(The Manager’s Lounge – Column) – Perubahan erat hubungannya dengan kecepatan. Anda bisa saja mengatakan telah berhasil berubah, tapi seberapa cepat perubahan itu memberikan jawaban? Perubahan yang lambat bisa tidak memberikan arti apa-apa bila ia telah kehilangan momentum. Jadi, perubahan memerlukan tingkat kecepatan untuk merespons.
Kita dituntut bekerja lebih cepat dan lebih cepat lagi. Dulu, kita bisa mengatakan kepada calon pelanggan, “Sabar ya, silakan balik kembali minggu depan.” Mereka mengira calon pelanggan itu akan datang kembali lagi ke sana minggu depan. Keliru! Mereka sudah pergi ke tempat lain. Bukannya apa-apa, ketika orang di sebelah bisa melayani lebih cepat maka mereka segera berpikir, “Mereka benar-benar malas.” Mereka berpikir, kemalasan masih bisa disembunyikan rapat-rapat di dalam laci. Nyatanya tidak, kompetitor nembukakan mata konsumen. Di sana langsung terlihat siapa yang cepat dan siapa yang malas.
Cobalah tengok apa saja yang telah dilakukan oleh para pelaku usaha baru di awal abad ini:
• Indoflorist melayani permintaan pesanan bunga di berbagai kota besar di Indonesia, cukup dengan melakukan klik di internet.
• BCA dapat memberikan informasi saldo, transfer, dan sejenisnya untuk nasabah, baik lewat telepon, SMS, maupun internet.
• Singapore Airlines mempermudah penerbangan dengan e-ticket. Penumpang tinggal datang ke counter check in dengan menunjukkan paspor.
• Michael Dell membuat komputer dengan sistem made-to-order sejak tahun 1984 sehingga konsumen bisnis bisa langsung memesannya lewat internet.
• Nokia memperkenalkan konsep “connecting people”, dimana manusia dapat terhubung dimana saja, lewat suara, pesan-pesan pendek, fax, internet, maupun video dan image.
• Universitas-universitas di Australia, Malaysia, dan negara-negara lainnya telah meluluskan doktor manajemen dalam tempo 2,5 tahun (dulu, di Amerika minimal dibutuhkan waktu 5 tahun).
• Produsen-produsen otomotif telah memperpendek masa pengembangan desain mobil baru dari 6 tahun menjadi 4 tahun dan sekarang 2 tahun.
• Pembayaran pajak dan pengurusan surat-suratnya (SPT) di ne¬gara-negara maju tidak memerlukan kehadiran secara fisik, cukup klik saja dari rumah.
• Pemerintah China telah membangun 95.000 km jalan tol (padahal jalan tol baru dibangun di negeri ini pada 1992), sementara itu Malaysia sudah 6.000 km dan Indonesia baru 700 km pada tahun 2004.
• Telah diperkenalkan “Smart goods” oleh retailer terkemuka, yaitu barang-barang yang di dalam kemasannya ditanamkan computer chips dan terkait dengan sistem informasi pada lemari es di rumah. Setiap bagian dari barang-barang itu berkurang, supermarket mencatatnya dan pengiriman bisa dilakukan secara otomatis.
• Anak-anak di masa depan tak perlu lagi melakukan pemeriksaan darah untuk mengetahui apakah trombositnya berkurang atau mencari penyebab naiknya suhu tubuhnya. Computer chips yang ditanam sejak bayi dalam tubuh anak-anak akan mengirim signal secara otomatis pada komputer di rumah sakit. Orangtua akan menerima laporan secara berkala dari petugas rumah sakit.
• Orang-orang di Jakarta yang tinggal di selatan tak perlu lagi terhimpit kemacetan lalu lintas untuk menuju Stasiun Kota. Ia cukup membayar Rp2.500,00 dan dapat menikmati busway yang sejuk dan sampai di Stasiun Kota hanya dalam tempo 20 menit.
Apa jadinya manakala Anda tak bisa merespons orang-orang yang sudah biasa hidup, bekerja, dan menikmati sesuatu begitu cepat? Orang-orang lama masih selalu saja menutup-nutupi kelemahannya dengan berdalih, “Bagaimanapun, proses yang ini tak boleh dipercepat,” atau, “Yang cepat itu kualitasnya diragukan.”
Ketika saya membuka kelas program doktor di kampus Salemba (di tengah kota Jakarta), sebagian orang-orang lambat menentanggnya. Mereka berpendapat, kandidat doktor harus tahan uji, harus rela kuliah di kampus Depok (± 1-2 jam dari Jakarta), dan harus kuliah setiap hari (meski hanya untuk satu mata kuliah saja). Pada hal mahasiswa ini sudah biasa hidup serba cepat. Bukan cuma dosennya yang dibantu oleh seorang asisten, mereka rata-rata dibantu oleh dua orang asisten lengkap dengan teknologi berkecepatan tinggi. Mereka mengakses kepustakaan hanya dalam tempo sekejap lewat jaringan internet yang dapat diakses dari rumah dan mampu mengerjakan tugas-tugas statistik begitu cepat. Hanya dosen-dosen modern yang tersentuh oleh teknologi tinggi yang tahu dan mengerti makna kecepatan ini. Sayangnya, jumlah mereka di sini belum banyak.
Haruskah kita menarik hidup mereka mundur ke belakang? Apakah dengan sekolah lebih lama kita otomatis lebih cerdas dari mereka? Tentu saja tidak. Mereka semua telah mulai berubah. Dari hard work menjadi heart work plus smart work. Dan hidup mereka semua akan Iebih bermakna, lebih smart kalau kita semua bisa mengimbangi kecepatan mereka.
(Rhenald Kasali / ST / TML)