(Business Lounge – Global News) PepsiCo dituduh berupaya menjaga harga produknya tetap lebih tinggi di sejumlah peritel demi melindungi posisi Walmart, menurut temuan dalam gugatan Komisi Perdagangan Federal AS yang baru-baru ini dibuka ke publik. Gugatan tersebut sebenarnya telah dibatalkan pada Mei oleh pemerintahan Trump, tetapi detailnya kini memunculkan kembali pertanyaan lama tentang bagaimana kekuatan merek besar berinteraksi dengan raksasa ritel dalam menentukan harga di pasar.
Inti tuduhan FTC adalah bahwa Pepsi menggunakan pengaruhnya untuk mencegah peritel lain menjual produk dengan harga lebih murah daripada Walmart. Dengan menjaga paritas harga atau bahkan mendorong harga lebih tinggi di luar Walmart, Pepsi diduga membantu mempertahankan citra Walmart sebagai destinasi harga terendah, sekaligus mengamankan volume penjualan besar dari mitra ritel terbesarnya itu. Jika benar, praktik semacam ini berpotensi membatasi persaingan harga dan merugikan konsumen yang berbelanja di luar Walmart.
Kasus ini menyoroti hubungan simbiotik yang kompleks antara produsen merek global dan pengecer skala besar. Walmart dikenal memiliki daya tawar luar biasa terhadap pemasok, sering kali menekan harga beli demi menjaga harga jual rendah. Dalam konteks itu, tuduhan bahwa Pepsi justru bekerja untuk melindungi Walmart memberi gambaran bahwa kekuatan negosiasi tidak selalu berjalan satu arah. Produsen besar juga memiliki kepentingan strategis untuk menjaga mitra utama tetap unggul, karena volume dan stabilitas penjualan yang dihasilkan sulit ditandingi peritel lain.
Bagi Pepsi, menjaga hubungan dengan Walmart berarti melindungi jalur distribusi yang sangat krusial. Walmart bukan hanya peritel terbesar di AS, tetapi juga tolok ukur harga nasional. Jika harga Pepsi di Walmart turun terlalu jauh dibandingkan toko lain, tekanan terhadap margin di seluruh jaringan ritel akan meningkat. Dengan menjaga harga di peritel lain tetap tinggi, Pepsi diduga berusaha mengendalikan ekosistem harga secara keseluruhan.
Dari sudut pandang persaingan, praktik seperti ini berada di wilayah abu-abu hukum antitrust. Produsen memang memiliki hak menetapkan harga grosir, tetapi ketika pengaruh tersebut meluas ke harga eceran dan berdampak pada struktur persaingan, regulator mulai waspada. FTC menilai bahwa konsumen bisa dirugikan karena kehilangan manfaat dari diskon yang seharusnya muncul dari persaingan antarperitel.
Fakta bahwa gugatan ini sempat dibatalkan tidak serta-merta menghilangkan implikasinya. Dokumen yang kini terbuka memberi gambaran tentang bagaimana regulator memandang dinamika harga di sektor barang konsumsi. Di tengah inflasi dan sensitivitas publik terhadap harga kebutuhan sehari-hari, praktik penetapan harga kembali menjadi sorotan politik dan ekonomi.
Bagi investor, isu ini menambah lapisan risiko reputasi dan regulasi bagi perusahaan makanan dan minuman besar. Meski dampak finansial langsung mungkin terbatas, pengawasan yang lebih ketat dapat membatasi fleksibilitas strategi harga di masa depan. Untuk peritel kecil dan menengah, tuduhan ini memperkuat keluhan lama bahwa mereka beroperasi di lapangan yang tidak sepenuhnya seimbang.
Kasus Pepsi dan Walmart memperlihatkan bahwa di balik rak supermarket yang tampak sederhana, terdapat negosiasi harga dan kekuatan pasar yang rumit. Ketika detail-detail itu terungkap, perdebatan tentang siapa yang benar-benar diuntungkan oleh harga murah kembali mengemuka, dengan konsumen berada di pusat perhatian regulator.

