(Business Lounge Journal – Global News)
Meta—perusahaan induk Facebook dan Instagram—tengah berada di persimpangan besar dalam perjalanan kecerdasan buatannya. Di satu sisi, CEO Mark Zuckerberg membidik penciptaan superintelligence, dengan langkah agresif dan investasi miliaran dolar. Di sisi lain, kepala ilmuwan AI Meta, Yann LeCun, justru menilai pencapaian tersebut masih jauh bahkan untuk sekadar menyamai kecerdasan seekor kucing. Di tengah semangat membangun masa depan, perbedaan filosofi ini menyeret Meta ke dalam ketegangan internal yang mencerminkan pertarungan ideologi mendalam tentang masa depan teknologi.
Pertarungan Filosofi di Pusat AI Meta
Ketegangan mencuat ke permukaan ketika Zuckerberg, dalam sebuah memo internal yang berani, mengumumkan pembentukan Meta Superintelligence Labs, divisi baru yang dipimpin oleh Alexandr Wang dari Scale AI. Dalam pernyataannya, Zuckerberg menyebut bahwa “pengembangan superintelijensi kini sudah tampak di depan mata” dan menyebut ini sebagai “awal dari era baru umat manusia.”
Namun, pernyataan ambisius itu bertolak belakang dengan pandangan LeCun, ilmuwan AI yang telah lama menjadi sosok sentral dalam riset Meta. LeCun, penerima Turing Award dan tokoh kunci dalam pengembangan AI modern, secara terbuka menyatakan bahwa pendekatan teknologi saat ini bahkan belum mampu meniru kecerdasan hewan, apalagi membangun AI tingkat dewa seperti yang dibayangkan CEO-nya.
Dari Open Source ke Model Tertutup?
Perbedaan pandangan ini bukan hanya soal waktu, tetapi juga menyentuh jantung dari strategi Meta dalam membangun AI. LeCun adalah pendukung vokal pendekatan open source—yakni membagikan kode dan sistem AI kepada publik agar dapat dikembangkan bersama. Ia berargumen bahwa keterbukaan akan mendorong keberagaman bahasa, budaya, dan nilai-nilai yang mencerminkan dunia nyata.
Namun dalam memo Zuckerberg, tidak ada satupun referensi pada komitmen open source. Sebuah pergeseran yang mencolok, mengingat tahun lalu Zuckerberg pernah menulis, “Open Source AI is the Path Forward.” Bahkan, laporan dari New York Times menyebut bahwa internal Meta sempat mempertimbangkan untuk mengurangi investasi pada Llama—model AI open-source mereka sendiri—dan malah membuka kemungkinan menggunakan pendekatan tertutup dari para pesaing seperti OpenAI dan Anthropic.
Sementara LeCun terus menyuarakan pentingnya keterbukaan melalui media sosial, seperti meretweet pujian terhadap rilis terbuka Llama yang dianggap “mengubah arah industri”, langkah Zuckerberg justru memperlihatkan peninjauan ulang terhadap filosofi ini.
Ketika Ambisi Tak Selalu Sejalan dengan Kenyataan
Di balik layar, pembentukan Meta Superintelligence Labs tampaknya lahir dari rasa frustrasi. Salah satu pemicunya adalah kinerja terbaru dari Llama yang ternyata tak memenuhi ekspektasi internal. Menurut laporan The Times, Zuckerberg merasa kecewa setelah mengetahui bahwa tim AI-nya menggunakan tolok ukur kustom yang membuat performa model tampak lebih baik dari kenyataan. Informasi ini bahkan tidak pernah sampai ke mejanya.
Yang lebih ironis, meski Llama dibuka untuk publik dengan harapan mempercepat adopsi global, startup asal Tiongkok bernama DeepSeek justru berhasil membangun model AI yang lebih canggih di atas fondasi Llama—sebuah contoh di mana Meta dikalahkan dalam permainan yang mereka ciptakan sendiri.
Perekrutan Agresif dan Tarik Ulur Kepemimpinan
Situasi ini mendorong Meta untuk melakukan manuver tajam dalam strategi SDM mereka. Zuckerberg dilaporkan secara pribadi menghubungi lebih dari 45 peneliti dari OpenAI, menawarkan paket remunerasi hingga USD 100 juta. Majalah Wired bahkan mencatat bahwa setidaknya 10 tawaran “sangat fantastis” telah dilayangkan ke para peneliti top.
Salah satu peneliti senior bahkan ditawari jabatan Chief Scientist—yang saat ini dipegang oleh LeCun—namun menolak. Ini mengindikasikan bahwa posisi LeCun, meski belum tergantikan secara resmi, kini berada dalam zona abu-abu secara strategis.
Yang menarik, para talenta yang direkrut berasal dari pendekatan berbasis large language models seperti GPT-4, sementara LeCun selama ini justru menentang pendekatan tersebut dan mendorong model berbasis pengamatan dunia nyata (world models).
LeCun: Antara Ilmuwan dan Pemikir Strategis
Ketika ditanya soal posisinya pasca pembentukan Meta Superintelligence Labs, LeCun berusaha menegaskan bahwa dirinya masih menjabat sebagai Chief AI Scientist dan menolak ide bahwa ia seharusnya memimpin proyek superintelijensi. “Saya tidak suka mengelola dan saya tidak ahli dalam urusan operasional,” ujarnya. “Saya lebih cocok memimpin lewat ide.”
Namun, dalam pernyataannya di platform X, LeCun tetap menegaskan bahwa Artificial Superintelligence adalah visi jangka panjang yang sejak awal dimiliki oleh FAIR (Facebook AI Research)—divisi yang telah ia pimpin lebih dari satu dekade. “Itu masih menjadi tujuan saya, bahkan sekarang lebih dari sebelumnya,” tulisnya, mencoba menjembatani dua kutub strategi.
Arah Meta: Jalan Ganda Menuju Masa Depan
Untuk saat ini, Meta tampaknya menjalankan dua jalur sekaligus: satu berbasis pendekatan ilmiah jangka panjang yang dijaga oleh LeCun, dan satu lagi yang mengusung ambisi superintelijensi secara agresif di bawah arahan tim baru. Perusahaan mencoba menyeimbangkan kredibilitas akademik dengan kecepatan inovasi pasar.
Namun, ketika dua pemimpin dengan visi yang begitu berbeda berdiri di dalam satu organisasi, pertanyaan besarnya adalah: jalan mana yang benar-benar akan membawa Meta menuju masa depan AI yang mereka impikan?