Budaya Kerja dan Etika dalam Kewirausahaan

(Business Lounge Journal – Human Resources)

Pengusaha sukses akan memahami bahwa lingkungan kerja saat ini sangat berbeda dibandingkan dua dekade lalu. Pengusaha progresif pun akan berusaha menciptakan budaya kerja yang berorientasi pada keunggulan etika. Untuk mewujudkannya, mereka harus memahami perubahan tenaga kerja, baik dari segi demografi maupun nilai-nilai yang dianut. Generasi milenial (lahir antara 1983 dan 1995) kini mendominasi dunia kerja dan diperkirakan akan mencakup tiga perempat tenaga kerja global pada 2025.

Para pengusaha dan manajer yang mempekerjakan generasi milenial harus menyesuaikan diri dengan harapan dan tuntutan mereka, terutama terkait tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dan etika. Sebuah artikel di New York Times menyebutkan bahwa milenial menginginkan pekerjaan yang selaras dengan nilai-nilai mereka. Bahkan, sekitar 60 persen milenial bersedia menerima gaji 15 persen lebih rendah untuk bekerja di perusahaan yang memiliki nilai-nilai yang sejalan dengan mereka. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak sekadar mencari pekerjaan, tetapi juga pekerjaan yang bermakna dan memberi dampak positif.

Milenial juga menginginkan kebijakan kerja yang mendorong komunikasi terbuka, kolaborasi, serta keterlibatan dalam pengambilan keputusan jangka pendek dan panjang. Mereka juga mengutamakan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Oleh karena itu, pengusaha harus beradaptasi dengan menciptakan lingkungan kerja yang menempatkan kesejahteraan karyawan sejajar dengan keuntungan perusahaan, memberikan fleksibilitas, serta mengapresiasi kinerja mereka.

Budaya Kewirausahaan

Banyak startup sukses memiliki pendiri yang karismatik, ambisius, dan kompetitif. Namun, seiring pertumbuhan perusahaan, gaya kepemimpinan yang lebih humanis sering kali dibutuhkan. Beberapa pemimpin startup mungkin terlalu menuntut dan kurang memberi penghargaan kepada karyawan yang telah berdedikasi. Jika lingkungan kerja terlalu keras, karyawan baru mungkin merasa tidak nyaman dan memilih keluar.

Salah satu pertanyaan yang harus diajukan pengusaha etis adalah: Apakah karyawan merasa bebas untuk berbicara? Banyak karyawan ragu untuk mengisi survei kepuasan kerja karena khawatir identitas mereka diketahui. Perbedaan antara manajemen yang etis dan tidak etis terletak pada bagaimana mereka merespons umpan balik ini. Perusahaan yang sehat harus mendorong karyawan untuk menyuarakan pendapat mereka, baik secara anonim maupun langsung kepada atasan.

Budaya kewirausahaan sering kali terbentuk dari prinsip dan filosofi pendirinya. Jika nilai-nilai seperti kejujuran dan penghormatan terhadap pelanggan sudah ditanamkan sejak awal, maka nilai-nilai ini bisa bertahan lama. Namun, seiring bertambahnya jumlah karyawan, tantangannya adalah memastikan bahwa nilai-nilai ini tetap dijaga oleh generasi kepemimpinan berikutnya.

Membangun Budaya Etika yang Berkelanjutan

Untuk memastikan bahwa prinsip etika tetap menjadi bagian dari budaya kerja, diperlukan perencanaan yang matang. Ini tidak cukup hanya dengan merekrut orang yang tepat atau menerapkan slogan tentang kepercayaan dan integritas. Diperlukan strategi yang nyata, seperti pelatihan karyawan serta program penghargaan dan pengakuan atas perilaku etis.

Pendekatan reaktif, yaitu menindak pelanggaran etika setelah terjadi, memang penting, tetapi tidak selalu efektif. Sebaliknya, pendekatan proaktif lebih baik karena menanamkan budaya etika sejak awal. Dengan cara ini, setiap anggota organisasi memiliki kompas moral yang kuat, yang akan menjadi dasar dalam pengambilan keputusan sehari-hari. Jika diterapkan dengan baik, budaya etika yang kokoh dapat menjadi keunggulan kompetitif yang berkelanjutan bagi perusahaan.

