi, dan biaya tenaga kerja melonjak setelah United menandatangani kesepakatan baru dengan serikat pekerja pilot pada akhir 2024. Kesepakatan ini mencakup peningkatan gaji tahunan sebesar 14% hingga 2027. Meski ini memberikan stabilitas hubungan industrial, hal ini juga menambah tekanan pada margin operasional maskapai.

Untuk mengatasi potensi tekanan ekonomi, United juga mengadopsi pendekatan perencanaan skenario yang lebih fleksibel. Dalam diskusi dengan analis keuangan, CFO Michael Leskinen menjelaskan bahwa perusahaan kini mempersiapkan anggaran dengan asumsi variabel ekonomi yang luas, termasuk fluktuasi harga minyak, nilai tukar dolar, dan tren belanja konsumen. Strategi ini disebut sebagai “dynamic resilience planning” yang memungkinkan maskapai dengan cepat menyesuaikan kapasitas dan alokasi aset sesuai dengan realitas pasar.

Sementara itu, industri penerbangan AS secara keseluruhan menunjukkan tanda-tanda campuran. Data dari Transportation Security Administration menunjukkan jumlah penumpang domestik masih stabil, tetapi pertumbuhan mulai melambat dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Beberapa maskapai, seperti JetBlue dan Spirit, telah memperingatkan potensi tekanan laba karena harga tiket mulai melemah di pasar domestik.

United tampaknya mengambil pelajaran dari dinamika ini. Fokus mereka beralih ke pasar internasional premium, di mana margin lebih besar dan persaingan lebih terbatas. Mereka juga terus berinvestasi dalam modernisasi armada, termasuk pesanan besar untuk pesawat Boeing 787 dan Airbus A321XLR yang lebih efisien bahan bakar dan ideal untuk rute jarak jauh.

Namun, tidak semua analis optimistis. Dalam catatan riset yang dikutip oleh Financial Times, beberapa firma investasi memperingatkan bahwa permintaan perjalanan dapat cepat berubah bila konsumen mulai menahan pengeluaran akibat tekanan inflasi dan kenaikan utang rumah tangga. Selain itu, gangguan geopolitik seperti konflik di Timur Tengah atau ketegangan di Laut China Selatan dapat mengganggu rute internasional yang saat ini menjadi andalan pertumbuhan United.

Investor merespons laporan ini dengan antusias, setidaknya dalam jangka pendek. Saham United melonjak lebih dari 5% setelah pengumuman kinerja, mencerminkan kepercayaan pasar terhadap pendekatan manajemen yang fleksibel dan hasil keuangan yang solid. Namun, pergerakan saham selanjutnya kemungkinan besar akan dipengaruhi oleh data makroekonomi mendatang, termasuk pertumbuhan PDB AS kuartal kedua dan keputusan suku bunga The Fed berikutnya.

Dengan menyajikan dua skenario laba yang transparan, United mencoba menyeimbangkan ekspektasi pasar dan realitas ekonomi yang penuh ketidakpastian. Strategi ini sekaligus mencerminkan pergeseran paradigma dalam industri penerbangan pasca-pandemi—di mana fleksibilitas, diversifikasi rute, dan efisiensi menjadi kunci ketahanan jangka panjang.