(Business Lounge Journal – Human Resources)
Ernst & Young baru saja merilis The EY 2023 Work Reimagined Survey yang mengungkapkan bahwa pengusaha dan pekerja kini memiliki perspektif yang sangat berbeda mengenai apa yang disebut kondisi kerja “normal” selanjutnya.
Ada tiga pertanyaan yang diajukan:
- Bagaimana perusahaan dapat menginspirasi kembali tenaga kerjanya setelah bertahun-tahun mengalami gangguan?
- Bagaimana teknologi generatif dapat menambah nilai pengalaman kerja manusia?
- Bagaimana para pemimpin dapat lebih menghubungkan “bagaimana” dan “di mana” pekerjaan, dengan “mengapa” pekerjaan?
Disrupsi yang terjadi selama bertahun-tahun telah membuat baik pengusaha maupun para pekerja memiliki perbedaan dalam hal prioritas, tekanan, dan prospek.
Dalam edisinya yang keempat ini, the EY 2023 Work Reimagined Survey mengungkapkan gambaran umum mengenai apa yang disebut dengan pekerjaan “normal” selanjutnya. Yaitu, apa yang menjadi penyeimbang dalam realitas ketenagakerjaan dan faktor-faktor apa saja yang berkontribusi paling besar terhadap hasil kerja yang lebih baik.
Perusahaan tidak lagi semata-mata didorong oleh dampak pandemi COVID-19 yang masih ada. Namun sekarang ini pengusaha melihat tantangan mereka melalui kacamata siklus tekanan ekonomi, ketenagakerjaan, dan geopolitik, yang mengharuskan strategi ketenagakerjaan untuk lebih bergerak melampaui fungsi bisnis apa pun. Pekerjaan hibrid telah berkembang sehingga memerlukan pertimbangan yang lebih bijaksana mengenai bagaimana teknologi, ruang kantor, dan fasilitasnya memengaruhi produktivitas, budaya, dan kepercayaan, namun juga mempertimbangkan risiko yang terkait dengan tenaga kerja yang lebih mobile.
Sementara itu, para pekerja sebagian besar mengikuti realitas struktural ketenagakerjaan, yaitu: bagaimana mereka akan mempertahankan kekuasaan yang mereka rasakan di pasar tenaga kerja, dan mereka juga bersedia berganti pekerjaan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Banyak karyawan didorong oleh kebutuhan akan paket imbalan total yang lebih baik di tengah tingginya inflasi dan biaya hidup, oleh keinginan mereka untuk kesejahteraan yang lebih baik, dan oleh kebutuhan untuk memiliki keterampilan agar berhasil dalam dunia kerja yang fleksibel.
Survei menunjukkan:
- Tiga puluh empat persen pekerja mengatakan bahwa mereka bersedia berganti pekerjaan dalam 12 bulan ke depan. Sedangkan pemberi kerja lebih cenderung berpikir bahwa tantangan ekonomi akan mengurangi kemungkinan pergantian pekerja dibandingkan pekerja. Gaji tetap menjadi perhatian utama karyawan, dengan tetap fokus pada program penghargaan total yang komprehensif.
- Pengusaha dan pekerja percaya bahwa keseimbangan kekuasaan telah sedikit bergeser ke arah pengusaha pada tahun lalu, meskipun pekerja telah memperoleh 8% dalam persepsi kekuasaan sejak tahun 2019.
- Menumbuhkan kepercayaan dan memiliki model kepemimpinan yang berpusat pada manusia berkaitan dengan hasil organisasi yang jauh lebih baik, termasuk persepsi terhadap budaya dan produktivitas yang lebih baik.
- Pengembangan keterampilan dan pelatihan merupakan prioritas utama bagi pengusaha yang ingin meningkatkan dan mengembangkan keterampilan tenaga kerja mereka serta bagi karyawan yang ingin tetap kompetitif di pasar tenaga kerja yang masih kuat.
- Baik karyawan maupun pemberi kerja menunjukkan antusiasme terhadap AI Generatif (GenAI), dengan 33% responden mengharapkan manfaat terhadap produktivitas dan cara kerja baru, dan 44% responden positif mengharapkan dampak pada kerja fleksibel. Namun kedua kelompok memandang pelatihan GenAI sebagai prioritas rendah.
- Di antara pekerja berpengetahuan yang pekerjaannya biasanya didasarkan pada penggunaan analisis atau keahlian di lingkungan kantor profesional, lebih dari sepertiganya lebih memilih untuk bekerja jarak jauh, dengan preferensi yang lebih kuat terlihat pada perempuan dibandingkan laki-laki. Hanya seperlima perusahaan yang lebih memilih bekerja jarak jauh, dengan mayoritas menginginkan karyawannya bekerja setidaknya dua atau tiga hari seminggu di kantor.
- Real estate komersial dengan kualitas yang lebih baik tidak cukup untuk menarik karyawan kembali bekerja di kantor, namun organisasi dengan tingkat tempat kerja yang lebih tinggi juga cenderung melaporkan produktivitas, budaya, dan penurunan kemungkinan karyawan untuk berhenti bekerja.
Tekanan siklus dan struktural telah mengungkapkan perbedaan yang mencolok dan terus-menerus antara prioritas pemberi kerja dan pekerja. Menavigasi masa depan akan bergantung pada para pemimpin yang melihat Great Rebalancing ini sebagai peluang untuk menghidupkan kembali strategi tenaga kerja mereka agar menjadi lebih maju secara teknologi namun pada dasarnya berpusat pada manusia, tangkas dan tangguh.
Bagaimana di Indonesia?
EY Asean Workforce Advisory Leader, Samir Bedi mengatakan bahwa perusahaan perlu mempertahankan karyawan berbakat dengan bekerja bersama menciptakan masa depan organisasi yang memprioritaskan kesejahteraan karyawan dan pada akhirnya membangun kepercayaan dan meningkatkan retensi karyawan.
Dalam riset ini juga ditemukan bahwa apa yang menjadi kekhawatiran terbesar bagi karyawan di Indonesia adalah terkait dengan nominal gaji. Hal berikutnya yang juga membawa kekuatiran adalah pengaturan kerja yang adil dengan jadwal kerja dan lokasi yang tetap, juga fleksibilitas tempat kerja.
Lusi Lubis selaku EY Indonesia Consulting Partner juga menyampaikan beberapa cara yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk menyeimbangkan kebutuhan bisnis dan employee engagement, yaitu:
- berkomunikasi secara transparan mengenai nominal kompensasi dan remunerasi,
- memastikan karyawan menerima haknya secara adil dan kompetitif, serta
- menerapkan kebijakan pemberian benefit non-moneter, seperti fleksibilitas kerja, work-life balance, dan program penghargaan.
Hal menarik lainnya yang juga diidentifikasi dari riset ini adalah:
- Hanya 17 persen karyawan di Indonesia yang bersedia bekerja di kantor.
- Sejumlah 45 persen karyawan di Indonesia memilih bekerja dari mana saja atau fully remote.
- Perusahaan dan karyawan di Indonesia sama-sama antusias untuk menggunakan kecerdasan buatan (AI) generatif. Sejumlah 44 persen karyawan mengaku sudah menggunakan AI generatif, dan 61 persen perusahaan yakin AI generatif bisa meningkatkan produktivitas bisnis.
Riset ini melibatkan 17.050 karyawan dan 1.575 perusahaan di 22 negara dan 25 sektor industri secara global. Jumlah tersebut mencakup 250 karyawan dan 50 perusahaan di Indonesia.
Photo by Corinne Kutz