(Business Lounge – Manage Risk) Beberapa waktu lalu perusahaan publik terkemuka PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk mengumumkan akan menutup rute penerbangan Jakarta–Taipei per Agustus 2014. Maskapai penerbangan ini mendasarkan keputusannya karena tingkat keterisian penumpang ada pada kisaran 50 persen – 60 persen yang menyebabkan rute ini dipandang tidak menguntungkan.
Melepas aktivitas usaha yang sudah berjalan adalah bagian dari suatu keputusan bisnis. Kemungkinan Garuda sebelumnya telah berupaya untuk menyelamatkan rute tersebut, dengan misalnya menggencarkan upaya pemasaran yang dapat dilakukan. Tetapi kalau ternyata kemudian realita pasar dan analisis manajemen menunjukkan bahwa itu adalah operasional bisnis yang tidak menguntungkan lagi, maka keputusan untuk melepasnya adalah kebijakan yang harus diambil. Tindakan strategis ini bisa disebut sebagai bentuk “divestasi”.
Mengapa Divestasi?
Divestasi (divestment or divestiture) dapat didefiniskan sebagai pengurangan aset perusahaan untuk pertimbangan tujuan finansial, etika atau politis; serta penjualan atau pelepasan porsi bisnis yang telah berjalan. Divestasi ini merupakan kebalikan dari tindakan investasi.
Sebagai contoh divestasi bisnis yang pernah terjadi di antaranya adalah ketika pionir photography yang terkenal dan kemudian bangkrut Eastman Kodak Co menjual bisnis document imaging-nya ke perusahaan Brother Industries Ltd pada tahun 2013. Ini dalam rangka untuk meraup cash flow serta untuk lebih fokus agar perusahaan ini dapat bangkit lagi.
Di Indonesia, divestasi yang ramai diperbincangkan dewasa ini adalah terkait Peraturan Pemerintah (PP) No.24/2012 yang mewajibkan perusahaan tambang asing mendivestasikan minimum 51% sahamnya kepada pihak nasional. Belakangan diberitakan tentang kesepakatan pemerintah dengan PT Freeport Indonesia yang akan melepas sahamnya sebesar 30% kepada pemerintah dan nasional, termasuk pemda dan BUMN.
Pada masa krisis moneter (krismon) sekitar tahun 1998 yang lalu, saat penulis bekerja di Bank Danamon, waktu itu bank ini menutup ratusan cabangnya dan menghentikan banyak karyawan kontrak dan tetapnya untuk mempertahankan kelangsungan usaha melewati krisis. Padahal hanya sekitar setahun dua tahun sebelumnya bank sedang aktif-aktifnya berekspansi membuka sampai ratusan cabang terutama untuk pengembangan bisnis segmen UKM serta merekrut banyak karyawan barunya. Bank ini akhirnya selamat mengatasi krisis waktu itu dan lalu sekitar enam tahun berikutnya kembali aktif membuka cabang di sana-sini untuk mengembangkan pelayanan segmen mikro dalam unit DSP.
Mengapa divestasi? Kadang memang keputusan ini kurang populer. Kebanyakan perusahaan umumnya akan terus memikirkan rancangan investasi dan ekspansi. Bagaimana supaya makin besar dan makin banyak bisnis yang ditangani. Setiap ada peluang bisnis baru harus ditangkap, demikian kira-kira yang lazim berlaku dalam dunia bisnis. Tetapi divestasi bagaimanapun adalah bagian dari strategi bisnis. Umumnya perusahaan-perusahaan mendasarkan alasan divestasi untuk fokus kepada bisnis intinya (core business), setelah sebelumnya ekpansi yang –bisa disebut- terlalu lebar. Sebagian lagi adalah untuk melepas aset atau bisnis yang dinilai kurang atau tidak menguntungkan. Contohnya seperti di Garuda tadi. Jalur ke Taipei termasuk bisnis inti mereka, tetapi kerugian yang berlanjut harus dipangkas.
Untuk kasus Garuda, pengurangan rute itu adalah salah satu strategi perusahaan dalam menyelamatkan kinerja keuangan yang jeblok. Dalam laporan keuangan terbaru yang berakhir 30 Juni 2014, Garuda Indonesia tercatat merugi 211,71 juta dollar AS. Padahal pada semester I-2013, rugi maskapai penerbangan ini baru tercatat 10,92 juta dollar AS. Dengan demikian, keputusan untuk divestasi dapat dibenarkan, salah satunya, sebagai suatu bentuk mitigasi atas risiko kerugian perusahaan, dari pada semakin membengkak kerugiannya.
Pilihan Bisa Tepat, Bisa Salah
Memangkas kerugian adalah salah satu teknik manajemen risiko yang dilakukan apabila hasil analisisnya menunjukkan bahwa kerugian masih akan bisa terus berlanjut. Populernya teknik ini disebut dengan “cut loss”. Sebagai bentuk manajemen risiko, cut loss ini juga kerap berisiko, yakni apabila setelah eksekusi pemangkasan ternyata kemudian situasi pasar berbalik arah, sehingga potensi kerugian yang semula dikuatirkan berubah menjadi potensi keuntungan yang apa boleh buat sudah terlanjur dilepas. Itu sebabnya, analisis untuk melakukan hal ini harus mendalam sehingga tidak menyebabkan salah keputusan. Tetapi juga, tidak boleh terlalu lama analisisnya karena kerugian akan terus menggerus.