Membangun Fondasi dan Kerangka Organisasi yang Bertanggung Jawab Secara Etis

Seorang wirausahawan harus membangun fondasi untuk mengembangkan organisasi yang berlandaskan etika dan tanggung jawab. Fondasi ini memungkinkan wirausahawan untuk memberikan nilai terbaik bagi masyarakat secara sistematis dan bertanggung jawab. Selain itu, bagi wirausahawan yang memodifikasi bisnis mereka atau mengambil alih usaha baru, membangun fondasi perilaku etis seharusnya tidak mengganggu operasi bisnis normal atau menambah beban yang signifikan, karena konsep utama sudah terintegrasi dalam struktur organisasi.

Untuk mengembangkan fondasi etika dan kerangka kerja manajemen organisasi, seorang wirausahawan perlu memasukkan tiga kualitas etika utama—kepercayaan, keadilan, dan keunggulan—ke dalam nilai inti organisasi. Kualitas etika tambahan, tergantung pada tujuan spesifik perusahaan, bisa mencakup tanggung jawab, komitmen, dan kepedulian. Wirausahawan harus menginternalisasi kualitas-kualitas ini dalam semua aspek tata kelola dan operasional harian organisasi serta melacak penerapannya guna memastikan nilai-nilai tersebut benar-benar diintegrasikan dan diterapkan di setiap unit bisnis.

Selanjutnya, organisasi harus mempertimbangkan prinsip etika apa yang ingin diprioritaskan. Contoh prinsip etika meliputi:

  • Pelayanan dan kemajuan masyarakat
  • Keunggulan kolaboratif
  • Kesetaraan gender
  • Penghapusan prasangka

Setelah kerangka kerja dan fondasi organisasi yang etis dan berkinerja tinggi terbentuk, kualitas dan prinsip lain dapat dengan mudah diintegrasikan untuk memperkuat kerangka tersebut, membedakan organisasi, dan mengembangkan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Hal ini juga memungkinkan kepemimpinan untuk menyelaraskan aspek lain dari tata kelola organisasi dengan etika dan tanggung jawab. Misalnya, jika kepemimpinan ingin memanfaatkan keberagaman sebagai keunggulan kompetitif, mereka akan mengadopsi prinsip kesetaraan gender, penghapusan prasangka, dan kesatuan kemanusiaan. Jika kepemimpinan ingin mengembangkan kerja tim dan kolaborasi sebagai strategi keunggulan kompetitif, mereka akan mengintegrasikan prinsip keunggulan kolaboratif dan kerja sama.

Kerangka kerja dan fondasi etika serta tanggung jawab memungkinkan wirausahawan untuk secara konsisten mengelola kualitas dan prinsip yang dibutuhkan untuk sukses dalam semua aspek operasional harian, seperti penelitian dan pengembangan, rekayasa, produksi, penjualan, pemasaran, perencanaan, pengambilan keputusan, pemecahan masalah, serta manajemen konflik. Pemimpin di setiap bidang fungsional dapat menjadi panutan, meningkatkan kesadaran, dan mendorong individu untuk menginternalisasi pola pikir etis dengan mengajukan pertanyaan seperti:

  • Apakah keputusan saya benar atau salah?
  • Apakah saya berurusan dengan informasi faktual atau hanya dugaan?
  • Apa konsekuensi dari tindakan saya?
  • Apakah keputusan saya adil dan setara?
  • Apakah saya memperlakukan orang lain sebagaimana saya ingin diperlakukan?
  • Apakah tindakan ini membantu saya mencapai hasil terbaik bagi semua pihak?

Pola pikir ini, serta keselarasan antara etika individu dan organisasi, sering kali kurang diterapkan, yang menyebabkan penyimpangan etika. Dengan membangun fondasi yang kuat, setiap anggota organisasi dapat mengembangkan penilaian moral yang baik, membentuk kapasitas etika, dan menginternalisasi kompas moral. Selain itu, mereka akan lebih selaras dengan tujuan besar, visi, misi, dan nilai perusahaan, yang kemudian diterjemahkan ke dalam tindakan nyata.

