Manajemen Risiko Operasional

(The Manager’s Lounge, Risk Management) – Kejadian yang menimpa Société Générale merupakan salah satu contoh bagaimana rentannya risiko operasional dapat menimbulkan kerugian yang luar biasa bagi perusahaan. Ke depannya, tentu manajemen risiko operasional harus diimplementasikan lebih baik, termasuk di Asia.

Risiko operasional merupakan sebuah tantangan bagi regulator perbankan Asia yang telah berkomitmen untuk menjalankan pendekatan advanced untuk memenuhi persyaratan Basel II. Namun, nyatanya sebagian besar regulator Asia menyerah ataupun menunda implementasi dari advanced measurement approach (AMA) untuk menangani risiko operasional dan menjadikannya opsional bagi perbankan. Ini tidak hanya diakibatkan oleh kurangnya skill dari regulator dan kurangnya pemahaman mengenai framework yang tepat, melainkan juga diakibatkan oleh kelangkaan sumber daya global dalam manajemen risiko yang berpengaruh pada kapabilitas perbankan.

Hong Kong Monetary Authority (HKMA), misalnya, tidak membolehkan perbankan mereka untuk mengimplementasikan AMA. Perbankan justru diminta melaksanakan alternative lain yang tidak terlalu kompleks, seperti misalnya basic indicator approach (BIA) atau standardized approach (SA).

BIA yang merupakan metode modeling paling sederhana, mendefinisikan “capital” dalam formulanya sebagai pendapatan kotor bank, yang kemudian dikalikan dengan ß, untuk menghasilkan berapa alokasi modal perbankan untuk menghadapi risiko operasional.

Sementara itu, model yang kerumitannya terbilang medium yakni SA, membagi aktivitas perbankan menjadi delapan lini bisnis dan menetapkan ß, yang bervariasi antara 12 hingga 18 persen untuk tiap lini sehingga angka finalnya merupakan jumlah dari required capital dari seluruh lini individual.

Bandingkan dengan model AMA yang mensyaratkan bank untuk mengkaji data internal loss, data external loss yang relevan, scenario analysis, lingkungan bisnis dan faktor kontrol internal. AMA juga mensyaratkan pengecekan menyeluruh dalam operasional bank dan tidak hanya satu departemen saja, melainkan keseluruhan bank.

Menurut Patricia Jalleh, head of operational risk management di Singapore’s UOB Group, seiring usaha perbankan dalam membangun database risiko operasional yang lebih bagus dan efektif, maka tentunya akan banyak masalah yang dihadapi. Salah satu hambatan ini adalah kurangnya pemahaman mengenai apa yang membedakan operational risk loss dengan credit atau market risk loss. Selain itu, terdapat kurangnya awareness mengenai kebutuhan akan laporan mengenai operational risk loss dan bagaimana menjamin kualitas dan integritas data. Ia juga berpendapat bahwa yang terpenting adalah risk culture yang tinggi serta system control internal yang bisa diandalkan.

Risk culture yang cukup sensitive diperlukan untuk melacak kerugian secara efektif. Beberapa perbankan Asia sedang berusaha untuk menangani isu ini dengan menciptakan konsorsium database regional, dan diikuti oleh perbankan AS dan Eropa. Jalleh, yang juga merupakan chair of the ASEAN Bankers Association (ABA) Task Force, misalnya sedang meneliti kelayakan pembuatan konsorsium data risiko operasional di seluruh penjuru ASEAN. Adanya konsorsiu ini nantinya memungkinkan perbankan regional untuk berbagi data risiko operasional mereka dengan cara yang aman, anonym, juga konsisten, katanya.

pic.:alterinfo.net

(Rinella Putri/TA/TML)

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x