Mengatasi Resiko Krisis Energi

(Business Lounge – Risk Management), Pernahkan Anda mendengar istilah ‘Peak Oil’? Peak Oil adalah saat dimana kapasitas produksi energi terutama minyak di beberapa belahan benua mencapai puncaknya dan untuk kemudian menurun drastis untuk kemudian habis sama sekali. Tahun 2010 adalah tahun Peak Oil – tahunnya krisis energi.

Mungkin Anda tidak pernah mendengar istilah ’peak oil’, namun pasti Anda pernah merasakan pemadaman listrik bergilir. Atau mencari BBM namun di tiap pom bensin yang Anda temui sudah habis karena belum ada pasokan. Atau mendengar berita bahwa nelayan tidak bisa melaut karena kehabisan solar. Itu adalah salah satu tanda-tanda dari krisis energi yang melanda dunia saat ini.

Setiap dunia bisnis sangat membutuhkan energi. Bukan hanya dunia transportasi dan pertanian saja yang membutuhkan minyak. Melainkan juga distribusi perairan, militer. Selain itu, pembuatan plastik, komputer dan segala peralatan high-tech lainnya juga membutuhkan minyak dalam jumlah yang besar.

Industri otomotif misalnya, untuk membuat sebuah kendaraan rata-rata mengkonsumsi energi sebanyak 20 barel minyak atau sama dengan 240 gallon minyak. Dalam artian, produksi kendaraan tersebut menghabiskan minyak sebanyak dua kali berat dari berat akhir kendaraan tersebut.

Selain itu, pembuatan sebuah kendaraan juga mengkonsumsi sekitar 120,000 gallon air segar, yang juga semakin langka keberadaannya. Air segar ini juga dibutuhkan dalam proses penyulingan minyak.

Industri microchip misalnya, dalam membuat satu gram microchip mengkonsumsi 630 gram minyak bumi. Menurut American Chemical Society, pembuatan sebuah 32-megabyte DRAM chip membutuhkan 3.5 pon minyak dan 70.5 pon water. Bahkan The Environmental Literacy Council mengatakan bahwa dikarenakan kebutuhan akan kemurnian material pada microchip, maka energi yang digunakan untuk memproduksi sembilan atau sepuluh komputer sama dengan energi untuk membuat satu kendaraan.

Sementara itu, untuk membuat sebuah komputer desktop sendiri membutuhkan konsumsi minyak bumi sepuluh kali dari berat komputer tersebut.

Oleh karena itu, untuk mengatasi risiko dari krisis energi, maka mulai dari sekarang kita harus membuat perencanaan jangka panjang, diantaranya adalah mengembangkan sumber-sumber energi alternatif. Sebenarnya kita memiliki beberapa sumber energi alternatif yang dapat menjadi solusi untuk mengatasi akan krisis energi ini, namun penggunaannya belum populer.

Briket batubara, misalnya merupakan bahan bakar padat yang terbuat dari batubara dan merupakan salah satu alternatif pengganti minyak tanah yang paling murah dan dimungkinkan untuk dikembangkan secara masal dalam waktu yang relatif singkat mengingat teknologi dan peralatan yang digunakan relatif sederhana. Keunggulannya selain murah, juga memiliki panas tinggi yang baik dan kontinyu sehingga sangat baik untuk pembakaran yang lama. Briket batubara juga tidak beresiko meledak/terbakar dan yang paling utama, sumber batubara masih berlimpah di Indonesia.

Dua tahun lalu, dalam rangka mendorong percepatan energi alternatif, pemerintah berencana memfasilitasi pengadaan 10 juta tungku briket batu bara untuk menggantikan pemakaian minyak tanah di rumah tangga. Namun energi batubara kurang populer di masyarakat karena mereka masih lebih memilih minyak tanah yang lebih praktis. Selain itu, briket batubara juga memiliki reputasi buruk dalam masalah pencemaran lingkungan. Maka, program ini dihentikan dan energi alternatif dialihkan ke gas bumi.

Energi alternatif lainnya yaitu gas bumi jumlahnya melimpah di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah melakukan sosialisasi pemakaian kompor gas dalam rangka program konversi energi dari minyak tanah. Namun sayangnya, program ini ditolak oleh banyak pihak karena banyak masyarakat yang takut masalah kebocoran gas. Terlebih lagi, mereka lebih nyaman menggunakan minyak tanah karena bisa membeli secara eceran.

Geothermal atau energi surya yang berlimpah ruah di Indonesia sebagai negara tropis juga bisa jadi energi alternatif. Namun, sayangnya karena ongkos produksi yang mahal sehingga belum banyak yang melirik.

Selain itu, energi alternatif yang sedang hangat dibicarakan adalah energi nuklir. Badan Tenaga Nuklir Nasional mengemukakan bahwa Indonesia perlu menetapkan kebijakan energi nuklir sebagai renewable resources. Hal ini disebabkan karena kebutuhan listrik pada 2025 mencapai 100 gigawatt. Sementara waktu itu baru tersedia sekitar 34 gigawatt. Estimasi kandungan untuk minyak diperkirakan hanya mencapai 18 tahun, sedangkan untuk cadangan produksi gas diperkirakan 61 tahun, dan batu bara 147 tahun..

Energi alternatif lainnya yaitu adalah bahan bakar nabati (BBN) yang prospeknya bagus karena harga minyak dunia yang terus melambung. Namun terhambat oleh sisi produksi karena belum ada produsen yang mampu menyediakan dalam jumlah besar.

Bisnis apapun, seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya, tidak dapat terlepas dari energi. Oleh karena itu, dalam menghadapi krisis energi yang tanda-tandanya sudah mulai kelihatan, kita harus dapat mengoptimalisasi penggunaan energi.

Selain itu, selain melakukan efisiensi energi, bisnis diharapkan dapat melirik energi alternatif dan mengembangkannya supaya krisis energi ini bukan lagi merupakan sebuah masalah yang tidak dapat terselesaikan. Hal ini sangat penting supaya tidak terjadi ketergantungan terus menerus terhadap minyak bumi.

(Rinella Putri/IK/BL)

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x