China Eyed as Next Educational Frontier

(The Manager’s Lounge – Sales & Marketing) – Jika ada masa dimana bisnis pendidikan menjadi sangat perlu di China, masa itu adalah sekarang. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi telah jauh melampaui jumlah persediaan sumber daya berkualitas disana. Sementara itu, perusahaan-perusahaan China, baik perusahaan milik swasta maupun milik negara menanggapi kebijakan pemerintah untuk memberikan insentif untuk “go out” dan bersaing dengan perusahaan-perusahaan terbaik di dunia, sekaligus menghadapi persaingan yang ketat, cepatnya perkembangan teknologi dan pergeseran tekanan ekonomi di dalam negeri.

Tidak diragukan lagi beberapa sekolah bisnis terkemuka di dunia sedang melirik China sebagai daerah baru dalam industri pendidikan.

China Europe International Business School sudah lebih dahulu berada di China, dengan memulai segala hal yang baru dalam hal fakultas dan fasilitas. Semboyannya yang terbaru yakni, “China sedang Mendalami Luasnya Dunia” mengawinkan pandangan dalam hal bagaimana China bekerja dengan perspektif internasional untuk menarik siswa-siswa dari China maupun seluruh dunia.
Dekan John A. Quelch, seorang veteran dari Harvard Business School dan London Business School, menegaskan bahwa meskipun terjadi kekacauan ekonomi di Eropa, citra CEIBS di China masih tidak memudar. “Jerman masih dipandang dengan sangat hormat,” dia menegaskan. Di samping itu : “Orang-orang di China memiliki pandangan ke depan.” Mr. Quelch berbincang dengan Andrew Browne di Shanghai. Wawancara berikut telah dilakukan penyuntingan terlebih dahulu.
WSJ : Keluhan nomor satu dari perusahaan-perusahaan asing di China adalah tentang kurangnya manajemen SDM. Apakah hal itu berarti kesempatan yang besar bagi Anda ?
Mr. Quelch : Pertama, fase ekspansi yang dihadapi China sekarang telah melampaui kecepatan dimana seorang manajer mampu mengembangkan diri mereka sendiri dalam hal pengalaman. Kami mengambil beberapa orang yang berpengalaman atau manajer muda dengan potensi yang baik, lalu kami melakukan akselerasi kecepatan dimana mereka mampu menunjukkan lebih besar tanggung jawab kepemimpinan dalam diri mereka. Kedua, karena kami tidak mampu melayani semua orang, kriteria pendaftaran yang kami tetapkan dan kejujuran akan proses tersebut menjadi sangat penting bagi kondisi ekonomi secara keseluruhan.
WSJ : Bagaimana perubahan silabus dapat merefleksikan dinamika dari perekonomian China ?
Mr. Quelch : Pada awalnya, kami berfokus pada kompetensi yang fungsional dalam hal keuangan, akuntansi, dan pemasaran. Sekarang, kami lebih menekankan pada manajemen umum yang terintegrasi dan bagaimana cara penyelesaian masalah antar fungsional dalam perusahaan. Kerjasama dan kepemimpinan dalam pasar yang bertumbuh dengan cepat sangat ditekankan dalam kurikulum kami.
WSJ : Kurangnya manajemen yang terintegrasi dikatakan sebagai salah satu kelemahan dari perusahaan-perusahaan China. Mengapa demikian ?
Mr. Quelch : Alasan yang paling utama adalah karena China sedang dijalankan oleh insinyur yang memiliki kekuatan dalam ilmu keuangan dan akuntansi dan ekonomi, namun kurang pada area kepemimpinan, manajemen perubahan, pemasaran, dan pada beberapa tingkat strategi lainnya. Jadi, soft skill, seperti yang kita sebut di AS, adalah hal yang kurang dikembangkan di China. Kebalikannya, hard skills dikembangkan dengan sangat baik. Dan berangkat dari sana, kurikulum kami memberikan penekanan pada pengembangan soft skills dengan dasar hard skill yang dibawa oleh banyak siswa ke dalam ruangan kelas.
WSJ : Bukankah bahwa masalah perusahaan milik negara yang memiliki tingkat hierarki yang kaku juga sama dengan srtruktur Partai Komunis ?
Mr. Quelch : Mungkin itu permasalahannya. Namun, ada satu hal yang saya temukan di China: Tidak seorangpun -saya berbicara tentang perusahaan milik negara- yang berhasil dipromosikan akibat melanggar aturan, namun tidak ada juga yang berhasil sampai atas jika mereka tetap pada aturan. Jadi, ada seni di China untuk mengambil inisiatif baru, namun tetap dalam cara-cara yang baik dan stabil.