Sebagai suatu pilihan bisnis, keputusan untuk melakukan divestasi mungkin saja bukan keputusan yang tepat. Ada kesalahan di dalamnya; bisa kesalahan dalam hal waktu (timing) atau caranya sehingga menghasilkan keputusan yang kurang tepat. Seringkali analisis yang terburu-buru dan dangkal menghasilkan keputusan yang mungkin kurang strategis. Ini baru akan ketahuan kemudian setelah melewati suatu ujian waktu. Perubahan situasi dan kondisi di kemudian hari akan merupakan bukti bahwa keputusan tersebut tepat atau salah. Sebagai ilustrasi kasus dapat disebutkan tentang satu BUMN yang melepas aset lahannya karena dinilai kurang produktif dan tidak terurus. Lahan tersebut kemudian di tangan developer terkemuka menjadi “kota baru” yang maju dengan harga tanahnya melonjak termasuk yang tercepat di negeri kita hari ini. Lokasinya ada di sebelah Barat kota Jakarta.
Keputusan divestasi bisa merupakan keputusan yang dianggap berani dan menyelamatkan perusahaan apabila ternyata kemudian dapat menyelamatkan potensi kerugian dan menggantinya dengan keuntungan yang nyata. Suatu studi pernah dilakukan oleh Bain & Company terhadap 7.315 aksi divestasi yang dilakukan oleh 742 perusahaan dalam periode 20 tahun (HBR – Harvard Business Review, October 2008). Disebutkan bahwa investasi senilai $100 secara rata-rata dari perusahaan-perusahaan tersebut di tahun 1987 beranjak menjadi bernilai sekitar $1,000 pada akhir tahun 2007. Akan tetapi, investasi serupa yang dilakukan di antara para “best divestors” (pelaku divestasi yang mumpuni) akhirnya menjadi bernilai secara rata-rata lebih dari $1,800. Artinya, aksi divestasi terbukti memberikan nilai tambah bagi perusahaan. Dalam studi ini menunjukkan penambahan nilai investasi yang significant sekitar 80%. Betapa ini suatu mitigasi risiko yang sangat strategis.
Langkah Strategi Divestasi
Sangat penting untuk suatu perusahaan memiliki strategi divestasi yang excellent atau piawai sehingga menghasilkan eksekusi divestasi dengan nilai tambah. Istilahnya, ada yang menyebutkan sebagai “divestment for value”. Lalu, apakah langkah-langkah strategis untuk membangun strategi divestasi yang piawai? Dari penelusuran telaah kepustakaan, dapat disampaikan tips langkah-langkah praktis dalam strategi divestasi berikut ini:
1. Tetapkan kesepakatan bisnis utama.
Perusahaan pada umumnya sejalan dengan membesar aset bisnisnya memiliki dorongan untuk berekspansi, dari satu bisnis kepada bisnis-bisnis lainnya, terus dan semakin menggurita menjadi semacam konglomerasi kecil. Dalam hal ini, disarankan untuk perusahaan melakukan business portfolio review secara berkala bagaimana definisi core business bagi manajemen dan sampai sejauh mana ekspansi itu diperkenankan melebar. Manajemen senior dan pemilik perlu bersepakat untuk perusahaan fokus kepada keunggulan utama yang memiliki pasar konsumen terbaik dalam jangka panjang. Untuk ini jangan pelit untuk mengadakan riset yang komprehensif demi analisis yang men-detail.
2. Bentuk team yang capable.
Bagaimanapun rencana diversifikasi adalah langkah yang sangat strategis. Ini menentukan keberhasilan atau kegagalan perusahaan di masa mendatang. Team professional harus dibentuk yang mencakup berbagai aspek: keuangan, organisasi, pasar, strategi, dll. Tujuannya adalah menelurkan analisis bagaimana bertahan di bisnis inti secara profitable dan berjangka panjang serta rekomendasinya.
3. Berani eksekusi dengan rasional.
Untuk berani eksekusi seringkali akan menghadapi tantangan-tantangan. Tetapi keberanian eksekusi yang rasional itu diperlukan demi penyelamatan usaha di masa mendatang. Amputasi itu demi menyelamatkan nyawa seorang pasien sangat diperlukan, walaupun itu pedih rasanya dan dampaknya. Demikian juga suatu eksekusi yang rasional atau penuh pertimbangan dapat dilaksanakan secara berarti (significant) dan dengan segera.
Strategi divestasi tidak berhenti di tingkat eksekusi tetapi –seringkali ini yang lebih penting- sampai dirancangkan bagaimana langkah-langkah selanjutnya. Ini yang menentukan dan memberi nilai kesuksesan pada tindakan divestasi. Kembali ke contoh Garuda di atas, maskapai ini disebutkan setelah penutupan rute Taipei telah menjalin kerjasama dengan maskapai penerbangan lain yaitu memanfaatkan jaringan Sky Team dengan China Airlines untuk menuju ke Taipei. Dengan demikian, potensi pasar yang ada tidak berarti ditinggalkan sama sekali.
Mungkin ada anggota manajemen, atau bisa juga sebagian pemilik perusahaan, merasa sayang untuk melakukan divestasi. Hal ini wajar saja, setelah sebelumnya aktif berekspansi dengan aneka investasi yang sudah dinilai sebagai prospektif. Tetapi inilah salah satu bentuk manajemen risiko, bagaimana menghentikan laju kerugian usaha, yang di kemudian hari bisa berbuah kepada bisnis yang lebih sehat dan bertumbuh, menghasilkan pendapatan serta nilai perusahaan yang lebih baik. Semoga bermanfaat bagi Anda sebagai pebisnis yang mungkin saat ini sedang di “persimpangan jalan”.