Mengembangkan Tujuan yang Lebih Besar

Setelah wirausahawan merancang organisasi untuk mencapai keunggulan kompetitif secara bertanggung jawab, mereka perlu mengembangkan visi yang lebih tinggi atau tujuan besar bagi organisasi. Tujuan besar ini berbeda dari misi atau visi (meskipun bisa saling terkait). Ini bukan tentang keuntungan finansial, bukan berpusat pada produk atau layanan, dan bukan didorong oleh kepentingan pemegang saham. Sebaliknya, tujuan besar menentukan alasan jangka panjang keberadaan dan kesuksesan perusahaan, memberikan panduan dalam pengambilan keputusan, menyelesaikan masalah dan konflik, serta memotivasi individu untuk mencapai keunggulan dan menciptakan perubahan sosial yang mendesak.

Misalnya, integrasi tujuan besar yang tepat dalam operasi organisasi dapat mencegah pembuatan mainan dengan cat berbasis timbal atau pencemaran sumber air, seperti yang terjadi di Flint, Michigan. Tujuan besar memberikan mekanisme bagi individu untuk menyelaraskan aktivitas harian mereka dengan target yang lebih bermakna dan stabil.

Membangun Budaya Keunggulan Kolaboratif

Pembentukan kerangka dan fondasi perilaku etis membuka peluang bagi organisasi untuk menciptakan kerja tim dan kolaborasi yang efektif. Banyak pendekatan kolaborasi yang ada memang menunjukkan keberhasilan dan manfaat, tetapi sering kali kurang mampu menangani interaksi kelompok yang kompleks, seperti ketidakpercayaan, persaingan, politik, dan perbedaan ideologi.

Budaya kolaborasi yang sukses harus mampu meyakinkan individu untuk menemukan ide terbaik, memanfaatkan keberagaman, mengembangkan solusi baru, mendapatkan dukungan penuh, menciptakan agen perubahan, membangun lingkungan yang aman, serta mendorong semua orang untuk mengekspresikan ide mereka.

Proses membangun kolaborasi yang efektif memang membutuhkan waktu, tetapi akan memberikan inspirasi dan motivasi yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas dan melampaui ekspektasi. Organisasi juga harus memiliki konsekuensi bagi kolaborasi yang tidak efektif, seperti gosip, saling menjatuhkan, perilaku egois, serta bias atau prasangka. Konsekuensi ini bisa berupa rencana perbaikan atau pertemuan pribadi untuk mencari akar masalah dan solusi yang tepat.

Kreativitas juga merupakan faktor utama dalam berpikir secara berbeda. Harus ada kebebasan di tempat kerja agar kreativitas dapat berkembang. Saat mengembangkan budaya kreativitas, wirausahawan perlu mempertimbangkan beberapa pertanyaan berikut:

  • Bagaimana kita bisa menciptakan budaya kreativitas dan inovasi?
  • Bagaimana kita bisa mendorong anggota organisasi untuk berkolaborasi dan memanfaatkan kreativitas satu sama lain?
  • Bagaimana kita bisa memberikan penghargaan dan pengakuan bagi individu yang berkontribusi dengan ide kreatif?

Pengembangan Sumber Daya Manusia

Rencana pengembangan sumber daya manusia memungkinkan perusahaan untuk terus menumbuhkan aset intelektualnya, membangun kapasitas etika individu, memperkuat kreativitas dan inovasi organisasi, serta menyediakan aliran kepemimpinan yang siap pakai. Hal ini dicapai dengan memberikan proses asesmen bagi karyawan baru, di mana setiap individu diberikan peluang dan diharapkan bekerja sama dengan atasan mereka untuk mengelola rencana pengembangan pribadi (LDP).

Setidaknya, LDP harus mencakup:

  • Tujuan dan sasaran karier jangka pendek dan panjang
  • Identifikasi, pengembangan, dan pemanfaatan kekuatan individu secara berkelanjutan
  • Identifikasi dan perbaikan kesenjangan dalam kinerja, perilaku, dan pengembangan profesional
  • Kejelasan tentang hasil utama dan indikator keberhasilan

Singkatnya, LDP menjadi alat utama bagi individu untuk mencapai keunggulan dengan meningkatkan kinerja, menutup kesenjangan dalam asesmen, dan menyelaraskan diri dengan tujuan besar, visi, misi, serta kebutuhan dan sasaran organisasi.