WSJ : Namun apakah sistem tersebut dapat menciptakan sebuah inovasi yang sebenarnya ?
Mr. Quelch : Saya pikir bisa, jika Anda melemparkan sejumlah uang dibelakangnya. Namun, pastinya tantangan utama pada perusahaan yang dimiliki oleh negara adalah dalam hal mencapai inovasi. Dalam setiap negara, sektor publik selalu berbeda dengan sektor swasta, apakah itu di Inggris ataupun di AS, ada sebuah pendekatan, sebuah budaya, dan gaya yang berbeda, juga perbedaan norma. Tapi di China, saya rasa perbedaan itu cukup lebar, dan hal tesebut selalu menjadi masalah seleksi alam ketika seseorang bekerja dengan alat di jalan ataupun masuk ke dalam sektor publik atau swasta. Dan pemikiran yang diasosiasikan untuk kedua hal tersebut secara substansi berbeda dengan yang terjadi di Inggris maupun AS. Inovasi yang terjadi di China lebih besar kemungkinannya keluar dari perusahaan swasta, meskipun sektor publik didanai dengan sangat besar dengan berbagai sumber daya yang dapat memunculkan inovasi, tentunya.
WSJ : Nasehat apa yang dapat Anda berikan untuk perusahaan China yang akan berekspansi secara global ?
Mr. Quelch : Perusahaan China tidak boleh berekspansi secara global sebagai sebuah perusahaan China. Mereka harus berekspansi sebagai sebuah perusahaan dengan nilai-nilai penting yang menawarkan kesenangan bagi konsumen untuk membayar- dan juga asal negara menjadi tidak relevan.
WSJ : Anda berkata bahwa perusahaan China semakin banyak mempekerjakan orang asing dan menjadi semakin beragam. Dapatkan Anda member contoh ?
Mr. Quelch : Jika Anda membuka website Huawei yang berbasis di Inggris, Anda akan melihat di dalamnya, bahwa hal tersebut bukan tentang Huawei sebagai sebuah merek global, namun Huawei sebagai sebuah perusahaan yang berlokasi di Basingstoke. Ini mengapa orang China dapat bergerak lebih cepat dari pada orang Jepang, karena salah satu penghalang dari ekspansi global Jepang adalah kurangnya orang Jepang yang berpotensi dan tertarik, atau secara harafiah yang mampu bekerja pada sebuah pasar global. Orang China lebih bersahaja, dan mungkin disebabkan karena jutaan orang China yang mampu berbahasa Inggris. Perkiraan saya adalah, ketika perusahaan Jepang melakukan akuisisi, eksekutif asing akan secara cepat mengalami kemandekan karir, bila dibandingkan dengan perusahaan China, dimana akan lebih mudah bagi mereka untuk naik jabatan. Apa yang membuat perbedaan di dalamnya adalah mengenai resiprokal. Jika, misalnya, Sam Su dari Yum Brands menjadi CEO orang China pertama yang masuk dalam Fortune 500, kemudian mereka akan menerima eksekutif non-China secara bebas dalam perusahaan.
WSJ : Apa yang paling membuat Anda terkejut ketika bekerja di China ?
Mr. Quelch : Tidak ada akhir pekan di China. Saya selalu bekerja keras, namun saya menjadi takjub pada titik dimana pada hari Sabtu dan Minggu saya mendapati diri saya dalam aktivitas yang bersifat professional. Cara saya menjelaskan hal tersebut kepada teman saya di AS adalah bahwa Anda tidak akan mencapai pertumbuhan PDB sebesar 10% per tahun bila Anda bekerja 35 jam seminggu- bahkan jika Anda secerdas orang China. Saya ingat Jack Welch pernah menggelar rapat pada hari Sabtu dengan staf-nya. Namun, saya pikir bagi kebanyakan orang China, ini adalah momen bersejarah tentang sebuah kesempatan-sekali seumur hidup, mungkin sekali dalam satu millennium dimana tak seorangpun akan menyia-nyiakannya. Begitu banyak orang China menampilkan sikap keras terhadap diri sendiri hari ini, untuk kepentingan mereka sendiri, keluarga mereka, dan untuk negara China yang lebih baik.
Resume :
Pendidikan : Exeter College, Oxford University (B.A dan M.A.), the Wharton School of the University of Pennsylvania (M.B.A.), the Harvard School of Public Health (S.M.), dan the Harvard Graduate School of Business Adminstration (D.B.A.)
Karir : Harvard Business School, London Business School.

Ekstrakurikular : Tenis dan Squash

 

 

(Darwin Huang/AA/TML)

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x