* Kondisi awan mendung sebelum turun hujan.
(Business Lounge – Ideas) PERUBAHAN iklim di Indonesia ikut memengaruhi perubahan cuaca. Apabila musim kemarau, banyak wilayah di Indonesia kekeringan. Bahkan kekeringan ekstrem menjadi penyebab munculnya titik api di hutan-hutan yang memicu kebakaran hutan. Sedangkan pada musim hujan yang dipengaruhi cuaca ekstrem bisa mengakibatkan banjir dan tanah longsor.
Namun dengan teknologi modifikasi hujan buatan, musim kemarau dan musim penghujan bisa dikendalikan dengan baik. Bila hujan tidak menimbulkan banjir, dan bila kemarau tidak terjadi kekeringan. Dalam rangka ikut serta mencegah banjir dan kekeringan, UPT Hujan Buatan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) fokus pada teknologi modifikasi cuaca hujan buatan.
Kepala UPT Hujan Buatan BPPT Drs. F Heru Widodo MSi menjelaskan merekayasa cuaca dengan teknologi sangat membantu agar tidak menimbulkan bencana. Teknologi hujan buatan ini menjatuhkan awan berpotensi hujan sebelum sampai ke daerah rawan banjir. Seperti halnya saat menangani banjir di Kota Jakarta, awan berpotensi hujan turun di laut sebelum masuk ke Kota Jakarta. Kelihatannya memang mudah, namun dalam praktiknya dibutuhkan kejelian. Banyak tim yang harus terlibat untuk melakukan rekayasa hujan buatan ini. Heru memaparkan untuk memulai merekayasa awan, tim UPT Hujan Buatan membagi tugas dari pengumpulan awan, pembuatan tepung garam, hingga penyemaian.
Untuk memandulkan awan kumulonimbus ini, dengan penyemaian garam yang sudah dihaluskan mirip tepung, dengan ukuran sekitar 5 mikron. Garam (NaCl) ini merupakan material hidrofolik yang memiliki sifat mengumpulkan air. Mengapa garam harus dihaluskan menjadi butiran berukuran 5 mikron? “Supaya bisa lebih cepat meluruhkan awan,” kata Heru. Garam dapur ini kemudian dicampur bahan kimia yang sifatnya antigumpal sekitar 0,5%-3%, kemudian dibungkus dengan plastik kedap udara. Untuk setiap satu kantong plastik kedap udara ini berisi 10 kg tepung garam. Untuk mengusir awan berpotensi hujan, diperlukan garam dalam jumlah cukup banyak. BPPT menggunakan pesawat Hercules milik TNI Angkatan Udara untuk mengangkut tepung garam tersebut. Satu Hercules mampu membawa 4 ton tepung garam.
Untuk mengetahui pergerakan awan-awan kumulonimbus, maka diperlukan jasa radar cuaca untuk memantaunya. Dari hasil laporan radar cuaca tentang keberadaan awan-awan berpotensi hujan ini, maka pesawat yang membawa tepung garam ini akan bergerak menuju sasaran. Saat mencapai ke dasar awan berbentuk seperti kembang kol ini, pesawat terbang akan menuju pucuk awan hujan untuk menabur garam. Ketinggian pucuk awan bisa mencapai 3,5 km dari dasar awan. Seluruh tepung garam disemai di pucuk awan tersebut. Tidak lama kemudian, awan besar yang menggumpal itu terpecah-pecah dan terbawa angin ke segala penjuru. Maka saat hujan turun pun, intensitasnya tidaklah besar karena awan telah terpecah atau sama sekali tidak turun hujan. Riset hujan buatan tersebut sudah dimulai sejak 1998 saat terjadi kebakaran hutan di Kalimantan. Dari situlah tim BPPT mulai bereksperimen dengan mengukur isi butiran-butiran awan yang halus, yang menjadi inti modifikasi cuaca untuk pengalihan hujan. Tingkat keberhasilannya telah dibuktikan saat mengendalikan hujan di Jakarta yang berdampak banjir besar. Pada SEA Games 2011 di Palembang, BPPT pun ikut membantu mencegah turun hujan saat pelaksaan pesta akbar olah raga se Asia Tenggara. Teknologi modifikasi cuaca hujan buatan ini juga dipergunakan pada saat terjadi kebakaran hutan di Riau dan beberapa wilayah lainnya. Caranya dengan mencari awan-awan yang kemudian diberi bibit agar cepat turun hujan. Bibitnya berupa penyemaian garam di awan agar segera menjadi hujan, dan membantu memadamkan kebakaran hutan.
Selain penyemaian garam di awan, teknologi lainnya ialah penyemaian awan berbasis kembang api (flare). UPT Hujan Buatan telah melakukan riset tersebut sejak 1999. Flare merupakan teknologi mempercepat turunnya hujan dalam hitungan menit. Cara kerjanya tabung-tabung kembang api ini diisi dengan bahan-bahan yang gampang menarik uap air seperti garam. Satu tabung kembang api setara dengan satu ton garam. Tabung-tabung ini dipasang di sisi pesawat, dan siap diluncurkan ke target. Bahan higroskopis tersebut dicampur dengan bahan kimia khusus yang mampu menciptakan reaksi eksotermal. Dari hasil pembakaran ini, menghasilkan panas, cahaya, gas, bunyi dan asap. Dalam teknologi ini dimanfaatkan sifat asap yang ringan, sehingga mudah menyebar. Asap sebagai medium penghantar garam ke seluruh awan kumulus yang bentuknya seperti kembang kol.
Saat flare dilepaskan dan tercipta panas dari uap air, dalam 5-10 menit kemudian akan mendingin hingga mencapai titik beku. Gumpalan-gumpalan awan ini mulai membentuk es dan membesar. Awan semakin berat karena akumuiasi air makin membesar. Beban berat itu dilepaskan menjadi hujan.
Inovator: UPT Hujan Buatan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
Sumber: Suber Inspirasi Indonesia