Pengenaan PPN Koran Dinilai Lemah

(The Manager’s Lounge – Tax) ,  Menurut Ketua Umum Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) Jakob Oetama dan Sekjen SPS Amir Effendi Siregar, seperti dilansir harian Kompas (14/08), pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penjualan surat kabar melanggar Undang-Undang Nomor 18 tahun 2000 tentang PPN karena dibebankan saat industri ini merugi.

Oleh karena itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati diharapkan untuk menerbitkan surat keputusan yang berisi mengenai penghapusan PPN terhadap penjualan surat kabar, majalah, tabloid dan media cetak lainnya.

Amir Effendi menyatakan bahwa selama ini biaya produksi tiap eksemplar koran harus disubsidi dari penghasilan iklan. Hal tersebut dikarenakan harga jual yang lebih rendah daripada biaya produksinya.

UU tersebutmenjadi sangat lemah karena sebenarnya tidak ada pertambahan nilai atas penjualan koran di Indonesia. “Kami tidak menolak pengenaan PPN atas iklan. Namun, yang jadi masalah adalah harga jual surat kabar, saat ini rata-rata Rp 2.500 per eksemplar, padahal biaya cetaknya Rp 5.000,” ujar Amir Effendi.

Sebagai ilustrasi, sebuah koran di Jakarta dijual dengan harga Rp 3.000 per eksemplar, setelah dikurangi diskon agen atau loper sebesar 33,3 persen, perusahaan menerima penjualan Rp 2.000. Atas penerimaan itu dikenakan PPN 10 persen sehingga pendapatan bersih dari penjualannya menjadi Rp 1.800 per eksemplar.

Biaya produksi koran sebenarnya adalah Rp2.572 per eksemplar. Biaya tersebut baru memperhitungkan biaya cetak dan pembelian kertas, belum termasuk biaya redaksi, pemasaran, administrasi umum, gaji karyawan dan wartawan.

Dalam setahun, industri media cetak menghabiskan Rp 1,7 triliun untuk belanja kertas koran. Karena dikenakan PPN, media cetak menyetor Rp 170 miliar ke negara. Bila PPN tidak diberlakukan, SPS yakin dapat membangun pers lebih baik sekaligus menyebar informasi lebih banyak.

Jakob Oetama menyatakan bahwa sekarang terdapat kekhawatiran di tengah masyarakat bahwa orang Indonesia cenderung lebih menyukai menonton dibandingkan membaca. “Kalau dilihat secara akal sehat, prinsip no tax on knowledge (larangan pengenaan pajak atas produk penyebar ilmu pengetahuan) itu ada dalam setiap surat kabar, dalam bentuk informasi. Oleh karena itu, kami mencoba memasukkan usulan pembebasan PPN ini ke Depkeu,” katanya.

Menurut Salip, satu-satunya jalan untuk mengakomodasi keinginan SPS adalah dengan memasukkan usulan tersebut ke dalam Daftar Inventaris Masalah Rancangan Perubahan UU No 18/2000.

“SPS dapat meminta DPR memasukkan usulan itu dalam pembahasan perubahan UU PPN itu,” saran Salip.

 

(Rinella Putri/IK/TML

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x